Penerimaan Pajak Makin Merosot saat Pandemi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyatakan ada beberapa catatan penerimaan pajak pasca pandemi Covid-19. Pertama, realisasi penerimaan pajak makin merosot. Dengan rata rata yang hanya 93% maka perkiraan penerimaan pajak pada tahun 2020 sebesar Rp1.239 triliun.
“Angka ini bisa menimbulkan defisit anggaran yang membengkak,” ucap Peneliti Indef Nailul Huda saat webinar di Jakarta, kemarin. (Baca: Mulai Hari Ini Seluruh ASN DKI Hanya Bekerja 5,5 Jam Perhari)
Kedua, sektor penerimaan pajak jeblok semua. Menurut dia, jebloknya sektor ekonomi merupakan pendulang pajak. Sektor industri manufaktur dan perdagangan yang menjadi sektor pendulang pajak jeblok pada tahun 2019.
“Jadi sebelum pandemi ini sebenarnya penerimaan pajak pada dua sektor ini selalu menurun. Padahal dua sektor ini lah yang menyumbang sekitar 80% di Indonesia dan tahun ini dipastikan akan tambah jeblok,” katanya.
Ketiga, tax ratio juga terus mengalami penurunan. Bahkan selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tax ratio ini paling rendah dalam dekade terakhir. Artinya, kinerja pajak pada pemerintahan Jokowi sangat buruk. “Jadi ini sebuah prestasi pemerintahan Jokowi tax ratio-nya terendah dalam dekade terakhir,” cetus Huda.
Keempat, program SPT tahunan yang digalakan tidak selalu efektif dan berjalan semakin melambat. “Mungkin hanya efketif di 2017 saja, saat ini tidak efektif karena pada beberapa tahun terakhir si wajib pajak tidak aktif bahkan cenderung tidak bayar. Ditambah pandemi ini maka semakin jeblok,” jelasnya. (Baca juga: Pentagon: China Lirik Indonesia Untuk Jadi Pangkalan Militernya)
Kelima, tax expenditure semakin naik namun hasilnya tidak signifikan. Tahun 2019, belanja pajak estimasi sebesar Rp257,2 triliun. “Tapi kalau dilihat dari realisasi, ternyata belanja pajak makin lama makin naik dari tahun ke tahun namun tidak bisa dongkrak penerimaan. Sehingga belanja pajak patut di evaluasi,” kata Huda.
Apalagi ditengah pandemi ini adanya peningkatan pajak itu tidak elok jika harus mengorbankan sektor tertentu seperti sektor kesehatan. “Padahal kita harus mendahulukan pandeminya dariapada kejar sektor pajak,” ungkap dia. Keenam, penerimaan bea dan cukai dari IHT bisa menjadi penyelamat APBN.
Indef juga mencatat permasalahan yang sedang terjadi saat ini adanya dinamika risiko penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Tahun depan pemerintah telah memasang proyeksi harga minyak mentah seperti lifting gas yang diekspeketasi akan naik menjadi 1.007 barel.
Namun yang menjadi persoalan, harga minyak dari Maret 2020 hingga April 2020 terjadi titik terendah karena ada harapan recovery dibeberapa negara dunia. “Padahal lifting migas yang kecendrungan turun akan berpengaruh pada penerimaan pajak,” kata Peneliti Indef Abra Talattov. (Baca juga: Kapal Induk dan Kapal Perang Nusantara Bernama Nuansa Nusantara)
Apalagi saat ini, PNBP dari tahun 2014 hingga 2021 trendnya sedang menurun. Menurut Abra, sumbangan PNBP ke negara setiap tahun memang trendnya menurun tergantung dari harga komoditas migas dan batubara.
Sebelum tahun 2017, share PNBP mengalami peningkatan karena pada saat itu harga komoditas sedang booming. Namun kembali menurun seiring dengan harga komoditas yang jatuh dan kembali bangkit di tahun 2018.
Meski begitu, yang menjadi kekhawatiran saat ini adalah trend share PNBP tahun 2020-2021 sebab ada kecendrungan mengalami penurunan. (Kunthi Fahmar Sandy)
Lihat Juga: Rincian APBN 2025 di Tahun Pertama Prabowo, Pendapatan Negara Ditarget Rp3.005,1 Triliun
“Angka ini bisa menimbulkan defisit anggaran yang membengkak,” ucap Peneliti Indef Nailul Huda saat webinar di Jakarta, kemarin. (Baca: Mulai Hari Ini Seluruh ASN DKI Hanya Bekerja 5,5 Jam Perhari)
Kedua, sektor penerimaan pajak jeblok semua. Menurut dia, jebloknya sektor ekonomi merupakan pendulang pajak. Sektor industri manufaktur dan perdagangan yang menjadi sektor pendulang pajak jeblok pada tahun 2019.
“Jadi sebelum pandemi ini sebenarnya penerimaan pajak pada dua sektor ini selalu menurun. Padahal dua sektor ini lah yang menyumbang sekitar 80% di Indonesia dan tahun ini dipastikan akan tambah jeblok,” katanya.
Ketiga, tax ratio juga terus mengalami penurunan. Bahkan selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tax ratio ini paling rendah dalam dekade terakhir. Artinya, kinerja pajak pada pemerintahan Jokowi sangat buruk. “Jadi ini sebuah prestasi pemerintahan Jokowi tax ratio-nya terendah dalam dekade terakhir,” cetus Huda.
Keempat, program SPT tahunan yang digalakan tidak selalu efektif dan berjalan semakin melambat. “Mungkin hanya efketif di 2017 saja, saat ini tidak efektif karena pada beberapa tahun terakhir si wajib pajak tidak aktif bahkan cenderung tidak bayar. Ditambah pandemi ini maka semakin jeblok,” jelasnya. (Baca juga: Pentagon: China Lirik Indonesia Untuk Jadi Pangkalan Militernya)
Kelima, tax expenditure semakin naik namun hasilnya tidak signifikan. Tahun 2019, belanja pajak estimasi sebesar Rp257,2 triliun. “Tapi kalau dilihat dari realisasi, ternyata belanja pajak makin lama makin naik dari tahun ke tahun namun tidak bisa dongkrak penerimaan. Sehingga belanja pajak patut di evaluasi,” kata Huda.
Apalagi ditengah pandemi ini adanya peningkatan pajak itu tidak elok jika harus mengorbankan sektor tertentu seperti sektor kesehatan. “Padahal kita harus mendahulukan pandeminya dariapada kejar sektor pajak,” ungkap dia. Keenam, penerimaan bea dan cukai dari IHT bisa menjadi penyelamat APBN.
Indef juga mencatat permasalahan yang sedang terjadi saat ini adanya dinamika risiko penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Tahun depan pemerintah telah memasang proyeksi harga minyak mentah seperti lifting gas yang diekspeketasi akan naik menjadi 1.007 barel.
Namun yang menjadi persoalan, harga minyak dari Maret 2020 hingga April 2020 terjadi titik terendah karena ada harapan recovery dibeberapa negara dunia. “Padahal lifting migas yang kecendrungan turun akan berpengaruh pada penerimaan pajak,” kata Peneliti Indef Abra Talattov. (Baca juga: Kapal Induk dan Kapal Perang Nusantara Bernama Nuansa Nusantara)
Apalagi saat ini, PNBP dari tahun 2014 hingga 2021 trendnya sedang menurun. Menurut Abra, sumbangan PNBP ke negara setiap tahun memang trendnya menurun tergantung dari harga komoditas migas dan batubara.
Sebelum tahun 2017, share PNBP mengalami peningkatan karena pada saat itu harga komoditas sedang booming. Namun kembali menurun seiring dengan harga komoditas yang jatuh dan kembali bangkit di tahun 2018.
Meski begitu, yang menjadi kekhawatiran saat ini adalah trend share PNBP tahun 2020-2021 sebab ada kecendrungan mengalami penurunan. (Kunthi Fahmar Sandy)
Lihat Juga: Rincian APBN 2025 di Tahun Pertama Prabowo, Pendapatan Negara Ditarget Rp3.005,1 Triliun
(ysw)