Gapasdap Minta Pemerintah Segera Sesuaikan Tarif Angkutan Penyeberangan
loading...
A
A
A
SURABAYA - Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) menyebut kondisi angkutan penyeberangan di Indonesia semakin memprihatinkan. Situasi tersebut dipicu oleh beberapa penyebab yang sudah berlangsung cukup lama.
Kepala Bidang Usaha dan Pentarifan DPP Gapasdap Rachmatika Ardiyanto mengatakan, ada sejumlah faktor pemicu utama. Antara lain jumlah kapal yang terlalu banyak di setiap lintas penyeberangan.
Dimana izin yang diberikan tidak melihat keseimbangan antara jumlah kapal yang ada dengan jumlah dermaga yang mampu menampung operasional kapal tersebut. Kapal rata-rata hanya beroperasi sebanyak 30 persen sampai dengan 40 persen saja setiap bulannya.
"Hal ini tentu saja akan menyulitkan pengusaha dalam menutup biaya operasional yang ada, terutama fix cost yang tetap muncul ketika kapal tidak beroperasi," terang Rachmatika di Surabaya, Selasa (23/7/2024).
Pengusaha angkutan pelayaran, kata dia, mengeluh karena pada akhirnya, tarif yang berlaku semakin tidak cukup untuk menutup biaya operasional. Jika dianalisis secara perhitungan angka, bahwa setiap penambahan izin satu unit kapal, rata-rata dibutuhkan kenaikan tarif sebesar 1,4 persen.
Sementara usulan penambahan dermaga guna menampung kapal-kapal yang ada yang disampaikan oleh Gapasdap, hingga saat ini juga belum menunjukkan tanda-tanda bakal diwujudkan oleh pemerintah. Faktor kedua adalah kenaikan kurs dollar terhadap rupiah sebagai biang kenaikan biaya yang cukup tinggi.
Karena lebih dari 70 persen komponen biaya angkutan penyeberangan sangat dipengaruhi oleh kurs dollar. Kondisi ini, kata Rachmatika, sebenarnya sama yang terjadi dengan moda pesawat. Karena kenaikan kurs dollar, maka dari maskapai minta kenaikan tarif pesawat. Demikian juga yang terjadi pada angkutan penyeberangan.
"Tetapi di angkutan penyeberangan saat ini tarif yang berlaku masih menggunakan perhitungan dengan kurs dollar tahun 2019 yaitu Rp13.951, dan itupun masih kurang 31,8 persen dari perhitungan HPP yang ada," tegasnya.
Sedangkan kurs rupiah terhadap dollar sudah mencapai Rp16.251, atau naik 16,5 persen per hari ini. Sebagai bahan perbandingan jika dilihat dari konsumsi BBM pesawat Surabaya-Balikpapan, kurang lebih membutuhkan antara 5-10 ton avtur. Sedangkan kapal dengan rute yang sama membutuhkan 50-75 ton solar.
Selisih penggunaan BBM yang sangat signifikan tersebut tentu sangat mempengaruhi kenaikan biaya yang ada. "Maka, ketika angkutan udara merasa kesulitan dengan kondisi tersebut, angkutan penyeberangan pun lebih sulit lagi kondisinya," tandasnya.
Faktor ketiga adalah biaya kepelabuhanan yang sangat tinggi untuk kapal ro-ro atau angkutan penyeberangan juga menjadi salah satu penyebab kesulitan untuk menutup biaya operasional. Kemudian kenaikan biaya pengedokan tahun 2022 sebesar 30 persen dan kenaikan UMR setiap tahun rata-rata 8 persen.
Sementara perpajakan yang dipungut untuk angkutan penyeberangan adalah pajak final sebesar 1,2 persen yang dipungut dari pendapatan, tidak peduli perusahaan tersebut untung atau rugi. Selain perpajakan, juga ada komponen biaya PNBP yang sangat besar.
Terkait dengan kondisi tersebut, maka Gapasdap meminta agar pemerintah segera merealisasikan penyesuaian tarif yang saat ini masih kurang 31,8 persen dari perhitungan HPP yang sudah dihitung secara bersama-sama oleh Kemenhub, Asosiasi, PT ASDP, Perwakilan konsumen (YLKI) dan diketahui oleh Kemenko Marvest. "Hal ini agar kapal dapat beroperasi dengan memenuhi aspek keselamatan dan kenyamanan yang ditetapkan oleh pemerintah," ucap Rachmatika.
Proses penyesuaian tersebut sudah dilakukan pembahasan sejak awal Juli 2023. Namun hingga kini belum ada kelanjutannya lagi. "Kami mohon kepada pemerintah untuk dapat memberikan insentif, sambil menunggu proses penyesuaian tersebut, agar PNBP yang dikenakan untuk angkutan penyeberangan dapat dibebaskan," ujar Rachmatika.
Kepala Bidang Usaha dan Pentarifan DPP Gapasdap Rachmatika Ardiyanto mengatakan, ada sejumlah faktor pemicu utama. Antara lain jumlah kapal yang terlalu banyak di setiap lintas penyeberangan.
Dimana izin yang diberikan tidak melihat keseimbangan antara jumlah kapal yang ada dengan jumlah dermaga yang mampu menampung operasional kapal tersebut. Kapal rata-rata hanya beroperasi sebanyak 30 persen sampai dengan 40 persen saja setiap bulannya.
"Hal ini tentu saja akan menyulitkan pengusaha dalam menutup biaya operasional yang ada, terutama fix cost yang tetap muncul ketika kapal tidak beroperasi," terang Rachmatika di Surabaya, Selasa (23/7/2024).
Pengusaha angkutan pelayaran, kata dia, mengeluh karena pada akhirnya, tarif yang berlaku semakin tidak cukup untuk menutup biaya operasional. Jika dianalisis secara perhitungan angka, bahwa setiap penambahan izin satu unit kapal, rata-rata dibutuhkan kenaikan tarif sebesar 1,4 persen.
Sementara usulan penambahan dermaga guna menampung kapal-kapal yang ada yang disampaikan oleh Gapasdap, hingga saat ini juga belum menunjukkan tanda-tanda bakal diwujudkan oleh pemerintah. Faktor kedua adalah kenaikan kurs dollar terhadap rupiah sebagai biang kenaikan biaya yang cukup tinggi.
Karena lebih dari 70 persen komponen biaya angkutan penyeberangan sangat dipengaruhi oleh kurs dollar. Kondisi ini, kata Rachmatika, sebenarnya sama yang terjadi dengan moda pesawat. Karena kenaikan kurs dollar, maka dari maskapai minta kenaikan tarif pesawat. Demikian juga yang terjadi pada angkutan penyeberangan.
"Tetapi di angkutan penyeberangan saat ini tarif yang berlaku masih menggunakan perhitungan dengan kurs dollar tahun 2019 yaitu Rp13.951, dan itupun masih kurang 31,8 persen dari perhitungan HPP yang ada," tegasnya.
Sedangkan kurs rupiah terhadap dollar sudah mencapai Rp16.251, atau naik 16,5 persen per hari ini. Sebagai bahan perbandingan jika dilihat dari konsumsi BBM pesawat Surabaya-Balikpapan, kurang lebih membutuhkan antara 5-10 ton avtur. Sedangkan kapal dengan rute yang sama membutuhkan 50-75 ton solar.
Selisih penggunaan BBM yang sangat signifikan tersebut tentu sangat mempengaruhi kenaikan biaya yang ada. "Maka, ketika angkutan udara merasa kesulitan dengan kondisi tersebut, angkutan penyeberangan pun lebih sulit lagi kondisinya," tandasnya.
Faktor ketiga adalah biaya kepelabuhanan yang sangat tinggi untuk kapal ro-ro atau angkutan penyeberangan juga menjadi salah satu penyebab kesulitan untuk menutup biaya operasional. Kemudian kenaikan biaya pengedokan tahun 2022 sebesar 30 persen dan kenaikan UMR setiap tahun rata-rata 8 persen.
Sementara perpajakan yang dipungut untuk angkutan penyeberangan adalah pajak final sebesar 1,2 persen yang dipungut dari pendapatan, tidak peduli perusahaan tersebut untung atau rugi. Selain perpajakan, juga ada komponen biaya PNBP yang sangat besar.
Terkait dengan kondisi tersebut, maka Gapasdap meminta agar pemerintah segera merealisasikan penyesuaian tarif yang saat ini masih kurang 31,8 persen dari perhitungan HPP yang sudah dihitung secara bersama-sama oleh Kemenhub, Asosiasi, PT ASDP, Perwakilan konsumen (YLKI) dan diketahui oleh Kemenko Marvest. "Hal ini agar kapal dapat beroperasi dengan memenuhi aspek keselamatan dan kenyamanan yang ditetapkan oleh pemerintah," ucap Rachmatika.
Proses penyesuaian tersebut sudah dilakukan pembahasan sejak awal Juli 2023. Namun hingga kini belum ada kelanjutannya lagi. "Kami mohon kepada pemerintah untuk dapat memberikan insentif, sambil menunggu proses penyesuaian tersebut, agar PNBP yang dikenakan untuk angkutan penyeberangan dapat dibebaskan," ujar Rachmatika.
(nng)