Sanksi Barat Mempersiapkan Sendiri Hukuman Mati buat Dolar AS
loading...
A
A
A
JAKARTA - Amerika Serikat atau AS disebut telah mengobarkan perang hibrida melawan Rusia, tetapi Menteri Luar Negeri Rusia , Sergey Lavrov menerangkan, sanksi agresif lebih banyak merugikan negara-negara termiskin di dunia. Hingga pada akhirnya sanksi Barat bakal jadi bumerang bagi Washington.
Menurutnya dolar AS yang selama beberapa dekade diporomosikan sebagai milik bersama seluruh umat manusia, kini diubah menjadi senjata penindasan dan sanksi terhadap pesaingnya, kondisi geopolitik dan buat mereka yang tidak sejalan.
"Dengan melakukan hal itu, mereka pada dasarnya telah mempersiapkan "hukuman mati" untuk dolar sebagai mata uang cadangan global dan sarana transaksi internasional," kata Lavrov.
Dalam simposium Inventing the Future di Moskow pada hari Senin kemarin, Lavrov dalam sambutannya menegaskan, bahwa Amerika Serikat dan sekutunya menghidupkan kembali semangat Perang Dingin dengan menyatakan perlunya menghilangkan "ancaman" yang dirasakan terhadap dominasi mereka dari Rusia, China, dan negara-negara lain yang mengejar kebijakan nasional independen.
Dengan berjuang mempertahankan "posisi istimewanya", Washington menurut Lavrov justru, "menebang cabang tempat ia berada" dan "menghancurkan sistem globalisasi yang telah mereka bina dan promosikan ke dunia,"
Sementara itu menurut Presiden Rusia, Vladimir Putin pada KTT BRICS bulan lalu, Washington sudah membuat "kesalahan besar" dengan menjadikan dolar sebagai senjata. Selain itu Putin juga menegaskan, bahwa Moskow tidak mencoba merusak mata uang AS, tetapi hanya "dipaksa mencari alternatif" dalam perdagangan dengan mitranya.
"Amerika Serikat sendiri yang telah menarik dolar dari peredaran, karena ada lebih banyak negara mulai takut, bahwa mereka kemungkinan bisa menjadi yang berikutnya. Tidak ada yang tahu apakah mereka bisa kena sanksi," kata Lavrov pada hari Senin, mengingat kembali kata-kata Putin.
Menurutnya penerapan pembatasan sepihak telah merugikan negara-negara termiskin di dunia. "Merampas sumber daya energi, pangan, pupuk, dan teknologi dasar yang terjangkau, belum lagi pencapaian dan perkembangan ilmiah ," kata Lavrov.
Ia juga menyoroti bahwa negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin menjadi yang paling menderita. "Ibukota Barat tiba-tiba melupakan prinsip-prinsip seperti persaingan yang adil, properti yang tidak dapat diganggu gugat, praduga tidak bersalah, dan banyak lainnya," sambungnya.
Selama sepuluh tahun terakhir, Rusia menghadapi lebih dari 21.000 sanksi di berbagai sektor, mulai dari ekonomi dan perdagangan hingga budaya dan olahraga, menurut Lavrov.
Diketahui lembaga keuangan Rusia sebagian besar terputus dari sistem keuangan Barat pada tahun 2022 sebagai tanggapan atas operasi militer Rusia di Ukraina. Akibatnya, Moskow mempercepat perdagangan dengan mitra internasional menggunakan mata uang nasional mereka (dedolarisasi), sebuah tren yang semakin didukung oleh anggota BRICS, yang telah beralih dari penggunaan dolar dan euro dalam penyelesaian perdagangan.
Menurutnya dolar AS yang selama beberapa dekade diporomosikan sebagai milik bersama seluruh umat manusia, kini diubah menjadi senjata penindasan dan sanksi terhadap pesaingnya, kondisi geopolitik dan buat mereka yang tidak sejalan.
"Dengan melakukan hal itu, mereka pada dasarnya telah mempersiapkan "hukuman mati" untuk dolar sebagai mata uang cadangan global dan sarana transaksi internasional," kata Lavrov.
Dalam simposium Inventing the Future di Moskow pada hari Senin kemarin, Lavrov dalam sambutannya menegaskan, bahwa Amerika Serikat dan sekutunya menghidupkan kembali semangat Perang Dingin dengan menyatakan perlunya menghilangkan "ancaman" yang dirasakan terhadap dominasi mereka dari Rusia, China, dan negara-negara lain yang mengejar kebijakan nasional independen.
Dengan berjuang mempertahankan "posisi istimewanya", Washington menurut Lavrov justru, "menebang cabang tempat ia berada" dan "menghancurkan sistem globalisasi yang telah mereka bina dan promosikan ke dunia,"
Sementara itu menurut Presiden Rusia, Vladimir Putin pada KTT BRICS bulan lalu, Washington sudah membuat "kesalahan besar" dengan menjadikan dolar sebagai senjata. Selain itu Putin juga menegaskan, bahwa Moskow tidak mencoba merusak mata uang AS, tetapi hanya "dipaksa mencari alternatif" dalam perdagangan dengan mitranya.
"Amerika Serikat sendiri yang telah menarik dolar dari peredaran, karena ada lebih banyak negara mulai takut, bahwa mereka kemungkinan bisa menjadi yang berikutnya. Tidak ada yang tahu apakah mereka bisa kena sanksi," kata Lavrov pada hari Senin, mengingat kembali kata-kata Putin.
Menurutnya penerapan pembatasan sepihak telah merugikan negara-negara termiskin di dunia. "Merampas sumber daya energi, pangan, pupuk, dan teknologi dasar yang terjangkau, belum lagi pencapaian dan perkembangan ilmiah ," kata Lavrov.
Ia juga menyoroti bahwa negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin menjadi yang paling menderita. "Ibukota Barat tiba-tiba melupakan prinsip-prinsip seperti persaingan yang adil, properti yang tidak dapat diganggu gugat, praduga tidak bersalah, dan banyak lainnya," sambungnya.
Selama sepuluh tahun terakhir, Rusia menghadapi lebih dari 21.000 sanksi di berbagai sektor, mulai dari ekonomi dan perdagangan hingga budaya dan olahraga, menurut Lavrov.
Diketahui lembaga keuangan Rusia sebagian besar terputus dari sistem keuangan Barat pada tahun 2022 sebagai tanggapan atas operasi militer Rusia di Ukraina. Akibatnya, Moskow mempercepat perdagangan dengan mitra internasional menggunakan mata uang nasional mereka (dedolarisasi), sebuah tren yang semakin didukung oleh anggota BRICS, yang telah beralih dari penggunaan dolar dan euro dalam penyelesaian perdagangan.
(akr)