Kondisi Perbankan di 2020, Mesin Pencetak Laba Tidak Berfungsi Maksimal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dalam situasi pandemi Covid-19, kemampuan perbankan untuk mencetak laba tergerus. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan dampak pandemi Covid-19 menekan sisi profitabilitas perbankan. Tren penurunan suku bunga dan demand kredit menyebabkan margin bunga bersih alias net interest margin (NIM) perbankan turun.
Hal itu bukan tanpa sebab, permintaan kredit yang melambat dibarengi dengan risiko yang tinggi membuat mesin pencetak laba perbankan tak berfungsi maksimal. Di sisi lain, beban bunga terus bergulir. Alhasil, tidak mengagetkan kalau NIM perbankan menciut.
"Dampaknya pada pertumbuhan Laba Bersih bank tahun 2020 terkontraksi -33,08% dari periode sama tahun lalu. Sehingga dengan demikian, tingkat ROA juga turun," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso di Jakarta, Selasa (2/2/2021).
Dia juga menjelaskan, dari sisi kontraksi bank yang paling dalam terlihat pada bank kategori BUMN yang terkontraksi hingga -50,07%. Kondisi ini sejalan dengan proporsi restrukturisasi covid tertinggi yaitu Bank BUMN mendominasi sebesar 30,63%. "Sementara dari kategori BUKU, pertumbuhan laba bersih BUKU 1 dan BUKU 4 terkontraksi paling dalam masing-masing -56,5% dan -37,14%," katanya.
OJK bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) juga menyiapkan kebijakan strategis untuk mendorong bisnis perbankan salah satunya penyaluran kredit. Data OJK sampai dengan 4 Januari 2021, kredit perbankan yang direstrukturisasi oleh 101 bank mencapai Rp971 Triliun.
Nilai tersebut diberikan pada 7,6 juta nasabah baik individu atau perusahaan. Segmen UMKM yang direstrukturisasi mencapai Rp386,6 Triliun untuk 5,8 juta debitur. Sementara segmen Non-UMKM sebesar Rp584,4 Triliun untuk 1,76 juta debitur.
OJK berjanji akan terus memonitoring pelaksanaan kebijakan restrukturisasi dan akan dilanjutkan hingga Maret 2022 untuk Perbankan dan April 2022 untuk Perusahaan Pembiayaan dengan melihat beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Hal itu bukan tanpa sebab, permintaan kredit yang melambat dibarengi dengan risiko yang tinggi membuat mesin pencetak laba perbankan tak berfungsi maksimal. Di sisi lain, beban bunga terus bergulir. Alhasil, tidak mengagetkan kalau NIM perbankan menciut.
"Dampaknya pada pertumbuhan Laba Bersih bank tahun 2020 terkontraksi -33,08% dari periode sama tahun lalu. Sehingga dengan demikian, tingkat ROA juga turun," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso di Jakarta, Selasa (2/2/2021).
Dia juga menjelaskan, dari sisi kontraksi bank yang paling dalam terlihat pada bank kategori BUMN yang terkontraksi hingga -50,07%. Kondisi ini sejalan dengan proporsi restrukturisasi covid tertinggi yaitu Bank BUMN mendominasi sebesar 30,63%. "Sementara dari kategori BUKU, pertumbuhan laba bersih BUKU 1 dan BUKU 4 terkontraksi paling dalam masing-masing -56,5% dan -37,14%," katanya.
OJK bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) juga menyiapkan kebijakan strategis untuk mendorong bisnis perbankan salah satunya penyaluran kredit. Data OJK sampai dengan 4 Januari 2021, kredit perbankan yang direstrukturisasi oleh 101 bank mencapai Rp971 Triliun.
Nilai tersebut diberikan pada 7,6 juta nasabah baik individu atau perusahaan. Segmen UMKM yang direstrukturisasi mencapai Rp386,6 Triliun untuk 5,8 juta debitur. Sementara segmen Non-UMKM sebesar Rp584,4 Triliun untuk 1,76 juta debitur.
OJK berjanji akan terus memonitoring pelaksanaan kebijakan restrukturisasi dan akan dilanjutkan hingga Maret 2022 untuk Perbankan dan April 2022 untuk Perusahaan Pembiayaan dengan melihat beberapa hal yang perlu diperhatikan.
(akr)