Pengaruh UU Cipta Kerja Sampai hingga Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar Ekonomi Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Arisman mengatakan, Undang-Undang (UU) no. 11/2020 tentang Cipta Kerja memiliki dampak positif pada pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) . Menurutnya, ada dua peran utama UU Cipta Kerja terhadap pengembangan KEK.
“Pertama, meminimalisasi kewenangan. Itu karena desentralisasi menyebabkan masalah kewenangan, muncul raja-raja kecil di daerah sehingga memperlambat perizinan. Kedua adalah resentralisasi perizinan,” sebut Arisman dalam sebuah diskusi daring.
Dalam diskusi bertajuk Pengesahan UU Cipta Kerja dan Implikasinya terhadap KEK dan Percepatan Proyek Strategis Nasional yang digelar FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, Arsiman melanjutkan, ada beberapa dampak positif UU Cipta Kerja terhadap pengembangan KEK.
“Dampak positifnya yakni, kemudahan untuk perizinan, fasilitas perpajakan dan diharapkan meningkatkan investasi yang diproyeksikan pemerintah sebesar 6-7%,” kata Dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
(Baca Juga: Serap Aspirasi UU Cipta Kerja, Menko Airlangga Berharap Kementerian & Lembaga Beri Penjelasan Lengkap )
Terkait kemudahan perizinan dalam UU Cipta Kerja, kata Arisman, di antaranya dikembangkannya sistem elektronik terintegrasi secara nasional. Arisman juga mengatakan, UU Cipta Kerja lebih cocok disebut UU kemudahan berusaha. Karena, menurutnya, penciptaan lapangan kerja itu hanya multiplayer effect dari kemudahan berusaha.
“Niat baik dari UU Cipta Kerja adalah mengharmonisasikan peraturan-peraturan yang banyak sekali yang tumpang tindih dan tidak sinkron. Ini menjadi PR karena reformasi birokrasi kita belum selesai, sehingga birokrasi kita lambat dan kita kurang memiliki daya saing meski di tingkat Asean,” ujarnya.
Menurutnya, Pemerintah Indonesia telah membangun dan menyiapkan 15 KEK yang tersebar di beberapa wilayah. Yang menurut Arisman, sebarannya cukup merata dan jenis KEK-nya sesuai karakteristik wilayah masing-masing.
“Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) secara teori merupakan kawasan yang didesain untuk pengembangan suatu kegiatan perekonomian yang spesifik,” kata Direktur Eksekutif Center for Southeast Asian Studies (CSEAS)itu.
Lanjutnya, KEK ini ditujukan untuk percepatan pembangunan ekonomi yang dapat mengundang investasi asing. Untuk itu perizinan usaha dipercepat, akses terhadap tanah lebih dipermudah dan aturan ketenagakerjaan yang lebih baik.
“Ease of doing business (EoDB)Indonesia saat ini masih di ranking 73. Kita tertinggal dari Vietnam. Memang sekarang Vietnam menjadi destinasi investasi yang menarik. Ini perlu jadi catatan menarik kenapa kita di bawah Vietnam,” bebernya.
(Baca Juga: UU Cipta Kerja Hadir, 2021 Akan Jadi Tahunnya Sektor Industri Non-Migas )
Menurutnya, masalah rendahnya EoDB atau kemudahan berusaha di Indonesia itu disebabkan beberapa hal. Yang paling utama adalah korupsi dan birokrasi pemerintahan yang tidak efisien yang menyebabkan proses perizinan menjadi lama.
“(Di Indonesia) untuk memulai bisnis itu ada 11 prosedur dan membutuhkan waktu 25 hari. Ini cukup lama jika dibandingkan dengan beberapa negara Asean lainnya,” ungkap Arisman mengutip data World Competitiveness Report 2018.
Selain harus didukung dengan kebijakan regulasi dan birokrasi, KEK juga harus didukung dengan infrastruktur fisik yang baik. Terutama akses jalan. “Vietnam dan China membangun akses jalan ke kawasan industri itu cukup besar,” imbuh Arisman.
Selain melihat sisi positif UU Cipta Kerja tehadap pengembangan KEK, Arisman memberi catatan tentang pentingnya pembangunan ekonomi berkelanjutan yang mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan. Untuk itu ia berharap aspek lingkungan tetap diprioritaskan dalam meningkatan investasi.
“Pertama, meminimalisasi kewenangan. Itu karena desentralisasi menyebabkan masalah kewenangan, muncul raja-raja kecil di daerah sehingga memperlambat perizinan. Kedua adalah resentralisasi perizinan,” sebut Arisman dalam sebuah diskusi daring.
Dalam diskusi bertajuk Pengesahan UU Cipta Kerja dan Implikasinya terhadap KEK dan Percepatan Proyek Strategis Nasional yang digelar FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, Arsiman melanjutkan, ada beberapa dampak positif UU Cipta Kerja terhadap pengembangan KEK.
“Dampak positifnya yakni, kemudahan untuk perizinan, fasilitas perpajakan dan diharapkan meningkatkan investasi yang diproyeksikan pemerintah sebesar 6-7%,” kata Dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
(Baca Juga: Serap Aspirasi UU Cipta Kerja, Menko Airlangga Berharap Kementerian & Lembaga Beri Penjelasan Lengkap )
Terkait kemudahan perizinan dalam UU Cipta Kerja, kata Arisman, di antaranya dikembangkannya sistem elektronik terintegrasi secara nasional. Arisman juga mengatakan, UU Cipta Kerja lebih cocok disebut UU kemudahan berusaha. Karena, menurutnya, penciptaan lapangan kerja itu hanya multiplayer effect dari kemudahan berusaha.
“Niat baik dari UU Cipta Kerja adalah mengharmonisasikan peraturan-peraturan yang banyak sekali yang tumpang tindih dan tidak sinkron. Ini menjadi PR karena reformasi birokrasi kita belum selesai, sehingga birokrasi kita lambat dan kita kurang memiliki daya saing meski di tingkat Asean,” ujarnya.
Menurutnya, Pemerintah Indonesia telah membangun dan menyiapkan 15 KEK yang tersebar di beberapa wilayah. Yang menurut Arisman, sebarannya cukup merata dan jenis KEK-nya sesuai karakteristik wilayah masing-masing.
“Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) secara teori merupakan kawasan yang didesain untuk pengembangan suatu kegiatan perekonomian yang spesifik,” kata Direktur Eksekutif Center for Southeast Asian Studies (CSEAS)itu.
Lanjutnya, KEK ini ditujukan untuk percepatan pembangunan ekonomi yang dapat mengundang investasi asing. Untuk itu perizinan usaha dipercepat, akses terhadap tanah lebih dipermudah dan aturan ketenagakerjaan yang lebih baik.
“Ease of doing business (EoDB)Indonesia saat ini masih di ranking 73. Kita tertinggal dari Vietnam. Memang sekarang Vietnam menjadi destinasi investasi yang menarik. Ini perlu jadi catatan menarik kenapa kita di bawah Vietnam,” bebernya.
(Baca Juga: UU Cipta Kerja Hadir, 2021 Akan Jadi Tahunnya Sektor Industri Non-Migas )
Menurutnya, masalah rendahnya EoDB atau kemudahan berusaha di Indonesia itu disebabkan beberapa hal. Yang paling utama adalah korupsi dan birokrasi pemerintahan yang tidak efisien yang menyebabkan proses perizinan menjadi lama.
“(Di Indonesia) untuk memulai bisnis itu ada 11 prosedur dan membutuhkan waktu 25 hari. Ini cukup lama jika dibandingkan dengan beberapa negara Asean lainnya,” ungkap Arisman mengutip data World Competitiveness Report 2018.
Selain harus didukung dengan kebijakan regulasi dan birokrasi, KEK juga harus didukung dengan infrastruktur fisik yang baik. Terutama akses jalan. “Vietnam dan China membangun akses jalan ke kawasan industri itu cukup besar,” imbuh Arisman.
Selain melihat sisi positif UU Cipta Kerja tehadap pengembangan KEK, Arisman memberi catatan tentang pentingnya pembangunan ekonomi berkelanjutan yang mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan. Untuk itu ia berharap aspek lingkungan tetap diprioritaskan dalam meningkatan investasi.
(akr)