Satu Tahun Jokowi-Ma'ruf: Orang Kaya Terus Menabung, Artinya?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ada yang menarik dari satu tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin pada 20 Oktober 2020 ini. Salah satunya orang kaya banyak menabung di perbankan.
Ekonom Indef Bhima Yudistira mengatakan, ketimpangan semakin meningkat karena orang kaya terus menabung di bank dengan lebih sedikit membelanjakan uangnya. Sementara itu masyarakat miskin tidak memiliki cukup tabungan. ( Baca juga:Habis 'Tiarap' 3 Bulan di Awal Pandemi, Ijin Usaha Mikro Lompat Tinggi Capai 200.000 )
"Pasca-pandemi, ketimpangan aset makin melebar," kata Bhima saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Selasa (20/10/2020).
Dia melanjutka, neraca dagang mengalami surplus dalam lima bulan berturut-turut (Mei-September 2020), tapi surplus yang semu ini merupakan indikasi buruk bagi ekonomi karena lebih disebabkan oleh total impor yang terkontraksi -18,1%. Secara spesifik, impor bahan baku dan barang modal yang paling menurun karena industri manufaktur mengalami tekanan.
"Impor barang konsumsi juga tertekan sebesar -9,3% dari awal tahun hingga September. Jadi kinerja perdagangan masih perlu dikritisi karena ekspor mengalami penurunan -5,81% sepanjang Januari-September 2020," katanya.
Dia menambahkan, inflasi terlalu rendah karena tekanan daya beli masyarakat. Deflasi bahkan terjadi dalam beberapa bulan dengan inflasi inti (core inflation) hanya 1,86% per September 2020. Inflasi yang rendah berakibat pada harga jual barang yang tidak sesuai dengan ongkos produksi dari produsen. ( )
"Bahkan tidak sedikit yang menawarkan harga diskon agar stok tahun sebelumnya bisa habis terjual. Dalam jangka panjang, jika inflasi tetap rendah maka produsen akan alami kerugian bahkan terancam berhenti beroperasi," tandasnya.
Ekonom Indef Bhima Yudistira mengatakan, ketimpangan semakin meningkat karena orang kaya terus menabung di bank dengan lebih sedikit membelanjakan uangnya. Sementara itu masyarakat miskin tidak memiliki cukup tabungan. ( Baca juga:Habis 'Tiarap' 3 Bulan di Awal Pandemi, Ijin Usaha Mikro Lompat Tinggi Capai 200.000 )
"Pasca-pandemi, ketimpangan aset makin melebar," kata Bhima saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Selasa (20/10/2020).
Dia melanjutka, neraca dagang mengalami surplus dalam lima bulan berturut-turut (Mei-September 2020), tapi surplus yang semu ini merupakan indikasi buruk bagi ekonomi karena lebih disebabkan oleh total impor yang terkontraksi -18,1%. Secara spesifik, impor bahan baku dan barang modal yang paling menurun karena industri manufaktur mengalami tekanan.
"Impor barang konsumsi juga tertekan sebesar -9,3% dari awal tahun hingga September. Jadi kinerja perdagangan masih perlu dikritisi karena ekspor mengalami penurunan -5,81% sepanjang Januari-September 2020," katanya.
Dia menambahkan, inflasi terlalu rendah karena tekanan daya beli masyarakat. Deflasi bahkan terjadi dalam beberapa bulan dengan inflasi inti (core inflation) hanya 1,86% per September 2020. Inflasi yang rendah berakibat pada harga jual barang yang tidak sesuai dengan ongkos produksi dari produsen. ( )
"Bahkan tidak sedikit yang menawarkan harga diskon agar stok tahun sebelumnya bisa habis terjual. Dalam jangka panjang, jika inflasi tetap rendah maka produsen akan alami kerugian bahkan terancam berhenti beroperasi," tandasnya.
(uka)