Neraca Dagang Surplus, Kepercayaan Dunia Usaha Meningkat
loading...
A
A
A
Pengamat Ekonomi Ryan Kiryanto menyebut lonjakan nilai ekspor sebesar USD15,28 miliar dipicu oleh kenaikan volume ekspor minyak sawit dan batu bara. Pada saat yang bersamaan terjadi kenaikan harga seiring dengan peningkatan permintaan minyak sawit dari India dan batu bara dari China. “Tentu, surplus transaksi perdagangan tersebut menggembirakan karena bisa menambah cadangan devisa,” kata Ryan.
Neraca perdagangan yang surplus ini, kata dia, juga meningkatkan kepercayaan pelaku pasar sehingga membantu apresiasi rupiah dan menahan capital flight jelang akhir tahun. “Ini terlihat dari pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang menguat dan menembus level psikologis 6.000,” ucap dia.
Sementara itu, Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan surplus neraca perdagangan disebabkan oleh tumbuhnya ekspor, sedangkan impor masih tertahan oleh pandemi.
“Ekspor bisa lebih awal bangkit karena beberapa negara tujuan ekspor sudah mulai pulih perekonomiannya seperti China. Di sisi lain, juga terjadi kenaikan harga komoditas berorientasi ekspor asal Indonesia, khususnya batu bara, nikel, dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO),” katanya. (Baca juga: Guardiola: Arsenal Harus Percaya Pada Arteta)
Dia menyebut dampak positif tersebut akan lebih bagus apabila tren surplus neraca perdagangan dan juga surplus neraca transaksi berjalan (current account) bisa dipertahankan dalam jangka panjang. Surplus neraca perdagangan yang cukup besar tahun ini mendorong perbaikan current account yang selama ini menjadi titik lemah fundamental ekonomi Indonesia.
“Dengan current account yang lebih sehat maka rupiah akan lebih stabil. Hal ini lebih lanjut akan mengurangi risiko investasi di Indonesia. Aliran modal masuk ke Indonesia diharapkan akan lebih besar,” tandasnya.
Pengamat ekonomi Bhima Yudhistira menilai harga minyak mentah memang cenderung menguat sepanjang bulan November lalu. “Itu yang membuat kinerja ekspor migas naik 27,4% dibandingkan bulan sebelumnya,” ujarnya. (Baca juga: Lawan Juragan Kakap, Produk UMKM Siap Konsolidasi)
Sementara ekspor nonmigas juga positif karena adanya pemulihan permintaan di negara utama seperti China naik 16%, Jepang 11,6%, dan India 10%. Sementara ekspor ke AS masih terkontraksi sebesar -1,88%.
Dari kinerja impor tumbuh cukup tinggi, yakni 17,4% dibandingkan Oktober. Menurut dia, kondisi ini yang menyebabkan surplus perdagangan menurun. “Adanya kenaikan impor barang modal sebesar 31,5% mengindikasikan proyek-proyek yang dikerjakan BUMN bidang konstruksi kembali digenjot. Salah satunya untuk pembelian mesin-mesin,” sebut dia. (Lihat videonya:
Sementara impor bahan baku naik 13% bukti industri manufaktur kembali bergairah. Akan tetapi, perlu dicermati adanya kenaikan impor barang konsumsi sebesar 25,5% berkorelasi dengan persiapan pedagang menyambut Harbolnas. (Kunthi Fahmar Sandy)
Neraca perdagangan yang surplus ini, kata dia, juga meningkatkan kepercayaan pelaku pasar sehingga membantu apresiasi rupiah dan menahan capital flight jelang akhir tahun. “Ini terlihat dari pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang menguat dan menembus level psikologis 6.000,” ucap dia.
Sementara itu, Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan surplus neraca perdagangan disebabkan oleh tumbuhnya ekspor, sedangkan impor masih tertahan oleh pandemi.
“Ekspor bisa lebih awal bangkit karena beberapa negara tujuan ekspor sudah mulai pulih perekonomiannya seperti China. Di sisi lain, juga terjadi kenaikan harga komoditas berorientasi ekspor asal Indonesia, khususnya batu bara, nikel, dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO),” katanya. (Baca juga: Guardiola: Arsenal Harus Percaya Pada Arteta)
Dia menyebut dampak positif tersebut akan lebih bagus apabila tren surplus neraca perdagangan dan juga surplus neraca transaksi berjalan (current account) bisa dipertahankan dalam jangka panjang. Surplus neraca perdagangan yang cukup besar tahun ini mendorong perbaikan current account yang selama ini menjadi titik lemah fundamental ekonomi Indonesia.
“Dengan current account yang lebih sehat maka rupiah akan lebih stabil. Hal ini lebih lanjut akan mengurangi risiko investasi di Indonesia. Aliran modal masuk ke Indonesia diharapkan akan lebih besar,” tandasnya.
Pengamat ekonomi Bhima Yudhistira menilai harga minyak mentah memang cenderung menguat sepanjang bulan November lalu. “Itu yang membuat kinerja ekspor migas naik 27,4% dibandingkan bulan sebelumnya,” ujarnya. (Baca juga: Lawan Juragan Kakap, Produk UMKM Siap Konsolidasi)
Sementara ekspor nonmigas juga positif karena adanya pemulihan permintaan di negara utama seperti China naik 16%, Jepang 11,6%, dan India 10%. Sementara ekspor ke AS masih terkontraksi sebesar -1,88%.
Dari kinerja impor tumbuh cukup tinggi, yakni 17,4% dibandingkan Oktober. Menurut dia, kondisi ini yang menyebabkan surplus perdagangan menurun. “Adanya kenaikan impor barang modal sebesar 31,5% mengindikasikan proyek-proyek yang dikerjakan BUMN bidang konstruksi kembali digenjot. Salah satunya untuk pembelian mesin-mesin,” sebut dia. (Lihat videonya:
Sementara impor bahan baku naik 13% bukti industri manufaktur kembali bergairah. Akan tetapi, perlu dicermati adanya kenaikan impor barang konsumsi sebesar 25,5% berkorelasi dengan persiapan pedagang menyambut Harbolnas. (Kunthi Fahmar Sandy)