Alasan Jitu Penerapan Simplifikasi Cukai Rokok oleh Pemerintah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Guru besar Fakultas Ekononomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Ahmad Erani Yustika menilai, simplifikasi struktur tarif cukai tembakau sebagai opsi kebijakan yang ideal untuk dijalankan dalam kebijakan cukai hasil tembakau.
“Saya berpendapat simplifikasi bisa menjadi opsi ideal dalam penentuan kebijakan cukai tembakau dengan memenuhi beberapa syarat,” ujar Erani dalam Diseminasi Publik Hasil Penelitian Cukai Hasil Tembakau: Roadmap Simplifikasi, Celah Kebijakan dan Dampaknya, di Universitas Brawijaya Malang, Senin(14/9/2020).
Kebijakan ini dinilai Erani dapat menjadi bagian dari agenda demokrasi ekonomi karena menciptakan persaingan usaha yang adil. “Dengan simplifikasi, perusahaan besar akan dikumpulkan dengan perusahaan besar lainnya di dalam aquarium yang sama,” ujarnya.
Artinya, persaingan usaha akan terjadi sesuai dengan level perusahaannya, sehingga menutup celah bagi perusahaan besar bersaing dengan perusahaan kecil. ( Baca juga:91,3 Juta Masyarakat Indonesia Masih Gaptek Perbankan Digital )
Selain itu, kata Erani, simplifikasi struktur tarif cukai hasil tembakau akan menjadi instrumen yang ideal dengan sifatnya yang dapat meningkatkan penerimaan negara. Berdasarkan kajian dan simulasi yang dilakukan oleh tim peneliti dari Pusat Kajian dan Pengembangan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PKPM FEB UB), jika roadmap simplifikasi cukai hasil tembakau dijalankan oleh pemerintah sesuai PMK 146/2017, total potensi penerimaan negara bertambah sebesar Rp17,573 triliun.
Selain berkontribusi secara ekonomi, IHT juga menyerap tenaga kerja yang secara keseluruhan mencapai 5,5 juta orang. “Kalau satu orang menanggung empat anggota keluarga, berarti ada 20 juta orang menggantungkan hidupnya dari IHT,” ucapnya.
Itulah sebabnya dia menegaskan bahwa kebijakan cukai tembakau seharusnya menjamin kepastian dan sederhana, menciptakan persaingan usaha yang adil, dan mendukung upaya peningkatan kontribusi UMKM.
Ketua Tim Peneliti PKPM FEB UB Abdul Ghofar mengatakan bahwa kelangsungan IHT sangat dipengaruhi oleh kebijakan cukai rokok yang dikeluarkan oleh pemerintah.
“Semangatnya pemerintah memang melakukan simplifikasi seperti keluarnya PMK 146/2017 tentang roadmap simplifikasi cukai. Tetapi kalau dilihat sekarang struktur tarif cukai kita masih 10 layer,” ujar Ghofar.
Dalam kajiannya, tim peneliti menemukan bahwa dampak positif simplifikasi juga akan berpengaruh pada pengendalian konsumsi rokok yang menjadi tujuan pemerintah saat ini. “Menurut perhitungan kami dengan elatisitasnya, kalau terjadi kenaikan cukai 10% itu akan menurunkan konsumsi 3%,” katanya. ( Baca juga:Din Syamsuddin Desak Polri Seret Penusuk Syekh Ali Jaber ke Pengadilan )
Selama ini, banyak pihak yang meragukan dampak positif simplifikasi karena dinilai merugikan tenaga kerja, khususnya di sektor sigaret kretek tangan (SKT) yang padat karya.
“Dengan simplifikasi, konsumsi akan turun sehingga penyerapan tenaga kerja juga akan turun. Namun, itu tidak akan berpengaruh pada SKT karena jarak tarifnya jauh dengan golongan terendah rokok mesin, jadi perlindungan usaha tetap jalan,” pungkas Ghofar.
“Saya berpendapat simplifikasi bisa menjadi opsi ideal dalam penentuan kebijakan cukai tembakau dengan memenuhi beberapa syarat,” ujar Erani dalam Diseminasi Publik Hasil Penelitian Cukai Hasil Tembakau: Roadmap Simplifikasi, Celah Kebijakan dan Dampaknya, di Universitas Brawijaya Malang, Senin(14/9/2020).
Kebijakan ini dinilai Erani dapat menjadi bagian dari agenda demokrasi ekonomi karena menciptakan persaingan usaha yang adil. “Dengan simplifikasi, perusahaan besar akan dikumpulkan dengan perusahaan besar lainnya di dalam aquarium yang sama,” ujarnya.
Artinya, persaingan usaha akan terjadi sesuai dengan level perusahaannya, sehingga menutup celah bagi perusahaan besar bersaing dengan perusahaan kecil. ( Baca juga:91,3 Juta Masyarakat Indonesia Masih Gaptek Perbankan Digital )
Selain itu, kata Erani, simplifikasi struktur tarif cukai hasil tembakau akan menjadi instrumen yang ideal dengan sifatnya yang dapat meningkatkan penerimaan negara. Berdasarkan kajian dan simulasi yang dilakukan oleh tim peneliti dari Pusat Kajian dan Pengembangan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PKPM FEB UB), jika roadmap simplifikasi cukai hasil tembakau dijalankan oleh pemerintah sesuai PMK 146/2017, total potensi penerimaan negara bertambah sebesar Rp17,573 triliun.
Selain berkontribusi secara ekonomi, IHT juga menyerap tenaga kerja yang secara keseluruhan mencapai 5,5 juta orang. “Kalau satu orang menanggung empat anggota keluarga, berarti ada 20 juta orang menggantungkan hidupnya dari IHT,” ucapnya.
Itulah sebabnya dia menegaskan bahwa kebijakan cukai tembakau seharusnya menjamin kepastian dan sederhana, menciptakan persaingan usaha yang adil, dan mendukung upaya peningkatan kontribusi UMKM.
Ketua Tim Peneliti PKPM FEB UB Abdul Ghofar mengatakan bahwa kelangsungan IHT sangat dipengaruhi oleh kebijakan cukai rokok yang dikeluarkan oleh pemerintah.
“Semangatnya pemerintah memang melakukan simplifikasi seperti keluarnya PMK 146/2017 tentang roadmap simplifikasi cukai. Tetapi kalau dilihat sekarang struktur tarif cukai kita masih 10 layer,” ujar Ghofar.
Dalam kajiannya, tim peneliti menemukan bahwa dampak positif simplifikasi juga akan berpengaruh pada pengendalian konsumsi rokok yang menjadi tujuan pemerintah saat ini. “Menurut perhitungan kami dengan elatisitasnya, kalau terjadi kenaikan cukai 10% itu akan menurunkan konsumsi 3%,” katanya. ( Baca juga:Din Syamsuddin Desak Polri Seret Penusuk Syekh Ali Jaber ke Pengadilan )
Selama ini, banyak pihak yang meragukan dampak positif simplifikasi karena dinilai merugikan tenaga kerja, khususnya di sektor sigaret kretek tangan (SKT) yang padat karya.
“Dengan simplifikasi, konsumsi akan turun sehingga penyerapan tenaga kerja juga akan turun. Namun, itu tidak akan berpengaruh pada SKT karena jarak tarifnya jauh dengan golongan terendah rokok mesin, jadi perlindungan usaha tetap jalan,” pungkas Ghofar.
(uka)