Pemerintah Diminta Moderat Rumuskan Cukai Rokok Tahun Depan
loading...
A
A
A
Merujuk hasil kajian sementara PPKE FEB UB (2024), bahwa rokok ilegal tahun 2023 kontributor terbesarnya dari rokok ilegal jenis polosan dan salah peruntukan (saltuk). Tingginya rokok ilegal jenis polosan mengindikasikan bahwa kenaikan harga rokok sudah sangat tinggi.
Imanina mengungkapkan, hasil kajian juga menyatakan tingginya rokok ilegal jenis salah peruntukan (saltuk) mengindikasikan bahwa masih kurangnya pengawasan dan lemahnya penegakan hukum di Indonesia.
"Pasalnya, rokok dengan saltuk menunjukkan adanya manipulasi dalam pelaporan jenis atau tujuan distribusi rokok untuk menghindari tarif cukai yang lebih tinggi," tegas Imanina.
Baca Juga: Buntut Kenaikan Cukai, DPR Khawatir Rokok Ilegal Makin Menjamur
Sebelumnya, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, mengungkapkan situasi yang tidak baik-baik saja bagi iklim usaha industri hasil tembakau (IHT) legal nasional. Beban yang dihadapi IHT legal, mulai kenaikan CHT yang eksesif, serta padatnya regulasi (heavy regulated).
Pada titik inilah, GAPPRI memberikan 3 catatan penting untuk pemerintah. Pertama, tidak menaikkan tarif CHT di tahun 2025, mengingat IHT akan terbebani akibat rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi sebesar 10,7%.
Kedua, GAPPRI berharap pemerintah tidak melakukan penyederhanaan (simplifikasi) struktur tarif dan golongan untuk menjaga kinerja IHT dalam rangka tetap mendorong optimalisasi penerimaan cukai dan pajak. "GAPPRI juga menolak arah kebijakan cukai yang mendekatkan disparitas tarif antar layer," tegas Henry Najoan.
Ketiga, mendorong operasi gempur rokok ilegal agar terus dilakukan secara konsisten dan terukur. Mengingat saat ini dampak meningkatnya tarif cukai rokok yang terlalu tinggi, pasar rokok sudah leluasa beredar rokok ilegal dan strukturnya semakin kuat.
"GAPPRI mengharapkan aparat penegak hukum (APH) agar terus-menerus meningkatkan penindakan rokok ilegal secara extra ordinary," pungkasnya.
Imanina mengungkapkan, hasil kajian juga menyatakan tingginya rokok ilegal jenis salah peruntukan (saltuk) mengindikasikan bahwa masih kurangnya pengawasan dan lemahnya penegakan hukum di Indonesia.
"Pasalnya, rokok dengan saltuk menunjukkan adanya manipulasi dalam pelaporan jenis atau tujuan distribusi rokok untuk menghindari tarif cukai yang lebih tinggi," tegas Imanina.
Baca Juga: Buntut Kenaikan Cukai, DPR Khawatir Rokok Ilegal Makin Menjamur
Sebelumnya, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, mengungkapkan situasi yang tidak baik-baik saja bagi iklim usaha industri hasil tembakau (IHT) legal nasional. Beban yang dihadapi IHT legal, mulai kenaikan CHT yang eksesif, serta padatnya regulasi (heavy regulated).
Pada titik inilah, GAPPRI memberikan 3 catatan penting untuk pemerintah. Pertama, tidak menaikkan tarif CHT di tahun 2025, mengingat IHT akan terbebani akibat rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi sebesar 10,7%.
Kedua, GAPPRI berharap pemerintah tidak melakukan penyederhanaan (simplifikasi) struktur tarif dan golongan untuk menjaga kinerja IHT dalam rangka tetap mendorong optimalisasi penerimaan cukai dan pajak. "GAPPRI juga menolak arah kebijakan cukai yang mendekatkan disparitas tarif antar layer," tegas Henry Najoan.
Ketiga, mendorong operasi gempur rokok ilegal agar terus dilakukan secara konsisten dan terukur. Mengingat saat ini dampak meningkatnya tarif cukai rokok yang terlalu tinggi, pasar rokok sudah leluasa beredar rokok ilegal dan strukturnya semakin kuat.
"GAPPRI mengharapkan aparat penegak hukum (APH) agar terus-menerus meningkatkan penindakan rokok ilegal secara extra ordinary," pungkasnya.
(nng)