Sanksi Barat Bikin Aset Rp693 Triliun Milik Perusahaan Rusia Tertahan di Luar Negeri
loading...
A
A
A
MOSKOW - Pebisnis Rusia tidak bisa mengakses miliaran dolar akibat masalah pembayaran di bank asing. Sanksi Barat menyulitkan bisnis Rusia dalam melakukan transaksi, menurut data dari bank sentral Rusia .
Aset keuangan asing Federasi Rusia melonjak kembali mencapai USD4,7 miliar selama bulan Juli. Rusia melihat aset keuangan asingnya melonjak sebesar USD44,6 miliar atau setara Rp693 triliun (Kurs Rp15.539 per USD) sepanjang tahun ini.
Angka tersebut melonjak lebih dari 2 kali lipat dari peningkatan aset keuangan asing sebesar USD21,4 miliar yang tercatat pada periode yang sama tahun 2023, menurut data dari Bank of Russia.
Lonjakan aset asing sebagian besar disebabkan oleh "keterlambatan penyelesaian dalam kegiatan ekonomi asing," dan akumulasi pembayaran di luar negeri karena "rantai penyelesaian transaksi internasional menjadi lebih kompleks,", kata bankir sentral dalam perkiraan terbaru mereka tentang keuangan Rusia.
Masalah pembayaran yang dialami pebisnis Rusia ini merupakan dampak dari sanksi Barat. Kementerian Keuangan AS mengancam, bakal menjatuhkan sanksi sekunder pada lembaga-lembaga yang terlibat dengan ekonomi Rusia tahun lalu.
Langkah itu mendorong bank-bank internasional untuk menutup pintu mereka pada bisnis Rusia atau sangat membatasi jumlah pembiayaan yang mereka tawarkan – bahkan dari sekutu terdekat Rusia.
India, yang merupakan pembeli besar minyak Rusia pada awal invasi Ukraina, menolak beberapa kapal minyak setelah adanya kesulitan dalam pembayaran antara pemasok Rusia dan penyulingan India, kata para pedagang kepada Reuters.
Sementara Uni Emirat Arab (UEA), pelanggan minyak besar Rusia lainnya, baru saja menindak armada bayangan Rusia, dengan melarang beberapa kapal tanker berlabuh di pelabuhannya, menurut data pengiriman yang dikutip oleh Bloomberg.
Selanjutnya China, salah satu mitra ekonomi terbesar Rusia, saat ini sebagian besar banknya menolak untuk menerima pembayaran dari Rusia. Hal ini dilaporkan oleh salah satu media Rusia.
Sejauh ini Moskow masih memiliki segelintir sekutu yang bersedia berdagang dan berbisnis dengan mereka. Negara ini juga mengejar metode pembayaran alternatif, seperti kripto, untuk menjaga bisnis tetap mengalir.
Namun para ahli mengatakan bahwa meningkatnya isolasi Rusia dari pasar global dapat memiliki konsekuensi besar pada masa depan ekonominya. Rusia sepertinya bakal masuk ke dalam jurang resesi yang parah pada tahun depan, ungkap seorang ekonom UC Berkeley kepada Business Insider. Hal ini merujuk pada perdagangan energi Moskow yang melemah dan memudarnya akses ke dolar AS.
"Dalam sebagian besar kasus, bisnis menghadapi penundaan yang signifikan dalam melakukan pembayaran. Sekarang rata-rata sekitar 10-16 hari," sambungnua.
Potavin mengatakan, Bank of Russia "saat ini mendorong penggunaan mata uang kripto" untuk menghindari sanksi Barat dan memfasilitasi transfer mata uang ke luar negeri.
Masalah pembayaran menjadi salah satu agenda utama saat Putin baru-baru ini bertemu dengan Presiden China Xi Jinping, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dan Perdana Menteri India Narendra Modi.
Meskipun Rusia telah membuat proposal untuk mengembangkan metode pembayaran alternatif, hal ini akan membutuhkan waktu untuk dapat berjalan.
Aset keuangan asing Federasi Rusia melonjak kembali mencapai USD4,7 miliar selama bulan Juli. Rusia melihat aset keuangan asingnya melonjak sebesar USD44,6 miliar atau setara Rp693 triliun (Kurs Rp15.539 per USD) sepanjang tahun ini.
Angka tersebut melonjak lebih dari 2 kali lipat dari peningkatan aset keuangan asing sebesar USD21,4 miliar yang tercatat pada periode yang sama tahun 2023, menurut data dari Bank of Russia.
Lonjakan aset asing sebagian besar disebabkan oleh "keterlambatan penyelesaian dalam kegiatan ekonomi asing," dan akumulasi pembayaran di luar negeri karena "rantai penyelesaian transaksi internasional menjadi lebih kompleks,", kata bankir sentral dalam perkiraan terbaru mereka tentang keuangan Rusia.
Masalah pembayaran yang dialami pebisnis Rusia ini merupakan dampak dari sanksi Barat. Kementerian Keuangan AS mengancam, bakal menjatuhkan sanksi sekunder pada lembaga-lembaga yang terlibat dengan ekonomi Rusia tahun lalu.
Langkah itu mendorong bank-bank internasional untuk menutup pintu mereka pada bisnis Rusia atau sangat membatasi jumlah pembiayaan yang mereka tawarkan – bahkan dari sekutu terdekat Rusia.
India, yang merupakan pembeli besar minyak Rusia pada awal invasi Ukraina, menolak beberapa kapal minyak setelah adanya kesulitan dalam pembayaran antara pemasok Rusia dan penyulingan India, kata para pedagang kepada Reuters.
Sementara Uni Emirat Arab (UEA), pelanggan minyak besar Rusia lainnya, baru saja menindak armada bayangan Rusia, dengan melarang beberapa kapal tanker berlabuh di pelabuhannya, menurut data pengiriman yang dikutip oleh Bloomberg.
Selanjutnya China, salah satu mitra ekonomi terbesar Rusia, saat ini sebagian besar banknya menolak untuk menerima pembayaran dari Rusia. Hal ini dilaporkan oleh salah satu media Rusia.
Sejauh ini Moskow masih memiliki segelintir sekutu yang bersedia berdagang dan berbisnis dengan mereka. Negara ini juga mengejar metode pembayaran alternatif, seperti kripto, untuk menjaga bisnis tetap mengalir.
Namun para ahli mengatakan bahwa meningkatnya isolasi Rusia dari pasar global dapat memiliki konsekuensi besar pada masa depan ekonominya. Rusia sepertinya bakal masuk ke dalam jurang resesi yang parah pada tahun depan, ungkap seorang ekonom UC Berkeley kepada Business Insider. Hal ini merujuk pada perdagangan energi Moskow yang melemah dan memudarnya akses ke dolar AS.
Masalah Pembayaran
"Masalah pembayaran lintas batas pada tahun 2024 telah menjadi tantangan utama bagi bisnis Rusia," kata Alexander Potavin, analis dari Finam di Moskow seperti dikutip dari Bloomberg."Dalam sebagian besar kasus, bisnis menghadapi penundaan yang signifikan dalam melakukan pembayaran. Sekarang rata-rata sekitar 10-16 hari," sambungnua.
Potavin mengatakan, Bank of Russia "saat ini mendorong penggunaan mata uang kripto" untuk menghindari sanksi Barat dan memfasilitasi transfer mata uang ke luar negeri.
Masalah pembayaran menjadi salah satu agenda utama saat Putin baru-baru ini bertemu dengan Presiden China Xi Jinping, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dan Perdana Menteri India Narendra Modi.
Meskipun Rusia telah membuat proposal untuk mengembangkan metode pembayaran alternatif, hal ini akan membutuhkan waktu untuk dapat berjalan.
(akr)