Pecah Rekor! Harga Pangan Dunia Meroket hingga 50%

Jum'at, 19 Maret 2021 - 20:12 WIB
loading...
Pecah Rekor! Harga Pangan...
Ilustrasi. FOTO/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Harga komoditas pangan di tingkat global meroket 50 persen sejak pertengahan tahun 2020. Berdasarkan laporan Rabobank harga komoditas pertanian di tingkat dunia naik 50 persen sejak pertengahan 2020 sementara harga pangan global telah mencapai level tertinggi dalam enam tahun.

Meningkatnya permintaan impor dan pembatasan pasokan telah memicu kenaikan harga. Dalam laporan baru tersebut, kenaikan harga gandum, jagung, kedelai, gula, dan berbagai komoditas lainnya disebabkan kondisi La Nina di belahan utara dunia, mata uang Amerika Serikat yang melemah, spekulan pasar, dan meningkatnya permintaan dari negara-negara pengimpor.

Temuan ini diperkuat oleh Indeks Harga Pangan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) yang melacak perubahan harga bulanan untuk sejumlah bahan pangan pokok. FAO mengungkapkan, harga sereal, minyak nabati, gula, susu, dan daging pada Januari 2021 telah naik ke level tertinggi sejak 2015.



Analis komoditas senior Rabobank, Charles Clack mengatakan harga masih akan naik sampai level yang tertinggi untuk beberapa waktu mendatang. "Kami perkirakan dolar Amerika Serikat tidak akan menguat dalam waktu dekat [dan] La Nina akan terus menyebabkan kondisi yang lebih kering di belahan bumi utara, sementara permintaan global akan tetap kuat," katanya, seperti dikutip ABC News, Jumat (19/3/2021). "Selain itu, kami juga tidak melihat kemungkinan para spekulan, yang membuat harga komoditas naik, akan hilang," imbuhnya.

Musim panas lalu, para petani gandum Australia menuai hasil panen besar-besaran dan akan mengeruk keuntungan dari hasil panen yang melimpah untuk dijual ketika harga sedang tinggi. "Kondisi ini sangat positif bagi petani dan masyarakat pedesaan," kata Charles.

Analisis oleh lembaga survei komoditas milik pemerintah Australia ABARES menemukan harga pangan lokal naik tipis pada tahun 2020 terutama dipicu kenaikan harga daging. ABARES memperingatkan kemungkinan ada kenaikan harga di tingkat petani untuk buah dan sayuran, karena produksi yang lebih rendah tahun ini.

Impor Meningkat

Kenaikan harga pangan menbuat impor turut meningkat karena negara-negara di dunia berusaha memenuhi pasokan komoditas di dalam negerinya masing-masing, seperti gandum, jagung, dan kedelai. Permintaan tertinggi datang dari China yang kondisi ekonominya sedang melambung kembali setelah beberapa saat menurun, dengan tingginya permintaan gandum untuk pakan ternak.

Rabobank memperkirakan, permintaan akan berlangsung sampai bertahun-tahun mendatang. Seiring dengan meningkatnya permintaan, eksportir utama juga berupaya untuk menahan stok. Misalnya, Rusia yang memberlakukan pajak ekspor gandum atau Argentina yang memberlakukan kuota ekspor jagung.

Perusahaan makanan besar yang terdaftar di bursa juga meningkatkan jumlah stok yang mereka miliki di gudang untuk menghindari gangguan yang disebabkan Covid-19. Kondisi ini merupakan cermin pergeseran manajemen inventaris, dari pendekatan just in time (pengadaan yang tepat waktu) ke just in case (pengadaan jika sewaktu-waktu terjadi hal yang tidak terduga), menurut laporan tersebut.

Rabobank memperkirakan pergeseran pendekatan manajemen menyebabkan permintaan global naik 2%. Pada tahun 2007 dan awal 2008, kenaikan tajam harga pangan menyebabkan kerusuhan sipil di sekitar 37 negara di Eropa Timur, Amerika Selatan, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan serta Tenggara. Meskipun tren kenaikan harga pangan saat ini mengkhawatirkan banyak orang, skalanya belum mencapai skala krisis pangan 13 tahun yang lalu.



Menurut Charles Clack, dalam kedua contoh inflasi harga pangan, spekulan pasar memainkan peran. "Sementara hal-hal yang lebih fundamental, seperti cuaca dan jumlah permintaan merupakan pemicu kenaikan harga. Tak diragukan lagi, spekulasi oleh pemain non-komersial di pasarlah yang mendorong langkah tersebut," kata dia.

Saat ini, suku bunga yang rendah telah membawa uang dari obligasi pemerintah masuk ke pasar komoditas karena mereka mencari keuntungan yang lebih tinggi. "Kami mengamati para pedagang pasar saham yang cenderung lebih pasif dan memilih produk keuangan jangka panjang, seperti dana pensiun, menjadi sangat tertarik pada komoditas pertanian," kata Clack. "Mereka belum tentu akan keluar dari pasar ini secepat para spekulan tradisional," lanjutnya.
(nng)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1212 seconds (0.1#10.140)