Keroyokan Minta Pemerintah Tunda Kenaikan Cukai Rokok
loading...
A
A
A
Imbasnya dari kenaikan cukai di tahun 2020, para pekerja, anggota FSP RTMM SPSI yang terlibat dalam sektor industri IHT telah mengalami penurunan penghasilan akibat adanya penurunan produksi rokok. Bahkan tidak sedikit yang kehilangan pekerjaan.
“Penurunan produksi telah menyebabkan penurunan penghasilan, kesejahteraan dan tentu daya beli pekerja. Pertanyaannya, dimanakah peran Pemerintah untuk melindungi rakyatnya, khususnya pekerja yang menggantungkan penghidupannya dari industri legal ini?," ungkap Ketua FSP RTMM SPSI Sudarto.
FSP RTMM-SPSI yang menaungi dan mewakili 148.693 pekerja industri hasil tembakau, menurut Sudarto dengan tegas menolak rencana kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) tahun 2021 sebesar 13% - 20%. Pihaknya mendesak Pemerintah untuk mengambil kebijakan yang berimbang atas regulasi dan kenaikan cukai rokok di tahun depan, dengan memikirkan beberapa aspek.
Lebih lanjut Sudarto menjelaskan, pihaknya telah menyampaikan beberapa permintaan kepada pemerintah. Pertama, pembatalan rencana kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan Harga Jual Eceran (HJE) pada tahun 2021. Hal itu dinilai akan berdampak langsung kepada pekerja industri hasil tembakau.
(Baca Juga: Sebelum Dicekik Cukai Rokok, Perhatikan Dulu Kondisi Pengusaha )
Kedua, meminta Menteri Keuangan agar melibatkan kementerian terkait dalam mengambil kebijakan kenaikan HJE-Cukai tahun 2021, diantaranya Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, serta melibatkan pemangku kepentingan lainnya seperti industri hasil tembakau/ pengusaha, asosiasi industri hasil tembakau, pekerja/buruh dalam hal ini diwakili serikat pekerja FSP RTMM-SPSI, petani dan seluruh pihak terkait lainnya.
“Kami juga meminta pemerintah untuk melindungi industri rokok kretek sebagai industri khas Indonesia dan padat karya, yang paling rentan terkena program efisiensi di industri hasil tembakau (IHT),” papar Sudarto.
Menurut ketua umum FSP RTMM-SPSI, pihaknya sudah menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 9 September lalu. Isi surat tersebut terkait permohonan perlindungan atas hilangnya pekerjaan anggota FSP RTMM-SPSI yang bekerja di industri hasil tembakau, akibat pabrik yang tutup dikarenakan regulasi dan kebijakan yang dinilai tidak adil.
Baik Agus Pamuji maupun Sudarto, berpendapat, meski pemerintah telah menaikan cukai sangat tinggi pada tahun 2019 dan dilaksanakannya di tahun 2020, pihaknya masih bisa mentolerir dan memaklumi jika cukai di tahun 2021 dinaikan kembali namun angkanya tidak lebih dari 5 persen.
“Ya kalau misal naik maksimal 5% mungkin itu angka wajar. Pemerintah masih untung, petani dan buruh tidak bingung. Tapi kalau naiknya di atas 5 persen, itu akan semakin mempuruk perekonomian. Karena petani tembakau dan buruh industri rokok akan emakin menderota,” papar Agus Pamuji.
“Penurunan produksi telah menyebabkan penurunan penghasilan, kesejahteraan dan tentu daya beli pekerja. Pertanyaannya, dimanakah peran Pemerintah untuk melindungi rakyatnya, khususnya pekerja yang menggantungkan penghidupannya dari industri legal ini?," ungkap Ketua FSP RTMM SPSI Sudarto.
FSP RTMM-SPSI yang menaungi dan mewakili 148.693 pekerja industri hasil tembakau, menurut Sudarto dengan tegas menolak rencana kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) tahun 2021 sebesar 13% - 20%. Pihaknya mendesak Pemerintah untuk mengambil kebijakan yang berimbang atas regulasi dan kenaikan cukai rokok di tahun depan, dengan memikirkan beberapa aspek.
Lebih lanjut Sudarto menjelaskan, pihaknya telah menyampaikan beberapa permintaan kepada pemerintah. Pertama, pembatalan rencana kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan Harga Jual Eceran (HJE) pada tahun 2021. Hal itu dinilai akan berdampak langsung kepada pekerja industri hasil tembakau.
(Baca Juga: Sebelum Dicekik Cukai Rokok, Perhatikan Dulu Kondisi Pengusaha )
Kedua, meminta Menteri Keuangan agar melibatkan kementerian terkait dalam mengambil kebijakan kenaikan HJE-Cukai tahun 2021, diantaranya Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, serta melibatkan pemangku kepentingan lainnya seperti industri hasil tembakau/ pengusaha, asosiasi industri hasil tembakau, pekerja/buruh dalam hal ini diwakili serikat pekerja FSP RTMM-SPSI, petani dan seluruh pihak terkait lainnya.
“Kami juga meminta pemerintah untuk melindungi industri rokok kretek sebagai industri khas Indonesia dan padat karya, yang paling rentan terkena program efisiensi di industri hasil tembakau (IHT),” papar Sudarto.
Menurut ketua umum FSP RTMM-SPSI, pihaknya sudah menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 9 September lalu. Isi surat tersebut terkait permohonan perlindungan atas hilangnya pekerjaan anggota FSP RTMM-SPSI yang bekerja di industri hasil tembakau, akibat pabrik yang tutup dikarenakan regulasi dan kebijakan yang dinilai tidak adil.
Baik Agus Pamuji maupun Sudarto, berpendapat, meski pemerintah telah menaikan cukai sangat tinggi pada tahun 2019 dan dilaksanakannya di tahun 2020, pihaknya masih bisa mentolerir dan memaklumi jika cukai di tahun 2021 dinaikan kembali namun angkanya tidak lebih dari 5 persen.
“Ya kalau misal naik maksimal 5% mungkin itu angka wajar. Pemerintah masih untung, petani dan buruh tidak bingung. Tapi kalau naiknya di atas 5 persen, itu akan semakin mempuruk perekonomian. Karena petani tembakau dan buruh industri rokok akan emakin menderota,” papar Agus Pamuji.