Refleksi Akhir Tahun, Saatnya Pembaharuan Hukum Kemaritiman Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia adalah suatu visi negara ini untuk menjadi sebuah negara maritim yang berdaulat, maju, mandiri, kuat, serta mampu memberikan kontribusi positif bagi keamanan serta perdamaian kawasan dan dunia sesuai dengan kepentingan nasional. Pencanangan Indonesia sebagai poros maritim dunia telah dituangkan melalui Peraturan Presiden No. 16 tahun 2017 tentang kebijakan Kelautan Indonesia.
"Oleh karena itu, guna mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim dunia, diperlukan lima fokus pemberdayaan dan pengembangannya yang meliputi; Budaya Maritim, Sumber Daya Maritim, Infrastruktur dan Konektivitas Maritim, Diplomasi Maritim, dan Pertahanan Maritim," ujar Ketua Departemen Maritim dan Perdagangan Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia (APDHI) Achmad Ridwan Tentowi.
Ridwan menyampaikan hal tersebut dalam makalahnya bertema Poros Maritim Sebagai Negara Berdaulat dan Pemanfaatan Bagi Rakyat, dalam Refleksi Akhir Tahun 2020 dan Catatan Hukum Indonesia pada Sarasehan dan Silaturahmi Daring yang dilaksanakan Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia (APDHI), pada Sabtu (26/12/2020).
(Baca Juga: Hari Nusantara Menuju Indonesia Poros Maritim Dunia)
Dia mengatakan, Indonesia pernah mencapai masa keemasan dibidang maritim pada zaman kerajaan Sriwijaya (Abad ke-7), Majapahit (Abad ke 14), dimana masyarakat Indonesia telah memanfaatkan laut untuk aktivitas perdagangan dan pelayaran.
Kemudian, pada tahun 1957 melalui Deklarasi Djuanda, Indonesia menyatakan kepada dunia bahwa Laut Indonesia termasuk laut sekitar, diantara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Deklarasi Djuanda itu diakui pada konfrensi Hukum Laut PBB ke-3 (UNCLOS III) pada 1982.
Tujuan Deklarasi Djuanda tersebut yakni untuk mewujudkan bentuk wilayah kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan kuat serta menentukan batas-batas wilayah NKRI sesuai dengan azas negara kepulauan. Selain itu, bertujuan untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.
Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut (United Nation Convention on the Law of the Sea / UNCLOS) yang juga disebut sebagai hukum laut internasional atau hukum perjanjian laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari konfrensi PBB tentang Hukum Laut.
Pemerintah pun akhirnya turut meratifikasi UNCLOS 1982 dengan terbitnya UU No 17 tahun 1985. UNCLOS 1982 juga secara tegas mengatur kewenangan sebuah negara pantai terhadap wilayah laut (laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eklusif dan landas kontinen).
Selain itu, dalam UNCLOS 1982 juga diatur tata cara penarikan garis batas maritim jika terjadi tumpang tindih klaim antara dua atau lebih negara bertetangga, baik yang bersebelahan maupun yang berseberangan.
UNCLOSS juga telah mengatur hak kepada semua negara untuk menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial. Antara lain, suatu negara kepulauan boleh menetapkan alur-alur laut kepulauan dan rute-rute udara di atas alur-alur laut kepulauan tersebut, yang digunakan untuk lintasan kapal dan pesawat udara asing yang secepat mungkin dan terus menerus melalui atau di atas alur-alur laut kepulauan tersebut dan laut teritorial yang berdekatan (pasal 53 ayaut 1).
Sedangkan dalam pasal 26 ayat (1), disebutkan tidak ada pungutan yang dapat dibebankan kepada kapal asing hanya karena melintasi laut teritorial. Dan di pasal (2) berbunyi; Pungutan dapat dibebankan kepada kapal asing yang melintasi laut teritorial hanya sebagai pembayaran bagi pelayanan khusus yang diberikan kepada kapal tersebut. "Pungutan ini harus dibebankan tanpa diskriminasi," ucap Ridwan.
Ridwan yang juga menjabat Sekjen Indonesia Maritime Transportation and Logistic Watch (IMLOW) mengatakan, konektivitas Laut tidak dapat dilakukan sendiri, oleh karenanya perlu dukungan dan sinergi dengan pembangunan daerah. Terdapat tiga point krusial yang mesti menjadi perhatian dalam mewujudkan konektivitas tersebut yakni; pertama, penyelesaian peningkatan pelabuhan (5 deep-sea port, 19 feeder port, dan 100 sub feeder port).
Kedua, Fokus pada pembangunan 9 kawasan industri prioritas nasional atau proyek prioritas strategis (major project) termasuk 18 kawasan industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Ketiga, Pembangunan pelabuhan dan pusat pertumbuhan diutamakan disebar ke luar pulau Jawa untuk meningkatkan pertumbuhan luar pulau jawa sehingga kesenjangan antar daerah dapat dikurangi.
Sementara untuk mengoptimalkan program Tol Laut, imbuhnya, dibutuhkan lembaga atau Badan Otoritas yang berfungsi mengawasi pelaksanaan program Tol Laut.
"Oleh sebab itu, evaluasi secara komprehensif terhadap program Tol Laut perlu dilakukan, khususnya menyangkut transparansi schedule, ketersediaan ruang muat dan uang tambang (freight). Program Tol Laut juga perlu diikuti peningkatan infrastruktur transportasi darat dan fasilitas pergudangan di daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar)," ujar Ridwan.
Menyangkut sektor kepelabuhanan, kata Ridwan, sekarang ini diperlukan Undang-undang Kepelabuhanan yang terpisah dari UU Pelayaran. "Hal ini dalam rangka memberikan kepastian hukum yang berkaitan dengan investasi, tenaga kerja dan kelancaran arus barang," paparnya.
Selain itu, diperlukan penguatan peran Otoritas Pelabuhan dengan membentuk Badan Otoritas Pelabuhan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Menurutnya, pembenahan kembali landasan sektor kepelabuhan itu didasari mengingat saat ini jumlah pelabuhan komersial dan non komersial di Indonesia telah lebih dari 1.000 pelabuhan, kemudian mempertimbangkan semakin banyaknya Badan Usaha Pelabuhan yang diberikan konsesi, serta untuk mengintegrasikan pembangunan pelabuhan.
(Baca Juga: Genjot RI Jadi Poros Maritim Dunia, Pelaku Usaha Kawal Aturan Turunan UU Ciptaker)
Adapun di sektor logistik, Ridwan mengatakan perlunya Undang-Undang Logistik, guna mempercepat performance indeks logistik Indonesia dimasa mendatang. Sebagaimana diketahui, pada tahun 2018, Logistik Performace Indeks (LPI) Indonesia berada pada posisi 46, atau masih dibawah Vietnam yang menenpati posisi 39. Selain itu, biaya logistik di Indonesia juga masih dikisaran 24% dari product domestic bruto (PDB).
Kendati begitu, dia mengapresiasi berbagai upaya untuk mengefisiensikan biaya logistik di Indonesia, yang terus dilakukan oleh Pemerintah hingga saat ini, antara lain dengan mencanangkan National Logistic Ecosystem, menurunkan dwellig time , operasional 24/7, memberlakukan delivery order (DO) secara online, Indonesia National Single Window (INSW), Inaportnet, dan Pusat Logistik Berikat (PLB).
Di bidang industri perkapalan nasional, Ridwan menyoroti diperlukannya kebijakan kredit berbunga rendah dan tenor yang panjang. Selain itu, perlu adanya peraturan menteri mengenai tata cara penahanan kapal di pelabuhan sesuai dengan pasal 223 ayat (2) UU No 17 tentang Pelayaan.
Pembenahan secara bertahap, kata dia, juga perlu dilakukan terhadap kegiatan angkutan laut dalam negeri maupun luar negeri, termasuk pariwisata maritim maupun kompetensi SDM kemaritimannya. "Dari semua persoalan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Indonesia sudah saatnya memerlukan pembaharuan hukum kemaritiman, guna mewujudkan cita-cita menjadi Indonesia sebagai Poros Maritim dunia," tuturnya.
"Oleh karena itu, guna mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim dunia, diperlukan lima fokus pemberdayaan dan pengembangannya yang meliputi; Budaya Maritim, Sumber Daya Maritim, Infrastruktur dan Konektivitas Maritim, Diplomasi Maritim, dan Pertahanan Maritim," ujar Ketua Departemen Maritim dan Perdagangan Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia (APDHI) Achmad Ridwan Tentowi.
Ridwan menyampaikan hal tersebut dalam makalahnya bertema Poros Maritim Sebagai Negara Berdaulat dan Pemanfaatan Bagi Rakyat, dalam Refleksi Akhir Tahun 2020 dan Catatan Hukum Indonesia pada Sarasehan dan Silaturahmi Daring yang dilaksanakan Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia (APDHI), pada Sabtu (26/12/2020).
(Baca Juga: Hari Nusantara Menuju Indonesia Poros Maritim Dunia)
Dia mengatakan, Indonesia pernah mencapai masa keemasan dibidang maritim pada zaman kerajaan Sriwijaya (Abad ke-7), Majapahit (Abad ke 14), dimana masyarakat Indonesia telah memanfaatkan laut untuk aktivitas perdagangan dan pelayaran.
Kemudian, pada tahun 1957 melalui Deklarasi Djuanda, Indonesia menyatakan kepada dunia bahwa Laut Indonesia termasuk laut sekitar, diantara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Deklarasi Djuanda itu diakui pada konfrensi Hukum Laut PBB ke-3 (UNCLOS III) pada 1982.
Tujuan Deklarasi Djuanda tersebut yakni untuk mewujudkan bentuk wilayah kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan kuat serta menentukan batas-batas wilayah NKRI sesuai dengan azas negara kepulauan. Selain itu, bertujuan untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.
Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut (United Nation Convention on the Law of the Sea / UNCLOS) yang juga disebut sebagai hukum laut internasional atau hukum perjanjian laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari konfrensi PBB tentang Hukum Laut.
Pemerintah pun akhirnya turut meratifikasi UNCLOS 1982 dengan terbitnya UU No 17 tahun 1985. UNCLOS 1982 juga secara tegas mengatur kewenangan sebuah negara pantai terhadap wilayah laut (laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eklusif dan landas kontinen).
Selain itu, dalam UNCLOS 1982 juga diatur tata cara penarikan garis batas maritim jika terjadi tumpang tindih klaim antara dua atau lebih negara bertetangga, baik yang bersebelahan maupun yang berseberangan.
UNCLOSS juga telah mengatur hak kepada semua negara untuk menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial. Antara lain, suatu negara kepulauan boleh menetapkan alur-alur laut kepulauan dan rute-rute udara di atas alur-alur laut kepulauan tersebut, yang digunakan untuk lintasan kapal dan pesawat udara asing yang secepat mungkin dan terus menerus melalui atau di atas alur-alur laut kepulauan tersebut dan laut teritorial yang berdekatan (pasal 53 ayaut 1).
Sedangkan dalam pasal 26 ayat (1), disebutkan tidak ada pungutan yang dapat dibebankan kepada kapal asing hanya karena melintasi laut teritorial. Dan di pasal (2) berbunyi; Pungutan dapat dibebankan kepada kapal asing yang melintasi laut teritorial hanya sebagai pembayaran bagi pelayanan khusus yang diberikan kepada kapal tersebut. "Pungutan ini harus dibebankan tanpa diskriminasi," ucap Ridwan.
Ridwan yang juga menjabat Sekjen Indonesia Maritime Transportation and Logistic Watch (IMLOW) mengatakan, konektivitas Laut tidak dapat dilakukan sendiri, oleh karenanya perlu dukungan dan sinergi dengan pembangunan daerah. Terdapat tiga point krusial yang mesti menjadi perhatian dalam mewujudkan konektivitas tersebut yakni; pertama, penyelesaian peningkatan pelabuhan (5 deep-sea port, 19 feeder port, dan 100 sub feeder port).
Kedua, Fokus pada pembangunan 9 kawasan industri prioritas nasional atau proyek prioritas strategis (major project) termasuk 18 kawasan industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Ketiga, Pembangunan pelabuhan dan pusat pertumbuhan diutamakan disebar ke luar pulau Jawa untuk meningkatkan pertumbuhan luar pulau jawa sehingga kesenjangan antar daerah dapat dikurangi.
Sementara untuk mengoptimalkan program Tol Laut, imbuhnya, dibutuhkan lembaga atau Badan Otoritas yang berfungsi mengawasi pelaksanaan program Tol Laut.
"Oleh sebab itu, evaluasi secara komprehensif terhadap program Tol Laut perlu dilakukan, khususnya menyangkut transparansi schedule, ketersediaan ruang muat dan uang tambang (freight). Program Tol Laut juga perlu diikuti peningkatan infrastruktur transportasi darat dan fasilitas pergudangan di daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar)," ujar Ridwan.
Menyangkut sektor kepelabuhanan, kata Ridwan, sekarang ini diperlukan Undang-undang Kepelabuhanan yang terpisah dari UU Pelayaran. "Hal ini dalam rangka memberikan kepastian hukum yang berkaitan dengan investasi, tenaga kerja dan kelancaran arus barang," paparnya.
Selain itu, diperlukan penguatan peran Otoritas Pelabuhan dengan membentuk Badan Otoritas Pelabuhan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Menurutnya, pembenahan kembali landasan sektor kepelabuhan itu didasari mengingat saat ini jumlah pelabuhan komersial dan non komersial di Indonesia telah lebih dari 1.000 pelabuhan, kemudian mempertimbangkan semakin banyaknya Badan Usaha Pelabuhan yang diberikan konsesi, serta untuk mengintegrasikan pembangunan pelabuhan.
(Baca Juga: Genjot RI Jadi Poros Maritim Dunia, Pelaku Usaha Kawal Aturan Turunan UU Ciptaker)
Adapun di sektor logistik, Ridwan mengatakan perlunya Undang-Undang Logistik, guna mempercepat performance indeks logistik Indonesia dimasa mendatang. Sebagaimana diketahui, pada tahun 2018, Logistik Performace Indeks (LPI) Indonesia berada pada posisi 46, atau masih dibawah Vietnam yang menenpati posisi 39. Selain itu, biaya logistik di Indonesia juga masih dikisaran 24% dari product domestic bruto (PDB).
Kendati begitu, dia mengapresiasi berbagai upaya untuk mengefisiensikan biaya logistik di Indonesia, yang terus dilakukan oleh Pemerintah hingga saat ini, antara lain dengan mencanangkan National Logistic Ecosystem, menurunkan dwellig time , operasional 24/7, memberlakukan delivery order (DO) secara online, Indonesia National Single Window (INSW), Inaportnet, dan Pusat Logistik Berikat (PLB).
Di bidang industri perkapalan nasional, Ridwan menyoroti diperlukannya kebijakan kredit berbunga rendah dan tenor yang panjang. Selain itu, perlu adanya peraturan menteri mengenai tata cara penahanan kapal di pelabuhan sesuai dengan pasal 223 ayat (2) UU No 17 tentang Pelayaan.
Pembenahan secara bertahap, kata dia, juga perlu dilakukan terhadap kegiatan angkutan laut dalam negeri maupun luar negeri, termasuk pariwisata maritim maupun kompetensi SDM kemaritimannya. "Dari semua persoalan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Indonesia sudah saatnya memerlukan pembaharuan hukum kemaritiman, guna mewujudkan cita-cita menjadi Indonesia sebagai Poros Maritim dunia," tuturnya.
(fai)