Asyiknya Thailand, Covid Reda, Warga Dibayari Pemerintah untuk Liburan
loading...
A
A
A
Warga Bangkok Kietthisak Khem-Siripat memanfaatkan skema subsidi tersebut untuk mengajak keluarganya berlibur ke Krabi. "Ini adalah hal yang sangat bagus karena menimbulkan keseimbangan antara ekonomi dan kesehatan," ujarnya seraya memuji langkah pemerintah tersebut. "Memang tak semua biaya liburan ditanggung, tapi setidaknya kami mendapatkan diskon," tuturnya.
Kendati demikian, sektor pariwisata Thailand masih jauh dari pulih. Sejak Maret lalu, kota-kota besar, pantai, pasar hingga pegunungan Thailand yang biasa menjadi sasaran turis sepi tanpa pengunjung. Padahal, Thailand menargetkan kunjungan sekitar 40 juga wisatawan asing tahun ini. Jumlah kunjungan wisman diprediksi merosot tinggal 8 juta saja.
(Baca Juga: Sudah Terapkan Protokol Kesehatan, Bali Masih Pikir-pikir Undang Wisman)
Hal ini berdampak signifikan bagi pengusaha yang bergerak di sektor pariwisata. Aeng-chaun, pemilik restoran yang telah beroperasi 22 tahun di Krabi misalnya, selama lockdown terpaksa menutup restorannya. "Saat dibuka lagi Mei lalu, kami terpaksa memotong gaji karyawan 50%," ujarnya.
Pemilik Hotel Chiang Mai Woody Eupapantawong mengatakan hal serupa, akibat lockdown, semua kamar yang telah di-booking terpaksa dibatalkan. Dia pun masih harus menanggung gaji karyawan di tengah anjloknya pendapatan hotel.
Pornthip Aeng-chaun, yang menjalankan restoran di Krabi pun mengatakan saat ini baru 20% pelanggan yang datang dibanding sebelumnya. Sebab, selama ini kebanyakan tamu restorannya adalah orang asing.
Thailand merupakan negara pertama di luar China yang mencatatkan kasus pertama Covid-19 pada Januari lalu. Terdapat lebih dari 3.473 kasus Covid-19 dan 58 kematian sejak itu. Namun, dibanding negara lain, tingkat infeksi di Thailand terbilang rendah dan negara ini juga dipuji karena mampu mendatarkan kurva Covid-19 dengan cepat. Thailand sempat mencatatkan 100 hari tanpa kasus infeksi secara lokal.
Kini, kehidupan berangsur normal, meski dipastikan butuh waktu sebelum ekonomi kembali pulih, terutama sektor pariwisata. Asisten Professor Ekonomi di Chulalongkorn University Jessica Vechbanyongratana mengatakan, skema liburan bersubsidi akan menolong, namun tak bisa menjadi penyelamat sektor industri.
"Turisme internasional itu adalah dua pertiga dari turisme di negara ini," tuturnya. "Jadi bagi hotel dan restoran, program ini akan menolong mereka mempertahankan level minimumnya sehingga diharapkan bisnisnya dapat bertahan melalui masa pandemi ini. Tapi tak bisa untuk menyelamatkan industri ini," tandasnya.
Kendati demikian, sektor pariwisata Thailand masih jauh dari pulih. Sejak Maret lalu, kota-kota besar, pantai, pasar hingga pegunungan Thailand yang biasa menjadi sasaran turis sepi tanpa pengunjung. Padahal, Thailand menargetkan kunjungan sekitar 40 juga wisatawan asing tahun ini. Jumlah kunjungan wisman diprediksi merosot tinggal 8 juta saja.
(Baca Juga: Sudah Terapkan Protokol Kesehatan, Bali Masih Pikir-pikir Undang Wisman)
Hal ini berdampak signifikan bagi pengusaha yang bergerak di sektor pariwisata. Aeng-chaun, pemilik restoran yang telah beroperasi 22 tahun di Krabi misalnya, selama lockdown terpaksa menutup restorannya. "Saat dibuka lagi Mei lalu, kami terpaksa memotong gaji karyawan 50%," ujarnya.
Pemilik Hotel Chiang Mai Woody Eupapantawong mengatakan hal serupa, akibat lockdown, semua kamar yang telah di-booking terpaksa dibatalkan. Dia pun masih harus menanggung gaji karyawan di tengah anjloknya pendapatan hotel.
Pornthip Aeng-chaun, yang menjalankan restoran di Krabi pun mengatakan saat ini baru 20% pelanggan yang datang dibanding sebelumnya. Sebab, selama ini kebanyakan tamu restorannya adalah orang asing.
Thailand merupakan negara pertama di luar China yang mencatatkan kasus pertama Covid-19 pada Januari lalu. Terdapat lebih dari 3.473 kasus Covid-19 dan 58 kematian sejak itu. Namun, dibanding negara lain, tingkat infeksi di Thailand terbilang rendah dan negara ini juga dipuji karena mampu mendatarkan kurva Covid-19 dengan cepat. Thailand sempat mencatatkan 100 hari tanpa kasus infeksi secara lokal.
Kini, kehidupan berangsur normal, meski dipastikan butuh waktu sebelum ekonomi kembali pulih, terutama sektor pariwisata. Asisten Professor Ekonomi di Chulalongkorn University Jessica Vechbanyongratana mengatakan, skema liburan bersubsidi akan menolong, namun tak bisa menjadi penyelamat sektor industri.
"Turisme internasional itu adalah dua pertiga dari turisme di negara ini," tuturnya. "Jadi bagi hotel dan restoran, program ini akan menolong mereka mempertahankan level minimumnya sehingga diharapkan bisnisnya dapat bertahan melalui masa pandemi ini. Tapi tak bisa untuk menyelamatkan industri ini," tandasnya.
(fai)