Perjalanan Proyek GERD Senilai Rp68,5 Triliun, PLTA Terbesar di Afrika

Jum'at, 28 Juni 2024 - 05:43 WIB
loading...
Perjalanan Proyek GERD Senilai Rp68,5 Triliun, PLTA Terbesar di Afrika
Proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) terbesar di Afrika segera rampung, saat pengisian air Bendungan Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD) sudah mencapai 94% pada awal 2024. Foto/Dok Reuters
A A A
JAKARTA - Proyek pembangkit listrik tenaga air atau PLTA terbesar di Afrika segera rampung, saat pengisian air Bendungan Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD) sudah mencapai 94% pada awal 2024. Nantinya proyek senilai USD4,2 miliar atau setara Rp68,5 triliun (Kurs Rp16.310 per USD) ini bakal membuat Ethiopia menjadi pemasok listrik terbesar di Afrika.



Pengisian reservoir untuk PLTA bakal dipasok dari Sungai Nil Biru, yang telah lama ditentang oleh negara tetangga seperti Mesir dan Sudan. Keduanya menganggap proyek ini sebagai ancaman serius bagi pasokan air yang sangat vital.

Dengan kapasitas yang diproyeksikan lebih dari 6.000 megawatt, Ethiopia melihat GERD sebagai pusat dari upayanya menjadi eksportir listrik terbesar di Afrika. Perjalanan pembangunan GERD tidak berjalan mulus, seiring perselisihan dengan Mesir dan Sudan.



Ketiga negara telah melakukan negosiasi yang berlarut-larut mengenai proyek tersebut. "Ada banyak tantangan. Kami berkali-kali harus dipaksa mundur. Kami memiliki tantangan internal dan tekanan eksternal. Kami telah mencapai (tahap ini) secara bersama-sama dengan Tuhan," kata Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed di X, pada akhir 2023 lalu.

Pada kapasitas penuh, bendungan pembangkit listrik yang memiliki lebar 1,8 kilometer dan tinggi 145 meter diperkirakan dapat menghasilkan listrik lebih dari 5.000 megawatt. Hal itu bakal menggandakan produksi listrik Ethiopia, yang saat ini hanya memiliki akses setengah dari populasi negara itu yang berjumlah 120 juta.

Pengisian Ilegal


Pembangunan pembangkit listrik terbesar di Afrika, diwarnai perselisihan antara Ethiopia dan negara-negara hilir Mesir dan Sudan. Pada akhir tahun lalu, Kementerian luar negeri Mesir melayangkan kritik keras dengan menyebutkan
apa yang dilakukan Ethiopia mengisi bendungan dengan air Sungai Nil sebagai tindakan "ilegal".

Dalam pernyataannya diungkapkan, bahwa langkah 'sepihak' menyelesaikan pengisian dum akan membebani negosiasi dengan Mesir dan Sudan, yang ditangguhkan pada 2021 tetapi dilanjutkan di Agustus 2023.

Bendungan ini telah memicu perselisihan regional sejak Ethiopia meluncurkan proyek tersebut pada 2011. Negosiasi antara ketiga pemerintah sempat menemui jalan buntu selama hampir dua setengah tahun, untuk kemudian dilanjutkan di Kairo pada 27 Agustus dengan tujuan mencapai kesepakatan.

"Dengan mempertimbangkan kepentingan dan keprihatinan ketiga negara," ungkap Menteri Sumber Daya Air dan Irigasi Mesir, Hani Sewilam pada saat itu.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1575 seconds (0.1#10.140)