Aturan Soal Jaminan Kehilangan Pekerjaan Dianggap Diskriminatif

Kamis, 25 Februari 2021 - 11:50 WIB
loading...
Aturan Soal Jaminan Kehilangan Pekerjaan Dianggap Diskriminatif
Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Direktur Trade Union Rights Center (TURC) Andriko Otang mengkritisi aspek kepesertaan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang dinilai sangat rumit. JKP sendiri merupakan salah satu program j aminan sosial (jamsos) .

"Pada dasarnya meski lahir dari mandat UU Ciptaker, sejatinya UU induk sesungguhnya adalah UU SJSN dan BPJS sehubungan penyelenggaraan dan tata cara penyelenggaraan jamsos," ujar Andriko dalam video virtual di Jakarta, Kamis(25/2/2021).

Dia mengatakan bahwa ada inkonsistensi dari pengaturan dalam PP JKP dan UU BPJS SJSN soal definisi kepesertaan. Dalam PP 37 Tahun 2021 perihal JKP Pasal 1 ayat 6, peserta JKP adalah pekerja yang punya hubungan dengan pengusaha dan telah mendaftar atau membayar iuran. ( Baca juga:Soal Tesla Pilih India, Luhut: Kami Tak Pernah Bicara Pabrik Mobil )

"Dari definisi tersebut, berarti peserta PP JKP hanya yang di sektor formal. Sedangkan di sektor informal, tidak dikategorikan peserta," tambah Andriko.

Sementara itu, definisi peserta di UU BPJS disebutkan pada Pasal 1 ayat 4, peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja minimal enam bulan dan membayar iuran. Hal ini berarti setiap orang, baik di formal maupun informal punya hak dan kesempatan yang sama menjadi peserta program jamsos sepanjang mereka membayar iuran.

"Ketentuan dalam PP JKP menunjukkan bahwa program ini cenderung eksklusif, hanya untuk pekerja formal, dan berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial dan diskriminasi," ungkapnya.

Selain hubungan kerja, dia menilai bahwa persyaratan kepesertaan sangat rumit sehubungan dengan kewajiban bahwa peserta yang dapat terdaftar harus sudah terdaftar pada empat program jamsos lainnya, yakni JKM, JKK, JP, dan JHT.

"Menengok data yang dimiliki BPJSTK 2019, hanya ada 15 juta pekerja yang terdaftar sebagai peserta aktif BPJSTK untuk 4 program tersebut dari total 128 juta populasi penduduk bekerja. Berarti hanya ada 11% yang bisa terlindungi, atau terdaftar sebagai peserta JKP," terang Andriko.

Sementara itu, di program BPJSTK, tidak semua program menjadi kewajiban dari pemberi kerja, seperti program JHT dan JP sifatnya tidak wajib. Proses pendaftaran pekerja untuk menjadi peserta BPJS adalah hak prerogatif pemilik kerja. ( Baca juga:Berkat Informasi di Medsos, 2 Perampas Motor Dibekuk Anggota Polres Kotamobagu )

"Ketentuan PP JKP bahwa peserta harus terdaftar ini rumit dan mengeliminasi hak pekerja untuk bisa menjadi peserta di situasi ketergantungan tinggi untuk terdaftar pada JKP karena bergantung kewenangan pemilik usaha. JKP tidak akan efektif tanpa penegakan hukum yang kuat," tegas Andriko.

Dia mencatat bahwa tidak akan ada tambahan jumlah peserta JKP jika pemerintah tidak mendorong pengusaha mendaftarkan pekerjanya ke seluruh 4 program ini.
(uka)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1549 seconds (0.1#10.140)