Mulai dari Proyek 35 Ribu MW hingga Investasi Jadi Kendala Pengembangan Energi Terbarukan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah Indonesia telah berkomitmen dalam Perjanjian Paris untuk menurunkan emisi karbon atau gas rumah kaca sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Target penurunan emisi gas rumah kaca itu sekitar 314 juta ton karbon dioksida (CO2) dengan kemampuan sendiri dan 400 juta ton CO2 dengan bantuan internasional pada tahun 2030. ( Baca juga:Puluhan Tahun Impor Mesin, Jokowi: Jangan Cuma Beli Jadi, Akuisisi Teknologinya! )
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, untuk mencapai target tersebut maka harus melakukan langkah-langkah yang tepat. Namun ada beberapa hal yang menjadi kendala sehingga perlu mengambil langkah antisipasi.
"Kita ketahui Indonesia memiliki sumber energi terbarukan yang cukup besar, seperti energi surya, hidro, angin, biomassa, geotermal. Tetapi lokasi-lokasi ini umumnya ada di daerah-daerah yang jauh. Untuk itu memang perlu adanya dukungan sarana jaringan yang harus kita siapkan," ujarnya dalam Forum Teknologi dan Inovasi Energi Masa Depan yang bertajuk "Imagining Indonesia’s Energy Future", Senin (8/3/2021).
Arifin melanjutkan, kendala lainnya adalah perlambatan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 sehingga permintaan energi juga menurun. Sementara di sisi lain pemerintah tengah menggenjot program 35.000 megawatt (MW) yang saat ini dalam tahap pelaksanaan dan tahap penyelesaian.
"Kalau ini diselesaikan, ditambah dengan adanya faktor kelambatan penyerapan energi karena perlambatan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi, maka kelebihan inilah yang jadi satu tantangan kita. Ini juga salah satu bottleneck untuk energi bersih masuk," ungkapnya.
Menurut dia, pemerintah tengah menyiasati hal ini supaya energi baru bisa tetap masuk sesuai dengan komitmen Pemerintah Indonesia dalam mencapai target bauran energi dan penurunan emisi rumah kaca.
"Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dalam 10 tahun ke depan, sedang kita bahas. Secara rinci bagaimana peluang dari energi baru terbarukan ini bisa masuk. Untuk itu memang memerlukan upaya bersama antara pelaku," jelasnya.
Arifin menuturkan, dunia juga sudah bergerak menuju energi bersih terbarukan, bahkan sudah ada pernyataan dari berbagai negara. Eropa menyatakan bahwa 2040 akan bebas dari pemakaian energi fosil, Jepang pada tahun 2050, dan China pada tahun 2060. Untuk itu, Indonesia harus segera menyusun strategi untuk bisa mengarah ke energi terbarukan.
Menurut dia, saat ini yang menjadi kendala juga adalah investasi. Jika semua negara berlomba-lomba berinvestasi di sektor energi terbarukan, maka nanti yang akan menjadi kompetisi adalah masalah pendanaan. ( Baca juga:Tiba di Kemenkumham, AHY Tegaskan KLB Demokrat Deliserdang Tidak Sah )
"Karena untuk merealisasikan proyek-proyek energi terbarukan ini juga skala besar. Tentu saja membutuhkan tenaga dan pendanaan yang tinggi. Kompetisi ini juga harus kita antisipasi, bagaimana kita bisa membuat investor tertarik masuk ke Indonesia," tandasnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, untuk mencapai target tersebut maka harus melakukan langkah-langkah yang tepat. Namun ada beberapa hal yang menjadi kendala sehingga perlu mengambil langkah antisipasi.
"Kita ketahui Indonesia memiliki sumber energi terbarukan yang cukup besar, seperti energi surya, hidro, angin, biomassa, geotermal. Tetapi lokasi-lokasi ini umumnya ada di daerah-daerah yang jauh. Untuk itu memang perlu adanya dukungan sarana jaringan yang harus kita siapkan," ujarnya dalam Forum Teknologi dan Inovasi Energi Masa Depan yang bertajuk "Imagining Indonesia’s Energy Future", Senin (8/3/2021).
Arifin melanjutkan, kendala lainnya adalah perlambatan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 sehingga permintaan energi juga menurun. Sementara di sisi lain pemerintah tengah menggenjot program 35.000 megawatt (MW) yang saat ini dalam tahap pelaksanaan dan tahap penyelesaian.
"Kalau ini diselesaikan, ditambah dengan adanya faktor kelambatan penyerapan energi karena perlambatan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi, maka kelebihan inilah yang jadi satu tantangan kita. Ini juga salah satu bottleneck untuk energi bersih masuk," ungkapnya.
Menurut dia, pemerintah tengah menyiasati hal ini supaya energi baru bisa tetap masuk sesuai dengan komitmen Pemerintah Indonesia dalam mencapai target bauran energi dan penurunan emisi rumah kaca.
"Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dalam 10 tahun ke depan, sedang kita bahas. Secara rinci bagaimana peluang dari energi baru terbarukan ini bisa masuk. Untuk itu memang memerlukan upaya bersama antara pelaku," jelasnya.
Arifin menuturkan, dunia juga sudah bergerak menuju energi bersih terbarukan, bahkan sudah ada pernyataan dari berbagai negara. Eropa menyatakan bahwa 2040 akan bebas dari pemakaian energi fosil, Jepang pada tahun 2050, dan China pada tahun 2060. Untuk itu, Indonesia harus segera menyusun strategi untuk bisa mengarah ke energi terbarukan.
Menurut dia, saat ini yang menjadi kendala juga adalah investasi. Jika semua negara berlomba-lomba berinvestasi di sektor energi terbarukan, maka nanti yang akan menjadi kompetisi adalah masalah pendanaan. ( Baca juga:Tiba di Kemenkumham, AHY Tegaskan KLB Demokrat Deliserdang Tidak Sah )
"Karena untuk merealisasikan proyek-proyek energi terbarukan ini juga skala besar. Tentu saja membutuhkan tenaga dan pendanaan yang tinggi. Kompetisi ini juga harus kita antisipasi, bagaimana kita bisa membuat investor tertarik masuk ke Indonesia," tandasnya.
(uka)