Gurita Bisnis Keluarga
loading...
A
A
A
Di sisi lain, dosen Universitas Bunda Mulia itu menekankan kegagalan sebuah perusahaan ditengarai karena tidak ada keinginan atau pemikiran inovasi untuk berubah. Mereka kerap mempertahankan filosofi seperti masa lalu ketika usaha tersebut mulai dibentuk.
“Perkembangan itu harus bisa diadaptasi. Misalnya, pendirinya itu membangun bisnis ketika usia 25 tahun. Lalu, dia menyerahkan bisnis saat anaknya di usia 25 tahun. Artinya sudah 50 tahun. Masih mau pakai filosofi yang sama? Makanya, adaptif itu dimulai dari pola pikir antargenerasi, apakah mau beradaptasi mengikuti perkembangan budaya, peradaban manusia, dan perkembangan teknologi, serta memiliki keyakinan atau trust bahwa kemajuan itu menuju pada hal yang positif,” ujarnya.
Jika tidak memiliki keinginan itu, wajar bila banyak anak pengusaha yang akhirnya tidak mau melanjutkan bisnis keluarganya. Hal itu menyebabkan munculnya misteri generasi ketiga, usaha gagal, dan lainnya.
Padahal, lanjut Temy, bisnis keluarga tidak harus selalu memberikan tongkat estafet itu langsung kepada anaknya dengan menjadikan sebagai pemimpin atau jajaran direksi. Cara lainnya untuk tetap maju yaitu dengan menempatkan tokoh profesional. Sementara, anak atau cucu penerus bisa menjadi penentu kebijakan atau strategi perusahaan.
“Yang penting bisa menciptakan satu sistem pengendalian yang baik. Anak bisa saja hanya sebagai penyandang dana atau shareholders. Bukan dipaksakan untuk menjadi direksi atau involve dalam menjalankan bisnis tersebut kalau ternyata dia tidak suka di bidang itu. Peran si pendiri atau pemilik hanya mewariskan shareholders, kepentingan dari para pemegang saham atau pemilik dana,” tegas praktisi yang mengembangkan TS Consultant itu.
Selain ketiga faktor eksternal itu, ada juga faktor internal yang harus dimiliki agar bisnis bisa berjalan terus. Salah satunya yaitu ego dari pendiri atau generasi sebelumnya terhadap strategi atau kebijakan yang dibuat oleh pemimpin di generasi sekarang.
“Kadang yang membuat bisnis itu tidak berjalan karena rasa ego, tidak ikhlas, selalu melihat sisi negatif, dan terkesan meremehkan atau underestimate terhadap kemampuan penerusnya. Padahal, kalau itu dipikirkan dan diikhlaskan, bisnis pasti bisa running,” tandasnya. (Faorick Pakpahan)
“Perkembangan itu harus bisa diadaptasi. Misalnya, pendirinya itu membangun bisnis ketika usia 25 tahun. Lalu, dia menyerahkan bisnis saat anaknya di usia 25 tahun. Artinya sudah 50 tahun. Masih mau pakai filosofi yang sama? Makanya, adaptif itu dimulai dari pola pikir antargenerasi, apakah mau beradaptasi mengikuti perkembangan budaya, peradaban manusia, dan perkembangan teknologi, serta memiliki keyakinan atau trust bahwa kemajuan itu menuju pada hal yang positif,” ujarnya.
Jika tidak memiliki keinginan itu, wajar bila banyak anak pengusaha yang akhirnya tidak mau melanjutkan bisnis keluarganya. Hal itu menyebabkan munculnya misteri generasi ketiga, usaha gagal, dan lainnya.
Padahal, lanjut Temy, bisnis keluarga tidak harus selalu memberikan tongkat estafet itu langsung kepada anaknya dengan menjadikan sebagai pemimpin atau jajaran direksi. Cara lainnya untuk tetap maju yaitu dengan menempatkan tokoh profesional. Sementara, anak atau cucu penerus bisa menjadi penentu kebijakan atau strategi perusahaan.
“Yang penting bisa menciptakan satu sistem pengendalian yang baik. Anak bisa saja hanya sebagai penyandang dana atau shareholders. Bukan dipaksakan untuk menjadi direksi atau involve dalam menjalankan bisnis tersebut kalau ternyata dia tidak suka di bidang itu. Peran si pendiri atau pemilik hanya mewariskan shareholders, kepentingan dari para pemegang saham atau pemilik dana,” tegas praktisi yang mengembangkan TS Consultant itu.
Selain ketiga faktor eksternal itu, ada juga faktor internal yang harus dimiliki agar bisnis bisa berjalan terus. Salah satunya yaitu ego dari pendiri atau generasi sebelumnya terhadap strategi atau kebijakan yang dibuat oleh pemimpin di generasi sekarang.
“Kadang yang membuat bisnis itu tidak berjalan karena rasa ego, tidak ikhlas, selalu melihat sisi negatif, dan terkesan meremehkan atau underestimate terhadap kemampuan penerusnya. Padahal, kalau itu dipikirkan dan diikhlaskan, bisnis pasti bisa running,” tandasnya. (Faorick Pakpahan)
(wan)