3 Negara yang Takut dengan Keberadaan BRICS
loading...
A
A
A
JAKARTA - BRICS terus melakukan ekspansi, dari hanya digawangi oleh lima negara yakni Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Kini kelompok negara-negara berkembang utama di dunia itu makin luas, dengan masuknya Mesir, Iran, Uni Emirat Arab (UEA), dan Ethiopia sebagai anggota baru.
Kehadiran BRICS untuk beberapa orang dianggap sebagai ancaman, ketika group yang digawangi Rusia dan China digadang-gadang sebagai pesaing Barat. Kekuatan negara-negara berkembang tentu tidak dapat disangkal lagi di panggung besar politik dunia.
BRICS menjelma menjadi kekuatan yang harus diperhitungkan dan siap untuk membentuk tatanan dunia global. Setelah babak ekspansi terakhir, BRICS kini mewakili hampir separuh populasi dunia dan menyumbang 36% Produk Domestik Bruto dunia – lebih banyak dari G7.
BRICS dengan jelas mendefinisikan kepentingan ekonomi bersama dan keinginan bersama untuk mengubah model kelembagaan global, yang selama ini mereka rasakan terpinggirkan selama beberapa dekade. Kelompok ini bertujuan untuk memiliki suara yang setara dalam politik global, ekonomi dunia, dan sistem keuangan.
Guna mewujudkan agenda tersebut, BRICS telah mendirikan Bank Pembangunan Baru , sebuah lembaga keuangan yang menyediakan bantuan keuangan bagi negara-negara berkembang.
Selain itu, mereka juga mendirikan mekanisme untuk mendukung negara-negara anggota dalam menghadapi krisis keuangan dan tengah mengupayakan sistem pembayaran alternatif dalam mata uang BRICS sendiri.
Semangat dedolarisasi yang diusung BRICS, kemungkinan membuat Amerika Serikat (AS) merasa terganggu. Keberadaan BRICS telah memberikan alternatif bagi negara-negara berkembang untuk mencari mitra dan sumber investasi di luar hubungan tradisional dengan negara Barat.
Terlebih BRICS dipimpin oleh duo Rusia dan China yang punya hubungan kurang baik dengan AS, seiring dengan pecahnya perang di Ukraina hingga perang dagang.
Dipimpin oleh China dan didukung penuh oleh Brasil, BRICS sedang berjuang menuju perubahan paradigma dalam hierarki mata uang global yang didominasi oleh dolar AS, yang oleh negara-negara BRICS dianggap sebagai hambatan utama bagi kapasitas ekonomi mereka untuk berkembang.
Presiden Brasil, Lula da Silva sempat menyatakan, mengakhiri ketergantungan pada dolar sebagai salah satu prioritas BRICS. Belakangan saat dolar AS dipakai sebagai senjata untuk menghukum Rusia atas perangnya di Ukraina, menjadi salah satu alasan memudarnya hegemoni mata uang utama tersebut.
Ketidakpuasan negara-negara berkembang terhadap model pembiayaan Barat mungkin dapat menjelaskan sebagian dari meningkatnya daya tarik BRICS. Bagi Presiden Prancis Emanuel Macron, BRICS merupakan perwujudan dari fragmentasi sistem politik global yang membawa “risiko melemahnya Barat dan khususnya Eropa.”
Kehadiran BRICS yang terus meluas dianggap sebagai penantang buat Uni Eropa (UE). Blok Uni Eropa saat ini berjumlah 27 negara, yakni Austria, Belgia, Bulgaria, Kroasia, Republik Siprus, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Irlandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luksemburg, Malta, Belanda, Polandia, Portugal, Rumania, Slowakia, Slovenia, Spanyol, dan Swedia.
Uni Eropa juga menjadi salah satu blok kekuatan ekonomi dunia. Perluasan BRICS mungkin mencerminkan proses fragmentasi global yang sedang berlangsung. Gerakan ini membawa momentum kuat, dan yang paling menyatukan BRICS adalah penolakan mereka terhadap tatanan yang didominasi Barat.
Kini Barat dan khususnya Uni Eropa, dinilai harus menindaklanjuti dan memikirkan kembali model kerja sama dan pembangunan mereka dengan negara-negara berkembang. Jika tidak, mereka berisiko kehilangan negara-negara berkembang di masa meningkatnya ketegangan geopolitik dan tantangan transformasi global.
Kepala Pejabat Administratif enCore Energy Corp, Gregory Zerzan dikutip dari TheRiponForum, menerangkan bahwa BRICS tidak bermaksud menantang kerja sama multinasional. BRICS difokuskan untuk melemahkan Amerika Serikat.
Meski begitu kemunculan BRICS bisa menjadi ancaman bagi negara-negara penerima bantuan Barat, atau bahkan bisa menjadi solusi.
BRICS secara aktif berupaya memperluas peminjaman di seluruh Asia, Afrika, dan Amerika Selatan melalui pendirian Bank Pembangunan Baru (NDB), sebuah bank multilateral yang didirikan oleh kelompok tersebut pada tahun 2014.
Selain berfungsi sebagai sumber pembiayaan alternatif bagi IMF dan Bank Dunia, yang khususnya dipandang oleh China sebagai upaya memajukan kepentingan Amerika dan Barat, NDB memberikan pengaruh terhadap negara-negara berkembang yang dapat memfasilitasi peluang komersial dan penempatan kemampuan militer di luar negeri.
Beberapa pihak telah mengabaikan ancaman BRICS dengan alasan bahwa para anggotanya memiliki kepentingan yang berbeda, dan terkadang bertentangan.
"Ini tidak tepat; meskipun keanggotaannya dapat berubah, BRICS pada dasarnya akan tetap menjadi koalisi negara-negara yang menentang peran Amerika di dunia. Hingga saat ini, belum cukup perhatian yang diberikan pada ancaman yang masih muncul ini," tulis Gregory Zerzan.
Kehadiran BRICS untuk beberapa orang dianggap sebagai ancaman, ketika group yang digawangi Rusia dan China digadang-gadang sebagai pesaing Barat. Kekuatan negara-negara berkembang tentu tidak dapat disangkal lagi di panggung besar politik dunia.
BRICS menjelma menjadi kekuatan yang harus diperhitungkan dan siap untuk membentuk tatanan dunia global. Setelah babak ekspansi terakhir, BRICS kini mewakili hampir separuh populasi dunia dan menyumbang 36% Produk Domestik Bruto dunia – lebih banyak dari G7.
BRICS dengan jelas mendefinisikan kepentingan ekonomi bersama dan keinginan bersama untuk mengubah model kelembagaan global, yang selama ini mereka rasakan terpinggirkan selama beberapa dekade. Kelompok ini bertujuan untuk memiliki suara yang setara dalam politik global, ekonomi dunia, dan sistem keuangan.
Guna mewujudkan agenda tersebut, BRICS telah mendirikan Bank Pembangunan Baru , sebuah lembaga keuangan yang menyediakan bantuan keuangan bagi negara-negara berkembang.
Selain itu, mereka juga mendirikan mekanisme untuk mendukung negara-negara anggota dalam menghadapi krisis keuangan dan tengah mengupayakan sistem pembayaran alternatif dalam mata uang BRICS sendiri.
Berikut 3negara yang diyakini merasa terganggu dengan kehadiran BRICS.
1. Amerika Serikat
Semangat dedolarisasi yang diusung BRICS, kemungkinan membuat Amerika Serikat (AS) merasa terganggu. Keberadaan BRICS telah memberikan alternatif bagi negara-negara berkembang untuk mencari mitra dan sumber investasi di luar hubungan tradisional dengan negara Barat.
Terlebih BRICS dipimpin oleh duo Rusia dan China yang punya hubungan kurang baik dengan AS, seiring dengan pecahnya perang di Ukraina hingga perang dagang.
Dipimpin oleh China dan didukung penuh oleh Brasil, BRICS sedang berjuang menuju perubahan paradigma dalam hierarki mata uang global yang didominasi oleh dolar AS, yang oleh negara-negara BRICS dianggap sebagai hambatan utama bagi kapasitas ekonomi mereka untuk berkembang.
Presiden Brasil, Lula da Silva sempat menyatakan, mengakhiri ketergantungan pada dolar sebagai salah satu prioritas BRICS. Belakangan saat dolar AS dipakai sebagai senjata untuk menghukum Rusia atas perangnya di Ukraina, menjadi salah satu alasan memudarnya hegemoni mata uang utama tersebut.
Ketidakpuasan negara-negara berkembang terhadap model pembiayaan Barat mungkin dapat menjelaskan sebagian dari meningkatnya daya tarik BRICS. Bagi Presiden Prancis Emanuel Macron, BRICS merupakan perwujudan dari fragmentasi sistem politik global yang membawa “risiko melemahnya Barat dan khususnya Eropa.”
2. Negara Eropa
Kehadiran BRICS yang terus meluas dianggap sebagai penantang buat Uni Eropa (UE). Blok Uni Eropa saat ini berjumlah 27 negara, yakni Austria, Belgia, Bulgaria, Kroasia, Republik Siprus, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Irlandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luksemburg, Malta, Belanda, Polandia, Portugal, Rumania, Slowakia, Slovenia, Spanyol, dan Swedia.
Uni Eropa juga menjadi salah satu blok kekuatan ekonomi dunia. Perluasan BRICS mungkin mencerminkan proses fragmentasi global yang sedang berlangsung. Gerakan ini membawa momentum kuat, dan yang paling menyatukan BRICS adalah penolakan mereka terhadap tatanan yang didominasi Barat.
Kini Barat dan khususnya Uni Eropa, dinilai harus menindaklanjuti dan memikirkan kembali model kerja sama dan pembangunan mereka dengan negara-negara berkembang. Jika tidak, mereka berisiko kehilangan negara-negara berkembang di masa meningkatnya ketegangan geopolitik dan tantangan transformasi global.
3. Negara Penerima Bantuan Barat
Kepala Pejabat Administratif enCore Energy Corp, Gregory Zerzan dikutip dari TheRiponForum, menerangkan bahwa BRICS tidak bermaksud menantang kerja sama multinasional. BRICS difokuskan untuk melemahkan Amerika Serikat.
Meski begitu kemunculan BRICS bisa menjadi ancaman bagi negara-negara penerima bantuan Barat, atau bahkan bisa menjadi solusi.
BRICS secara aktif berupaya memperluas peminjaman di seluruh Asia, Afrika, dan Amerika Selatan melalui pendirian Bank Pembangunan Baru (NDB), sebuah bank multilateral yang didirikan oleh kelompok tersebut pada tahun 2014.
Selain berfungsi sebagai sumber pembiayaan alternatif bagi IMF dan Bank Dunia, yang khususnya dipandang oleh China sebagai upaya memajukan kepentingan Amerika dan Barat, NDB memberikan pengaruh terhadap negara-negara berkembang yang dapat memfasilitasi peluang komersial dan penempatan kemampuan militer di luar negeri.
Beberapa pihak telah mengabaikan ancaman BRICS dengan alasan bahwa para anggotanya memiliki kepentingan yang berbeda, dan terkadang bertentangan.
"Ini tidak tepat; meskipun keanggotaannya dapat berubah, BRICS pada dasarnya akan tetap menjadi koalisi negara-negara yang menentang peran Amerika di dunia. Hingga saat ini, belum cukup perhatian yang diberikan pada ancaman yang masih muncul ini," tulis Gregory Zerzan.
(akr)