Adaptasi Kilat ala Restoran

Senin, 21 September 2020 - 06:14 WIB
loading...
Adaptasi Kilat ala Restoran
Foto/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Imbas pandemi Covid-19 mendorong banyak perusahaan putar otak agar roda bisnisnya tetap bertahan. Tak terkecuali di sektor food and beverage (F&B) seperti restoran.

Bahkan, sejumlah restoran dengan brand terkenal juga harus rela menjalankan bisnisnya dengan menjual produk di pinggir jalan. Strategi ini dianggap menjadi solusi di tengah pendemi di mana terdapat pembatasan kunjungan langsung ke gerai. Dengan cara ini, pemilik brand bisa langsung mendekati konsumen sehingga aktivitas penjualan tetap berjalan. (Baca: DPR Akan Bahas Perppu Pilkada Jilid II)

Pizza Hut dan Domino’s Pizza adalah dua di antara beberapa merek restoran yang kini terpaksa ‘turun ke jalan’ mendekati konsumen. Mereka mengerahkan karyawannya untuk menjajakan pizza dengan paket khusus di bawa pulang. Restoran lain yang juga menempuh cara serupa adalah Ta Wan. Dalam beberapa hari terakhir, brand kuliner yang biasa berada di mal-mal besar itu ikut menawarkan paket makanan di sejumlah titik di jalanan ibu kota.

“Kita sudah mulai dari Juli lalu. Ikutin kebijakan dari pusat. Karena lagi pandemi, jadi makanya konsep pemasarannya di pinggir jalan. Kita juga jualan door to door. Tapi, toko juga tetap buka kalau pembeli mau langsung datang ke sana,” kata Junaedi, crew trainer Pizza Hut Kota Bintang, di Kalimalang, Bekasi, saat ditemui SINDO Media, Sabtu (19/9).

Junaedi yang saat itu mengenakan seragam abu-abu lengkap dengan masker dan face shield, mendapat tugas bersama rekannya Trisna untuk menjajakan pizza. Dia berdiri di pinggir jalan sambil memegang poster serta memajang sejumlah paket pizza yang dikemas dalam dus kecil.

Dia mengakui, setiap hari kru di gerai tempatnya bekerja bergantian berjualan di pinggir jalan. Mereka biasa membuka stand mini mulai sekitar jam 14.00 - 19.00 WIB. Keduanya pun harus melupakan sejenak kenyamanan di ruang ber-AC seperti sebelumnya. (Baca juga:Umbar Foto di Medsos Picu Munculnya Penyakit Mental)

Brand lainnya, Domino’s Pizza juga memasarkan produknya di pinggir jalan. SINDO Media mendapati Dani Hamdani, salah seorang pegawai yang tengah menjajakan pizza di area Perumnas I Bekasi. Namun, berbeda dengan Pizza Hut, Dani mengatakan konsep itu sudah lama diterapkan sebelum pandemi.

“Sebelum ada Covid-19, memang dari perusahaan sudah kayak begini. Kita juga dikasih tugas jualan di jalan. Setiap hari biasanya mulai dari jam 4 sore sampai sekitar jam setengah 7 malam,” sahut Dani.

Kurniadi Sulistyomo, Sektretaris Perusahaan PT Sarimelati Kencana selaku pemegang lisensi waralaba restoran Pizza Hut mengakui, bisnis Pizza Hut mengalami perlambatan akibat pandemi virus korona. Merebaknya wabah tersebut ikut berimbas pada jumlah pengunjung restoran yang kian menurun, khususnya untuk gerai yang ada di mal karena kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di berbagai daerah.

“Apalagi ada penerapan PSBB sehingga ada pembatasan 50% kapasitas duduk bagi pengunjung dan pembatasan jam operasional,” katanya.

Dia menambahkan, sejauh ini perusahaan berupaya tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan sembari tetap mengembangkan strategi pemasaran dan penjualan produk dengan mengikuti aturan protokol kesehatan. Strategi tersebut termasuk membuat gerai ‘dadakan’ di pinggir jalan serta program lainnya seperti aneka promo.

Kurniadi menilai, perusahannya mempertimbangkan faktor biaya yang harus dikeluarkan secara keseluruhan seperti gaji karyawan, sewa lokasi, operasional gerai, dan lainnya. Menurutnya, beberapa restoran skala kecil maupun besar juga menerapkan langkah serupa sebagai bentuk pemasaran dan penjualan produk dengan lebih mendekatkan diri kepada konsumen. (Baca juga: 5 Zodiak Ini Begitu Mudah tertipu oleh Cinta)

Pengamat kulinerGupta Sitorus yang juga editor majalah Kenduri menilai, para pelaku usaha F&B perlu memikirkan kembali strategi bisnis termasuk meninjau uang sistem pengadaan sehingga produk produk mereka lebih terjangkau dan atraktif buat konsumen.

“Ini termasuk merasionalisasi rangkaian produk atau menu menjadi lebih ringkas. Supaya tidak menambah beban inventori,” katanya.

Di sisi lain, ujar di, pelaku usaha juga didorong untuk optimalisasi distribution kanal penjualan ke e-commerce dan online. Ini berarti pelaku sektor F&B harus berinovasi dengan membuat produk yang ramah delivery.

Tren Restoran 2012

Pakar marketing dari Inventure Yuswohady mengatakan, para pengelola usaha restoran harus benar-benar mempersiapkan diri menghadapi era baru yakni Era Next Normal. Era ini disebutnya sebagai kelanjutan era kehidupan setelah new normal, dan old normal sebelum adanya pandemi Covid-19.

Dia menyebutkan, keberadaan vaksin Covid yang diperkirakan baru mulai diproduksi Januari tahun depan menjadi titik balik ekonomi kembali menggeliat. Namun, perlu disadari bahwa situasi tidak akan pernah kembali normal mengingat pandemi telah mengubah perilaku konsumen secara ekstrim.

“2021 harus menjadi tahun kebangkitan. Apalagi bisnis sektor industri restoran dan F&B dinilai paling cepat bangkit di tengah kelesuan bisnis akibat pandemi Covid-19,” kata Yuswohady saat menyampaikan Resto Industry Outlook 2021, di Jakarta pekan lalu. (Baca juga: Koeman Sarankan Puig Segera Tinggalkan Barcelona)

Menurut dia, restoran merupakan salah satu sektor usaha yang paling terkena dampak Covid-19. Namun, sektor itu juga dinilai paling cepat bangkit.

“Kemungkinan bangkitnya industri resto cukup besar dan harusnya di 2021 tumbuh. Kalau tidak akan nyungsep. Untuk itu perlu dipersiapkan sejak sekarang," ungkapnya.

Dia menjelaskan, di masa pandemi, bisnis restoran harus bisa hidup beradaptasi di tiga lingkungan ekonomi. Pertama, Hygiene Economy di mana Cleanliness, Healthiness, dan Safety (CHS) menjadi penentu krusial.

Kedua, Low-Touch Economy di mana operasional resto (front-end maupun back-end) harus memperkecil persentuhan fisik. Ketiga, Less Crowd Economy dimana jaga jarak menjadi sebuah keharusan untuk mengurangi risiko penularan Covid-19. (Baca juga: Lahan TPU di Pondok Rangon Diperlua Sekitar 13.500 Meter Persegi)

Selain memprioritaskan CHS, Yuswohady memperkirakan akan ada empat perubahan bisnis lainnya dari sisi konsumen. Pertama, konsumen akan lebih memilih konsep fast casual dining di mana mereka datang hanya untuk makan tanpa berlama-lama di lokasi. Ini akan mengubah pola bisnis dan perilaku kosumen saat dine-in di restoran.

Kedua, more value oriented di mana pelanggan tidak mau lagi antre panjang saat membeli makanan take away. Ketiga, food@home lifestyle di mana konsumen menjadi lebih nyaman membeli secara online. Keempat, digital maturity, yaknidi mana pandemi Covid-19 mendorong konsumen segera beradaptasi dengan digital.

Di bagian lain, pengamat manajemen dari PPM School of Management Wahyu Tri Setyobudi memahami apabila pelaku usaha terpaksa melakukan berbagai strategi demi mempertahankan lini bisnisnya. Strategi itu berkaitan dengan jangka pendek terkait pencapaian penjualan (sales), target campaign dan lainnya. Sementara strategi jangka panjang terkait imej brand. (Baca juga: Siap-siap Resesi, Penduduk Miskin Bisa Bertambah 1,2 Juta)

“Bisa kita pahami apa yang dilakukan itu sebagai satu tuntutan adanya shock atau gegar bisnis. Pandemi ini kan datangnya tiba-tiba, banyak yang tidak ada persiapan. Ini juga berlarut-larut sampai enam bulan lebih, bahkan akhirnyajuga masih tidak tahu kapan,” kata Wahyu.

Terkait stretegi jangka pendek seperti melakukan penjualan langsung di pinggir jalan, dia menilai hal itu belum tentu efektif dika dilakukan dalam jangka panjang. Menurutnya, belum tentu metode pemasaran tersebut secara sistemik akan menjadi solusi.

Kalau melihat dari sisi brand atau jangka panjang, Wahyu menilai upaya tersebut tidak produktif. Sebagai restoran yang masuk kategori high end, namun format penjualan yang low end. Padahal salah satu nilai atau value dari produk high end yaitu menawarkan eksklusivitas.

“Kalau menjual secara low end, artinya melepaskan competitive positioning yang seakan-akan memberi pesan ke masyarakat bahwa tidak ada jalan lain. Mengorbankan jangka panjang hanya untuk mendapatkan tindakan reaktif jangka pendek. Harusnya lebih elegan Menurut saya, itu kontraproduktif, sangat berbahaya. Karena brand itu dibangun lama dan menggunakan investasi yang tidak sedikit,” katanya.

Ketua Center for Innovation and Collaboration PPM itu berpendapat, brand-brand besar perlu melakukan hibernasi yakni menerapkan efisiensi dan menekan pengeluaran dengan menyesuaikan kondisi pendapatan yang sedang berada pada titik rendah. Misalnya, terkait efisensi karyawan.

“Pola pengurangan karyawan bisa diperhalus dengan kemitraan. Jika tadinya menjadi karyawan, setelah PHK harus dijadikan mitra misalnya sebagai mitra delivery,” ujar dia. (Lihat videonya: Bom Sukhoi TNI AU Jatuh ke Pemukiman Warga di Takalar)

Langkah lainnya, lanjut Wahyu, bisa dengan menghilangkan produk atau portofolio yang kurang menghasilkan. Momentum ini saatnya bagi perusahaan untuk melihat lagi dan membenahi portofolio produknya.

Wahyu juga menilai bahwa penggunaan layanan digital harus menjadi strategi yang perlu diupayakan perusahaan. Misalnya, melakukan promo-promo melalui digital. Menurut dia, cara itu jauh lebih elegan ketimbang promo di jalan. (Faorick Pakpahan/Oktiani Endarwati/Yanto Kusdiantono)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1014 seconds (0.1#10.140)