OJK Keluhkan Susahnya Mengatur BPR, Wimboh: Pengurusnya Tidak Terlalu Paham
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua DK Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengeluhkan, susahnya mengurus Bank Perkreditan Rakyat atau BPR karena size yang kecil dan gagap teknologi. Data OJK menunjukkan terdapat 1.669 BPR yang menggarap pasar mikro dan kecil.
Mayoritas atau 1.506 termasuk konvensional dan 163 merupakan BPR syariah. Sementara bank umum yang diawasi saat ini berjumlah 107 bank.
"Bank umum lebih baik secara governance dan sudah transparan. Tapi BPR kecil-kecil dan letaknya jauh. Bahkan karena ukurannya terlalu kecil lalu pengurusnya tidak terlalu paham," kata Wimboh dalam sesi webinar, Senin (15/3/2021).
Menurutnya saat ini pengawasan BPR sulit dilakukan secara harian atau day to day karena sulitnya digitalisasi khususnya dalam pelaporan data. "Sehingga kalau ada masalah fraud BPR kita lakukan enforce penutupan dan dana nasabah diganti melalui LPS," katanya.
Karena itu OJK akan segera melakukan digitalisasi untuk BPR meliputi agregator informasi, produk dan layanan paripurna, peningkatan kemampuan penyampaian laporan yang ditargetkan harian, dari sebelumnya bulanan atau triwulanan. "BPR akan diawasi secara digital dan seluruh aktivitasnya terhubung langsung dengan kantor pusat OJK agar aktivitasnya diawasi ketat," jelasnya.
Digitalisasi kepada BPR juga untuk meningkatkan inklusi keuangan kepada masyarakat mengingat keberadaan BPR dekat dengan nasabah mulai di pinggiran kota, pedesaan bahkan di daerah terisolasi.
Berdasarkan data OJK total aset per Desember 2020, pangsa pasar industri BPR mencapai 91,21% atau Rp155 triliun, tumbuh 3,64% secara tahunan. Sedangkan untuk BPR Syariah, memiliki pangsa pasar 8,79% atau Rp14,95 triliun, tumbuh 8,67% secara tahunan.
Mayoritas atau 1.506 termasuk konvensional dan 163 merupakan BPR syariah. Sementara bank umum yang diawasi saat ini berjumlah 107 bank.
"Bank umum lebih baik secara governance dan sudah transparan. Tapi BPR kecil-kecil dan letaknya jauh. Bahkan karena ukurannya terlalu kecil lalu pengurusnya tidak terlalu paham," kata Wimboh dalam sesi webinar, Senin (15/3/2021).
Menurutnya saat ini pengawasan BPR sulit dilakukan secara harian atau day to day karena sulitnya digitalisasi khususnya dalam pelaporan data. "Sehingga kalau ada masalah fraud BPR kita lakukan enforce penutupan dan dana nasabah diganti melalui LPS," katanya.
Karena itu OJK akan segera melakukan digitalisasi untuk BPR meliputi agregator informasi, produk dan layanan paripurna, peningkatan kemampuan penyampaian laporan yang ditargetkan harian, dari sebelumnya bulanan atau triwulanan. "BPR akan diawasi secara digital dan seluruh aktivitasnya terhubung langsung dengan kantor pusat OJK agar aktivitasnya diawasi ketat," jelasnya.
Digitalisasi kepada BPR juga untuk meningkatkan inklusi keuangan kepada masyarakat mengingat keberadaan BPR dekat dengan nasabah mulai di pinggiran kota, pedesaan bahkan di daerah terisolasi.
Berdasarkan data OJK total aset per Desember 2020, pangsa pasar industri BPR mencapai 91,21% atau Rp155 triliun, tumbuh 3,64% secara tahunan. Sedangkan untuk BPR Syariah, memiliki pangsa pasar 8,79% atau Rp14,95 triliun, tumbuh 8,67% secara tahunan.
(akr)