Mendesak, Reformasi Regulasi Ekosistem Ketenagakerjaan dalam RUU Ciptaker
loading...
A
A
A
Lalu darimana reformasi regulasi ekosistem ketenagakerjaan dimulai? Arif melihat Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja adalah peluang bagi reformasi terhadap berbagai regulasi yang ada. Namun ia mengingatkan bahwa reformasi regulasi harus bersifat komprehensif dan tidak berpihak pada kepentingan salah satu pihak.
"Prinsip utamanya kepentingan nasional, atau kepentingan yang lebih luas. Bukan kepentingan satu pihak tertentu," tegasnya.
Arif menyayangkan opini yang mengemuka saat ini bahwa RUU Ciptaker merupakan reformasi regulasi partisan untuk mengedepankan kepentingan kelompok tertentu. Anggapan yang menggeneralisasi ini kemudian menimbulkan resistensi terhadap RUU.
“Persepsi diametrik antara buruh dan pengusaha misalnya, harus diperjelas. Lebih bijak, kita mengedepankan kepentingan lebih luas dengan cara duduk bersama. Kedua belah pihak dipersilakan melakukan penawaran-penawaran terbuka dalam mekanisme negosiasi yang fair. Sehingga lahir sebuah RUU Cipta Kerja yang dapat diterima oleh mayoritas,” sambung Arif.
Sebagai homo economicus, kata Arif, pengusaha dan buruh sudah seharusnya menciptakan simbiosis mutualistis. Mereka sama-sama ingin menghasilkan keuntungan maksimum dalam pertukarannya.
"Pengusaha, demi keuntungannya, ingin harga jasa pekerja murah, sementara pekerja menginginkan upah yang tinggi atas jasa yang mereka berikan. Kesannya berseberangan, tetapi akan selalu ada titik temu yang bisa dicapai sehingga lahir regulasi yang dapat diterima kedua belah pihak," tuturnya.
Sebagai sebuah regulasi ekosistem ketenagakerjaan, Indeks berkesimpulan bahwa semua klaster dalam RUU ini sama pentingnya untuk dibahas dan diselesaikan dalam satu paket. Menunda atau bahkan meninggalkan salah satu klaster akan menjadikan regulasi ekosistem ketenagakerjan pincang.
“Dalam riset kami berkesimpulan bahwa seluruh klaster dalam RUU Cipta kerja, termasuk klaster ketenagakerjaan harus tetap dilanjutkan pembahasannya dengan penguatan pada visi kebebasan ketenagakerjaan dan penciptaan iklim mutualistis diantara seluruh stakeholder yang terlibat,” pungkas Arif.
"Prinsip utamanya kepentingan nasional, atau kepentingan yang lebih luas. Bukan kepentingan satu pihak tertentu," tegasnya.
Arif menyayangkan opini yang mengemuka saat ini bahwa RUU Ciptaker merupakan reformasi regulasi partisan untuk mengedepankan kepentingan kelompok tertentu. Anggapan yang menggeneralisasi ini kemudian menimbulkan resistensi terhadap RUU.
“Persepsi diametrik antara buruh dan pengusaha misalnya, harus diperjelas. Lebih bijak, kita mengedepankan kepentingan lebih luas dengan cara duduk bersama. Kedua belah pihak dipersilakan melakukan penawaran-penawaran terbuka dalam mekanisme negosiasi yang fair. Sehingga lahir sebuah RUU Cipta Kerja yang dapat diterima oleh mayoritas,” sambung Arif.
Sebagai homo economicus, kata Arif, pengusaha dan buruh sudah seharusnya menciptakan simbiosis mutualistis. Mereka sama-sama ingin menghasilkan keuntungan maksimum dalam pertukarannya.
"Pengusaha, demi keuntungannya, ingin harga jasa pekerja murah, sementara pekerja menginginkan upah yang tinggi atas jasa yang mereka berikan. Kesannya berseberangan, tetapi akan selalu ada titik temu yang bisa dicapai sehingga lahir regulasi yang dapat diterima kedua belah pihak," tuturnya.
Sebagai sebuah regulasi ekosistem ketenagakerjaan, Indeks berkesimpulan bahwa semua klaster dalam RUU ini sama pentingnya untuk dibahas dan diselesaikan dalam satu paket. Menunda atau bahkan meninggalkan salah satu klaster akan menjadikan regulasi ekosistem ketenagakerjan pincang.
“Dalam riset kami berkesimpulan bahwa seluruh klaster dalam RUU Cipta kerja, termasuk klaster ketenagakerjaan harus tetap dilanjutkan pembahasannya dengan penguatan pada visi kebebasan ketenagakerjaan dan penciptaan iklim mutualistis diantara seluruh stakeholder yang terlibat,” pungkas Arif.
(akr)