Adaptasi Kilat ala Restoran
loading...
A
A
A
“Kemungkinan bangkitnya industri resto cukup besar dan harusnya di 2021 tumbuh. Kalau tidak akan nyungsep. Untuk itu perlu dipersiapkan sejak sekarang," ungkapnya.
Dia menjelaskan, di masa pandemi, bisnis restoran harus bisa hidup beradaptasi di tiga lingkungan ekonomi. Pertama, Hygiene Economy di mana Cleanliness, Healthiness, dan Safety (CHS) menjadi penentu krusial.
Kedua, Low-Touch Economy di mana operasional resto (front-end maupun back-end) harus memperkecil persentuhan fisik. Ketiga, Less Crowd Economy dimana jaga jarak menjadi sebuah keharusan untuk mengurangi risiko penularan Covid-19. (Baca juga: Lahan TPU di Pondok Rangon Diperlua Sekitar 13.500 Meter Persegi)
Selain memprioritaskan CHS, Yuswohady memperkirakan akan ada empat perubahan bisnis lainnya dari sisi konsumen. Pertama, konsumen akan lebih memilih konsep fast casual dining di mana mereka datang hanya untuk makan tanpa berlama-lama di lokasi. Ini akan mengubah pola bisnis dan perilaku kosumen saat dine-in di restoran.
Kedua, more value oriented di mana pelanggan tidak mau lagi antre panjang saat membeli makanan take away. Ketiga, food@home lifestyle di mana konsumen menjadi lebih nyaman membeli secara online. Keempat, digital maturity, yaknidi mana pandemi Covid-19 mendorong konsumen segera beradaptasi dengan digital.
Di bagian lain, pengamat manajemen dari PPM School of Management Wahyu Tri Setyobudi memahami apabila pelaku usaha terpaksa melakukan berbagai strategi demi mempertahankan lini bisnisnya. Strategi itu berkaitan dengan jangka pendek terkait pencapaian penjualan (sales), target campaign dan lainnya. Sementara strategi jangka panjang terkait imej brand. (Baca juga: Siap-siap Resesi, Penduduk Miskin Bisa Bertambah 1,2 Juta)
“Bisa kita pahami apa yang dilakukan itu sebagai satu tuntutan adanya shock atau gegar bisnis. Pandemi ini kan datangnya tiba-tiba, banyak yang tidak ada persiapan. Ini juga berlarut-larut sampai enam bulan lebih, bahkan akhirnyajuga masih tidak tahu kapan,” kata Wahyu.
Terkait stretegi jangka pendek seperti melakukan penjualan langsung di pinggir jalan, dia menilai hal itu belum tentu efektif dika dilakukan dalam jangka panjang. Menurutnya, belum tentu metode pemasaran tersebut secara sistemik akan menjadi solusi.
Kalau melihat dari sisi brand atau jangka panjang, Wahyu menilai upaya tersebut tidak produktif. Sebagai restoran yang masuk kategori high end, namun format penjualan yang low end. Padahal salah satu nilai atau value dari produk high end yaitu menawarkan eksklusivitas.
“Kalau menjual secara low end, artinya melepaskan competitive positioning yang seakan-akan memberi pesan ke masyarakat bahwa tidak ada jalan lain. Mengorbankan jangka panjang hanya untuk mendapatkan tindakan reaktif jangka pendek. Harusnya lebih elegan Menurut saya, itu kontraproduktif, sangat berbahaya. Karena brand itu dibangun lama dan menggunakan investasi yang tidak sedikit,” katanya.
Dia menjelaskan, di masa pandemi, bisnis restoran harus bisa hidup beradaptasi di tiga lingkungan ekonomi. Pertama, Hygiene Economy di mana Cleanliness, Healthiness, dan Safety (CHS) menjadi penentu krusial.
Kedua, Low-Touch Economy di mana operasional resto (front-end maupun back-end) harus memperkecil persentuhan fisik. Ketiga, Less Crowd Economy dimana jaga jarak menjadi sebuah keharusan untuk mengurangi risiko penularan Covid-19. (Baca juga: Lahan TPU di Pondok Rangon Diperlua Sekitar 13.500 Meter Persegi)
Selain memprioritaskan CHS, Yuswohady memperkirakan akan ada empat perubahan bisnis lainnya dari sisi konsumen. Pertama, konsumen akan lebih memilih konsep fast casual dining di mana mereka datang hanya untuk makan tanpa berlama-lama di lokasi. Ini akan mengubah pola bisnis dan perilaku kosumen saat dine-in di restoran.
Kedua, more value oriented di mana pelanggan tidak mau lagi antre panjang saat membeli makanan take away. Ketiga, food@home lifestyle di mana konsumen menjadi lebih nyaman membeli secara online. Keempat, digital maturity, yaknidi mana pandemi Covid-19 mendorong konsumen segera beradaptasi dengan digital.
Di bagian lain, pengamat manajemen dari PPM School of Management Wahyu Tri Setyobudi memahami apabila pelaku usaha terpaksa melakukan berbagai strategi demi mempertahankan lini bisnisnya. Strategi itu berkaitan dengan jangka pendek terkait pencapaian penjualan (sales), target campaign dan lainnya. Sementara strategi jangka panjang terkait imej brand. (Baca juga: Siap-siap Resesi, Penduduk Miskin Bisa Bertambah 1,2 Juta)
“Bisa kita pahami apa yang dilakukan itu sebagai satu tuntutan adanya shock atau gegar bisnis. Pandemi ini kan datangnya tiba-tiba, banyak yang tidak ada persiapan. Ini juga berlarut-larut sampai enam bulan lebih, bahkan akhirnyajuga masih tidak tahu kapan,” kata Wahyu.
Terkait stretegi jangka pendek seperti melakukan penjualan langsung di pinggir jalan, dia menilai hal itu belum tentu efektif dika dilakukan dalam jangka panjang. Menurutnya, belum tentu metode pemasaran tersebut secara sistemik akan menjadi solusi.
Kalau melihat dari sisi brand atau jangka panjang, Wahyu menilai upaya tersebut tidak produktif. Sebagai restoran yang masuk kategori high end, namun format penjualan yang low end. Padahal salah satu nilai atau value dari produk high end yaitu menawarkan eksklusivitas.
“Kalau menjual secara low end, artinya melepaskan competitive positioning yang seakan-akan memberi pesan ke masyarakat bahwa tidak ada jalan lain. Mengorbankan jangka panjang hanya untuk mendapatkan tindakan reaktif jangka pendek. Harusnya lebih elegan Menurut saya, itu kontraproduktif, sangat berbahaya. Karena brand itu dibangun lama dan menggunakan investasi yang tidak sedikit,” katanya.