Pengembangan Infrastruktur Kawasan Perlu Perhatikan Kondisi Lahan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Banjir menjadi masalah serius yang harus segera diselesaikan di kawsan perkotaan, meskipun curah hujan tinggi merupakan salah satu fenomena alam yang umum. Pengembagan infrastruktur dan kawasan perkotaan disarankan untuk memperhatikan penataan kota yang berkelanjutan. Pembangunan kawasan perumahan atau hunian hendaknya jauh dari kawasan aliran air. Sebab, tingkat erosi akan semakin tinggi seiring berubahnya tutupan lahan dari vegetasi menjadi lahan terbuka.
(Baca Juga : Efek Insentif Perumahan, Buntutnya Bakal Berdampak ke Penyerapan Tenaga Kerja )
Apabila lahan terbuka tersebut, berubah menjadi bangunan, maka erosi akan lebih kecil. Permukaan tanahyang rentan terhadap banjir, berada di daerah yang memiliki perubahan fungsi lahan ini. “Banjir luapan sungai sangat umum terjadi sebagai fenomena alam yang kemudian menjadi bencana apabila pada daerah bantaran sungai tersebut dibangun perumahan. Kemiringan lereng yang landai menyebabkan kecepatan aliran yang lambat namun dengan debit air tinggi, maka terjadilan luapan sungai di kawasan dataran banjir,” jelas Pulung Arya Pranantya, dari Balai Litbang Bangunan Hidraulik dan Geoteknik Keairan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dalam keterangan tertulisnya Sabtu (6/3/2021).
(Baca Juga : Insentif PPN Nol Persen Lengkapi Kebijakan Sektor Perumahan )
Sebagai pertimbangan ekonomi, kata dia, maka pembangunan infrastruktur yang mengakomodasi periode ulang 50 tahun sudah sangat memadai. Bahkan untuk kawasan perkotaan, drainase yang di desain adalah desain utuk periode ulang 10 tahun. Prinsip penggunaan waduk tampungan adalah untuk mengendalikan ketersediaan air, baik air tanah maupun permukaan. “Perubahan fungsi lahan harus dikompensasi dengan upaya rekayasa. Sebagai contoh, pada saat pemerintahan Belanda, sudah di desain banjir kanal barat sebagai kompensasi perubahan kawasan Bogor dari hutan pinus menjadi kebun teh,” jelasnya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan rekomendasi kepada Pemda dan stakeholder lainnya, yaitu pembuatan bangunan konservasi tanah dan air (sumur resapan, gully plug, dam penahan) terutama pada daerah yang limpasannya ekstrim. Selain itu mempercepat dan memfokuskan kegiatan RHL di daerah sumber penyebab banjir, dan pembuatan bangunan-bangunan pengendali banjir. ''Perlu terobosan-terobosan terkait dengan konservasi tanah dan air, terkait dengan lansekap yang tidak mendukung. Serta pengembangan kebijakan konservasi tanah dan air, dan pengembangan sistem peringatan dini. Beberapa rekomendasi ini telah dijalankan dengan baik bersama Pemda,'' tegas Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), MR Karliansyah.
(Baca Juga : Perencanaan Perkotaan Sungguminasa-Cambayya Diharap Rampung Tahun Ini )
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofosika (BMKG) mencatat, curah hujan meningkat di beberapa wilayah di Indonesia,. Seperti Jakarta, Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan. Meskipun banjir, persoalan klasik di banyak daerah, tetapi intensitas dan luasan banjir dipicu curah hujan ekstrim pada zaman iklim modern ini menunjukkan tren peningkatan, dan terdapat indikasi atau kecenderungan bahwa bencana hidrometeorologi seperti ini akan semakin sering dan semakin dahsyat seiring perubahan iklim yang terjadi. Oleh karenanya dalam memitigasi dampak bencana hidrometeorologi seperti di Kalimantan Selatan, maka pendekatan penanggulangan bencana harus berbasis data.
(Baca Juga : Efek Insentif Perumahan, Buntutnya Bakal Berdampak ke Penyerapan Tenaga Kerja )
Apabila lahan terbuka tersebut, berubah menjadi bangunan, maka erosi akan lebih kecil. Permukaan tanahyang rentan terhadap banjir, berada di daerah yang memiliki perubahan fungsi lahan ini. “Banjir luapan sungai sangat umum terjadi sebagai fenomena alam yang kemudian menjadi bencana apabila pada daerah bantaran sungai tersebut dibangun perumahan. Kemiringan lereng yang landai menyebabkan kecepatan aliran yang lambat namun dengan debit air tinggi, maka terjadilan luapan sungai di kawasan dataran banjir,” jelas Pulung Arya Pranantya, dari Balai Litbang Bangunan Hidraulik dan Geoteknik Keairan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dalam keterangan tertulisnya Sabtu (6/3/2021).
(Baca Juga : Insentif PPN Nol Persen Lengkapi Kebijakan Sektor Perumahan )
Sebagai pertimbangan ekonomi, kata dia, maka pembangunan infrastruktur yang mengakomodasi periode ulang 50 tahun sudah sangat memadai. Bahkan untuk kawasan perkotaan, drainase yang di desain adalah desain utuk periode ulang 10 tahun. Prinsip penggunaan waduk tampungan adalah untuk mengendalikan ketersediaan air, baik air tanah maupun permukaan. “Perubahan fungsi lahan harus dikompensasi dengan upaya rekayasa. Sebagai contoh, pada saat pemerintahan Belanda, sudah di desain banjir kanal barat sebagai kompensasi perubahan kawasan Bogor dari hutan pinus menjadi kebun teh,” jelasnya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan rekomendasi kepada Pemda dan stakeholder lainnya, yaitu pembuatan bangunan konservasi tanah dan air (sumur resapan, gully plug, dam penahan) terutama pada daerah yang limpasannya ekstrim. Selain itu mempercepat dan memfokuskan kegiatan RHL di daerah sumber penyebab banjir, dan pembuatan bangunan-bangunan pengendali banjir. ''Perlu terobosan-terobosan terkait dengan konservasi tanah dan air, terkait dengan lansekap yang tidak mendukung. Serta pengembangan kebijakan konservasi tanah dan air, dan pengembangan sistem peringatan dini. Beberapa rekomendasi ini telah dijalankan dengan baik bersama Pemda,'' tegas Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), MR Karliansyah.
(Baca Juga : Perencanaan Perkotaan Sungguminasa-Cambayya Diharap Rampung Tahun Ini )
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofosika (BMKG) mencatat, curah hujan meningkat di beberapa wilayah di Indonesia,. Seperti Jakarta, Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan. Meskipun banjir, persoalan klasik di banyak daerah, tetapi intensitas dan luasan banjir dipicu curah hujan ekstrim pada zaman iklim modern ini menunjukkan tren peningkatan, dan terdapat indikasi atau kecenderungan bahwa bencana hidrometeorologi seperti ini akan semakin sering dan semakin dahsyat seiring perubahan iklim yang terjadi. Oleh karenanya dalam memitigasi dampak bencana hidrometeorologi seperti di Kalimantan Selatan, maka pendekatan penanggulangan bencana harus berbasis data.
(ton)