Gawattt….. RPP Cipta Kerja Sektor Kehutanan Bebani Petani Sawit
loading...
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) minta pemerintah melindungi perkebunan sawit petani melalui regulasi turunan dari Undang-Undang Nomor 11/2020 Cipta Kerja . Pasalnya draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) di sektor kehutanan dan perkebunan dinilai semakin merugikan perkebunan petani.
“Dari data kami, perkebunan sawit rakyat yang diklaim dalam kawasan hutan seluas 3,2 juta hektare (48%) dari 6,7 juta hektare (ha). Akibat klaim kawasan hutan, maka perkebunan sawit petani tidak bisa mengikuti program strategis Presiden Jokowi seperti peremajaan sawit rakyat (PSR) dan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO),” ujar Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung dalam jumpa pers virtual, Rabu (23/12/2020).
(Baca juga:Pandemi Gak Ngaruh, Devisa dari Sawit Bisa Tembus USD20 Miliar)
Gulat Manurung mengatakan semenjak awal petani sawit yang tergabung dalam Apkasindo sangat mendukung penyusunan UU Cipta Kerja. Karena semangat regulasi ini bertujuan menyederhanakan regulasi dan membantu petani rakyat dalam persoalan legalitas.
Akan tetapi produk turunan UU Cipta Kerja terutama di RPP terkait Kepastian Penyelesaian Lahan Perkebunan Sawit Rakyat pada Sektor Kehutanan dan Perkebunan tidak menguntungkan petani.
(Baca juga:Gubernur Kalbar: Jangan Sampai Harga Sawit Anjlok Baru Mau Melakukan Peremajaan)
“Apkasindo mendukung penuh UU Cipta Kerja sebagai upaya solusi untuk memberikan kepastian usaha, lapangan pekerjaan, dan kesejahteraan bangsa. Tetapi, kalau produk turunannya membebani, secara tegas petani menolak. Karena RPP bertolak belakang dengan semangat UU Cipta Kerja, terutama draf peraturan pemerintah di sektor kehutanan,” ujar dia.
Adapun kebijakan mengenai sanksi administrasi dalam RPP dinilai masih merugikan petani. Pertama, RPP Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Denda Administratif atas Kegiatan Usaha yang telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan.
(Baca juga:Luhut Aja Berterima Kasih, Industri Kelapa Sawit Buka Jutaan Lapangan Kerja)
Di rancangan aturan ini, kata Gulat, hanya untuk menyelesaikan persoalan klaim perkebunan sawit rakyat dalam kawasan hutan yang sudah melalui proses penetapan. Sebab defenisi kawasan hutan yang diatur dalam RPP adalah “kawasan hutan yang telah ditetapkan”.
Sebelum ke tahap penetapan (pengukuhan), harus melalui penunjukan, penataan batas (BATB), pemetaan, dan terakahir penetapan (pengukuhan) kawasan hutan. Ini semua diatur dalam UU Nomor 19/2004.
(Baca juga:10 Cara Ini Bisa Dipakai RI Merespons Diskriminasi Sawit Uni Eropa)
“Jadi jika proses tahapan ini belum tuntas, maka kawasan hutan belum sah secara hukum. Padahal banyak lahan petani sawit yang diklaim berada dalam kawasan hutan belum mencapai tahap penetapan kawasan hutan,” ujar Gulat.
Persoalan lain dalam RPP, dikatakan Gulat, telah mengunci definisi Perizinan Berusaha terbatas pada Izin Lokasi dan Izin Usaha di bidang Perkebunan. Padahal, petani sawit tentu saja tidak memiliki izin-izin tersebut karena memang tidak diwajibkan oleh undang-undang sebelumnya demikian juga dengan Permentan.
(Baca juga:Riau Miliki Kebun Sawit Terluas, Peremajaan Jadi Prioritas)
Ketiga, RPP Sanksi Administrasi tersebut menutup peluang bagi para pekebun yang lahannya 6-25 ha untuk memperoleh pelepasan kawasan hutan. Padahal ketentuan hukum di bidang perkebunan telah memberikan hak bagi petani sawit untuk mengelola lahannya maksimal 25 ha.
Keempat, dalam draf RPP bagi petani yang luas lahannya 5 ha ke bawah akan diakomodir RPP, tapi dengan syarat wajib tinggal di kebun atau berdomisili sekitarnya.
Kelima, dikatakan solusi yang ditawarkan dalam RPP Sanksi Administrasi berupa “Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan” bagi petani sawit tidak akan dapat dicapai jika petani sawit tidak mampu membayar denda administrasi yang telah ditetapkan.
“Ini tidak masuk akal, masa petani harus membayar denda. Karena mustahil petani dapat bayar denda yang nilainya ratusan juta rupiah,” jelas Gulat.
Keenam, RPP Sanksi Administrasi tersebut bertentangan dengan UU Cipta Kerja karena membuka ruang untuk tetap melanjutkan penyidikan atas dugaan kegiatan perkebunan dalam kawasan hutan yang dilaksanakan sebelum terbitnya UU Cipta Kerja.
(Baca juga:Remajakan Kebun Sawit, BPDPKS Gelontorkan Dana Rp5,19 Triliun)
“Padahal ketentuan dalam UU Cipta Kerja telah dengan tegas menentukan sanksi terhadap kegiatan perkebunan dalam kawasan hutan yang dilaksanakan sebelum terbitnya UU Cipta Kerja adalah sanksi administratif, bukan sanksi pidana,” jelas Samuel Hutasoit, Anggota Dewan Pakar Bidang Hukum DPP Apkasindo.
Atas dasar itulah, Apkasindo mengusulkan mengeluarkan seluruh areal kebun sawit (eksisting) dari Kawasan Hutan yang masih dalam tahap penunjukan, tahap penataan batas, tahap pemetaan berdasarkan tanda bukti hak berupa Surat Tanda Daftar Budidaya, Hak-Hak Adat, Tanda bukti Jual Beli lahan Pekebun dan Tanda Bukti Hak lainnya yang diakui masyarakat hukum adat setempat yang terbit sebelum berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja.
(Baca juga:Pungutan Dana Ekspor Sawit Bisa Capai Rp45 Triliun di 2021)
Selanjutnya, definisi perizinan berusaha diperluas termasuk di antaranya Surat Tanda Daftar Budidaya, Hak-Hak Adat, Tanda bukti Jual Beli lahan Pekebun dan Tanda Bukti Hak lainnya yang diakui masyarakat hukum adat setempat yang terbit sebelum berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja.
Usulan berikutnya adalah memasukkan Hak dan Kepentingan Rakyat yang terindikasi dalam Kawasan hutan ke dalam penyusunan RPP dengan membuat pasal-pasal khusus tentang penyelesaian Kepemilikan Lahan Pekebun Sawit. Selain itu, pemerintah dapat memfasilitasi dan mempermudah proses penyelesaian klaim kawasan hutan.
“Dari data kami, perkebunan sawit rakyat yang diklaim dalam kawasan hutan seluas 3,2 juta hektare (48%) dari 6,7 juta hektare (ha). Akibat klaim kawasan hutan, maka perkebunan sawit petani tidak bisa mengikuti program strategis Presiden Jokowi seperti peremajaan sawit rakyat (PSR) dan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO),” ujar Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung dalam jumpa pers virtual, Rabu (23/12/2020).
(Baca juga:Pandemi Gak Ngaruh, Devisa dari Sawit Bisa Tembus USD20 Miliar)
Gulat Manurung mengatakan semenjak awal petani sawit yang tergabung dalam Apkasindo sangat mendukung penyusunan UU Cipta Kerja. Karena semangat regulasi ini bertujuan menyederhanakan regulasi dan membantu petani rakyat dalam persoalan legalitas.
Akan tetapi produk turunan UU Cipta Kerja terutama di RPP terkait Kepastian Penyelesaian Lahan Perkebunan Sawit Rakyat pada Sektor Kehutanan dan Perkebunan tidak menguntungkan petani.
(Baca juga:Gubernur Kalbar: Jangan Sampai Harga Sawit Anjlok Baru Mau Melakukan Peremajaan)
“Apkasindo mendukung penuh UU Cipta Kerja sebagai upaya solusi untuk memberikan kepastian usaha, lapangan pekerjaan, dan kesejahteraan bangsa. Tetapi, kalau produk turunannya membebani, secara tegas petani menolak. Karena RPP bertolak belakang dengan semangat UU Cipta Kerja, terutama draf peraturan pemerintah di sektor kehutanan,” ujar dia.
Adapun kebijakan mengenai sanksi administrasi dalam RPP dinilai masih merugikan petani. Pertama, RPP Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Denda Administratif atas Kegiatan Usaha yang telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan.
(Baca juga:Luhut Aja Berterima Kasih, Industri Kelapa Sawit Buka Jutaan Lapangan Kerja)
Di rancangan aturan ini, kata Gulat, hanya untuk menyelesaikan persoalan klaim perkebunan sawit rakyat dalam kawasan hutan yang sudah melalui proses penetapan. Sebab defenisi kawasan hutan yang diatur dalam RPP adalah “kawasan hutan yang telah ditetapkan”.
Sebelum ke tahap penetapan (pengukuhan), harus melalui penunjukan, penataan batas (BATB), pemetaan, dan terakahir penetapan (pengukuhan) kawasan hutan. Ini semua diatur dalam UU Nomor 19/2004.
(Baca juga:10 Cara Ini Bisa Dipakai RI Merespons Diskriminasi Sawit Uni Eropa)
“Jadi jika proses tahapan ini belum tuntas, maka kawasan hutan belum sah secara hukum. Padahal banyak lahan petani sawit yang diklaim berada dalam kawasan hutan belum mencapai tahap penetapan kawasan hutan,” ujar Gulat.
Persoalan lain dalam RPP, dikatakan Gulat, telah mengunci definisi Perizinan Berusaha terbatas pada Izin Lokasi dan Izin Usaha di bidang Perkebunan. Padahal, petani sawit tentu saja tidak memiliki izin-izin tersebut karena memang tidak diwajibkan oleh undang-undang sebelumnya demikian juga dengan Permentan.
(Baca juga:Riau Miliki Kebun Sawit Terluas, Peremajaan Jadi Prioritas)
Ketiga, RPP Sanksi Administrasi tersebut menutup peluang bagi para pekebun yang lahannya 6-25 ha untuk memperoleh pelepasan kawasan hutan. Padahal ketentuan hukum di bidang perkebunan telah memberikan hak bagi petani sawit untuk mengelola lahannya maksimal 25 ha.
Keempat, dalam draf RPP bagi petani yang luas lahannya 5 ha ke bawah akan diakomodir RPP, tapi dengan syarat wajib tinggal di kebun atau berdomisili sekitarnya.
Kelima, dikatakan solusi yang ditawarkan dalam RPP Sanksi Administrasi berupa “Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan” bagi petani sawit tidak akan dapat dicapai jika petani sawit tidak mampu membayar denda administrasi yang telah ditetapkan.
“Ini tidak masuk akal, masa petani harus membayar denda. Karena mustahil petani dapat bayar denda yang nilainya ratusan juta rupiah,” jelas Gulat.
Keenam, RPP Sanksi Administrasi tersebut bertentangan dengan UU Cipta Kerja karena membuka ruang untuk tetap melanjutkan penyidikan atas dugaan kegiatan perkebunan dalam kawasan hutan yang dilaksanakan sebelum terbitnya UU Cipta Kerja.
(Baca juga:Remajakan Kebun Sawit, BPDPKS Gelontorkan Dana Rp5,19 Triliun)
“Padahal ketentuan dalam UU Cipta Kerja telah dengan tegas menentukan sanksi terhadap kegiatan perkebunan dalam kawasan hutan yang dilaksanakan sebelum terbitnya UU Cipta Kerja adalah sanksi administratif, bukan sanksi pidana,” jelas Samuel Hutasoit, Anggota Dewan Pakar Bidang Hukum DPP Apkasindo.
Atas dasar itulah, Apkasindo mengusulkan mengeluarkan seluruh areal kebun sawit (eksisting) dari Kawasan Hutan yang masih dalam tahap penunjukan, tahap penataan batas, tahap pemetaan berdasarkan tanda bukti hak berupa Surat Tanda Daftar Budidaya, Hak-Hak Adat, Tanda bukti Jual Beli lahan Pekebun dan Tanda Bukti Hak lainnya yang diakui masyarakat hukum adat setempat yang terbit sebelum berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja.
(Baca juga:Pungutan Dana Ekspor Sawit Bisa Capai Rp45 Triliun di 2021)
Selanjutnya, definisi perizinan berusaha diperluas termasuk di antaranya Surat Tanda Daftar Budidaya, Hak-Hak Adat, Tanda bukti Jual Beli lahan Pekebun dan Tanda Bukti Hak lainnya yang diakui masyarakat hukum adat setempat yang terbit sebelum berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja.
Usulan berikutnya adalah memasukkan Hak dan Kepentingan Rakyat yang terindikasi dalam Kawasan hutan ke dalam penyusunan RPP dengan membuat pasal-pasal khusus tentang penyelesaian Kepemilikan Lahan Pekebun Sawit. Selain itu, pemerintah dapat memfasilitasi dan mempermudah proses penyelesaian klaim kawasan hutan.
(dar)