Insentif Bikin Dunia Usaha Bangkit
loading...
A
A
A
Dia menyebutkan ada dua insentif fiskal yang yang dapat diberikan untuk memacu daya beli masyarakat, yakni pajak pertambahan nilai (PPN) dan cukai. selama ini PPN berkontribusi cukup besar terhadap pendapatan negara. Karena itu, pembebasan PPN juga akan berdampak cukup besar terhadap penerimaan negara. Namun, di sisi lain, pembebasan PPN dapat membantu menjaga daya beli masyarakat.
Danang berpendapat pemulihan ekonomi sebenarnya bisa dimulai dari sektor industri tertentu. Menurutnya, ada tiga jenis industri yang bisa mengerek atau menjadi gerbong lokomotif dari industri terkait lainnya. Ketiganya yaitu industri logistik dan transportasi, industri pertanian-perkebunan, dan industri berteknologi tinggi menggantikan bahan bakar fosil.
“Tiga industri ini kalau didorong, dikembangkan dan difokuskan oleh pemerintah, maka akan mengerek industri-industri lainnya. Properti tumbuh, perbankan tumbuh, sandang-pangan tumbuh, otomotif tumbuh. Jadi tidak perlu berpikir pada semua, tapi bukan berarti semua ditinggalkan. Tapi lokomotifnya harus jelas. Ibaratnya, garda depannya itu tiga industri tadi,” jelasnya.
Menurut dia, salah satu tantangan sekaligus solusi ke depan yaitu memodernisasi birokrasi. Pemerintah harus membuat regulasi dengan benar-benar mendengar kebutuhan dunia usaha dengan membuka ruang komunikasi. Sementara di sisi lain, pengusaha juga harus lebih realistis dengan kondisi saat ini.
Sementara, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai bantuan dana PEN tahun lalu untuk sektor industri melalui insentif keringanan pajak belum efektif. Hal itu dilihat dari realisasinya yang lebih rendah dibandingkan pos lain seperti perlindungan sosial, pembiayaan korporasi, bantuan bagi UMKM, sektoral kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
Ada beberapa alasan realisasi itu belum efektif. Pertama, momentum pemberian insentif pajak dianggap belum tepat waktunya. “Insentif pajak itu betul tapi momentumnya yang harus disesuaikan. Pemberian insentif pajak itu akan lebih tepat diberlakukan, akan lebih optimal setelah pemulihan ekonomi sudah berjalan lebih stabil,” kata Yusuf kepada KORAN SINDO, kemarin.
Memang ada beberapa industri yang menggunakan insentif tersebut. Tetapi masalah utama dari mereka bukanlah di pajaknya. Yusuf menilai ketika industri mengalami kehilangan atau penurunan pendapatan, tentu pembayaran pajaknya akan menyesuaikan.
Kedua, lanjut dia, berkaitan dengan masalah sosialisasi. Di tahun lalu, pemerintah memberikan insentif pajak kepada sekitar 1.000 Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Namun, Yusuf tidak meyakini semua industri yang masuk dalam sektor tersebut mengetahui adanya insentif pajak tersebut.
“Tantangannya adalah melakukan sosialisasi. Ketika tidak dilakukan sosialisasi secara massif, apalagi calon penerimanya itu sangat banyak, ini yang kemudian menurunkan efektivitas dari kebijakan insentif ini,” jelas dia.
Persoalan itu juga tidak hanya terhadap industri. Tantangan insentif pajak ini juga diberikan kepada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Menurut dia, ada beberapa aturan yang sempat berubah dari kebijakan pemberian insentif tersebut. Meski tujuannya untuk memudahkan calon penerimanya, tetapi insentif khususnya bagi UMKM itu membuat bingung atas perubahan kebijakan yang dilakukan.
Danang berpendapat pemulihan ekonomi sebenarnya bisa dimulai dari sektor industri tertentu. Menurutnya, ada tiga jenis industri yang bisa mengerek atau menjadi gerbong lokomotif dari industri terkait lainnya. Ketiganya yaitu industri logistik dan transportasi, industri pertanian-perkebunan, dan industri berteknologi tinggi menggantikan bahan bakar fosil.
“Tiga industri ini kalau didorong, dikembangkan dan difokuskan oleh pemerintah, maka akan mengerek industri-industri lainnya. Properti tumbuh, perbankan tumbuh, sandang-pangan tumbuh, otomotif tumbuh. Jadi tidak perlu berpikir pada semua, tapi bukan berarti semua ditinggalkan. Tapi lokomotifnya harus jelas. Ibaratnya, garda depannya itu tiga industri tadi,” jelasnya.
Menurut dia, salah satu tantangan sekaligus solusi ke depan yaitu memodernisasi birokrasi. Pemerintah harus membuat regulasi dengan benar-benar mendengar kebutuhan dunia usaha dengan membuka ruang komunikasi. Sementara di sisi lain, pengusaha juga harus lebih realistis dengan kondisi saat ini.
Sementara, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai bantuan dana PEN tahun lalu untuk sektor industri melalui insentif keringanan pajak belum efektif. Hal itu dilihat dari realisasinya yang lebih rendah dibandingkan pos lain seperti perlindungan sosial, pembiayaan korporasi, bantuan bagi UMKM, sektoral kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
Ada beberapa alasan realisasi itu belum efektif. Pertama, momentum pemberian insentif pajak dianggap belum tepat waktunya. “Insentif pajak itu betul tapi momentumnya yang harus disesuaikan. Pemberian insentif pajak itu akan lebih tepat diberlakukan, akan lebih optimal setelah pemulihan ekonomi sudah berjalan lebih stabil,” kata Yusuf kepada KORAN SINDO, kemarin.
Memang ada beberapa industri yang menggunakan insentif tersebut. Tetapi masalah utama dari mereka bukanlah di pajaknya. Yusuf menilai ketika industri mengalami kehilangan atau penurunan pendapatan, tentu pembayaran pajaknya akan menyesuaikan.
Kedua, lanjut dia, berkaitan dengan masalah sosialisasi. Di tahun lalu, pemerintah memberikan insentif pajak kepada sekitar 1.000 Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Namun, Yusuf tidak meyakini semua industri yang masuk dalam sektor tersebut mengetahui adanya insentif pajak tersebut.
“Tantangannya adalah melakukan sosialisasi. Ketika tidak dilakukan sosialisasi secara massif, apalagi calon penerimanya itu sangat banyak, ini yang kemudian menurunkan efektivitas dari kebijakan insentif ini,” jelas dia.
Persoalan itu juga tidak hanya terhadap industri. Tantangan insentif pajak ini juga diberikan kepada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Menurut dia, ada beberapa aturan yang sempat berubah dari kebijakan pemberian insentif tersebut. Meski tujuannya untuk memudahkan calon penerimanya, tetapi insentif khususnya bagi UMKM itu membuat bingung atas perubahan kebijakan yang dilakukan.