Khawatir Dolar AS Runtuh, Trump Ingin Cabut Sanksi terhadap Rusia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kandidat Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump, ingin mencabut semua sanksi terhadap Rusia untuk menyelamatkan dolar AS.
"Saya sendiri telah menggunakan sanksi, tetapi saya mencabutnya secepat mungkin agar tidak membunuh dolar. Dolar harus tetap menjadi mata uang cadangan internasional. Jika gagal, itu sama saja dengan kalah perang. Kita akan menjadi negara dunia ketiga. Kita tidak bisa membiarkannya," ujar Trump dalam sebuah deklarasi, dikutip dari Contribune, Senin (9/9/2024).
Baca Juga: China Timbun Dolar AS Rp7.729 Triliun, Apa Artinya bagi Yuan?
Trump menyadari, dunia sedang berupaya untuk menghindari sistem moneter Barat. Hal ini bahkan menjadi prioritas bagi negara-negara BRICS yang segera melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Kazan, Rusia pada Oktober mendatang.
"Anda kehilangan Iran, Anda kehilangan Rusia. China sedang berusaha untuk membuat mata uangnya menjadi mata uang yang dominan. Anda akan kehilangan dominasi dolar. Hal ini sedang berlangsung. Kita akan kehilangan begitu banyak negara," tambahnya.
Di sisi lain, Presiden Rusia Vladimir Putin lebih memilih untuk mendukung Kamala Harris dari Partai Demokrat dalam pemilihan presiden. Para menteri luar negeri di seluruh dunia tahu bahwa kudeta AS di Ukraina pada 2014 adalah asal muasal perang yang sebenarnya.
Baca Juga: 6 Sinyal Kekalahan Ukraina, dari Banyak Tentara Disersi hingga Moral yang Rendah
Mereka juga tahu bahwa utusan AS, Boris Johnson menggagalkan perundingan Istanbul yang seharusnya membawa perdamaian hanya dua bulan setelah permusuhan dimulai. Lebih buruk lagi, Barat membekukan setengah dari cadangan devisa Rusia sebesar 300 miliar euro, memutus hubungan bank-bank dari jaringan SWIFT, dan menghentikan impor gas dan minyak.
Dari sana, Vladimir Putin memutuskan untuk menyeberangi Laut Rubicon dengan harapan dapat memicu pemberontakan global melawan Kekaisaran. Seruannya untuk menjatuhkan instrumen utama kekuatan AS, yakni dolar tidak luput dari perhatian.
"Saya sendiri telah menggunakan sanksi, tetapi saya mencabutnya secepat mungkin agar tidak membunuh dolar. Dolar harus tetap menjadi mata uang cadangan internasional. Jika gagal, itu sama saja dengan kalah perang. Kita akan menjadi negara dunia ketiga. Kita tidak bisa membiarkannya," ujar Trump dalam sebuah deklarasi, dikutip dari Contribune, Senin (9/9/2024).
Baca Juga: China Timbun Dolar AS Rp7.729 Triliun, Apa Artinya bagi Yuan?
Trump menyadari, dunia sedang berupaya untuk menghindari sistem moneter Barat. Hal ini bahkan menjadi prioritas bagi negara-negara BRICS yang segera melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Kazan, Rusia pada Oktober mendatang.
"Anda kehilangan Iran, Anda kehilangan Rusia. China sedang berusaha untuk membuat mata uangnya menjadi mata uang yang dominan. Anda akan kehilangan dominasi dolar. Hal ini sedang berlangsung. Kita akan kehilangan begitu banyak negara," tambahnya.
Di sisi lain, Presiden Rusia Vladimir Putin lebih memilih untuk mendukung Kamala Harris dari Partai Demokrat dalam pemilihan presiden. Para menteri luar negeri di seluruh dunia tahu bahwa kudeta AS di Ukraina pada 2014 adalah asal muasal perang yang sebenarnya.
Baca Juga: 6 Sinyal Kekalahan Ukraina, dari Banyak Tentara Disersi hingga Moral yang Rendah
Mereka juga tahu bahwa utusan AS, Boris Johnson menggagalkan perundingan Istanbul yang seharusnya membawa perdamaian hanya dua bulan setelah permusuhan dimulai. Lebih buruk lagi, Barat membekukan setengah dari cadangan devisa Rusia sebesar 300 miliar euro, memutus hubungan bank-bank dari jaringan SWIFT, dan menghentikan impor gas dan minyak.
Dari sana, Vladimir Putin memutuskan untuk menyeberangi Laut Rubicon dengan harapan dapat memicu pemberontakan global melawan Kekaisaran. Seruannya untuk menjatuhkan instrumen utama kekuatan AS, yakni dolar tidak luput dari perhatian.
(nng)