Bentuk Holding Ultra Mikro Tanpa Otak-atik DPR, Tanri Abeng: Pemerintah Perlu Terbitkan PP
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peraturan Pemerintah (PP) terkait Holding Ultra Mikro dinilai penting untuk dirumuskan pemerintah. Langkah tersebut guna mempercepat proses pembentukan integrasi PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), PT Pegadaian (Persero), dan PT Permodalan Nasional Madani (Persero) atau PNM.
Mantan Menteri BUMN Tanri Abeng mencatat dengan beleid baru tersebut, kebijakan sinergi perseroan dapat dilakukan secara mandiri oleh lembaga eksekutif tanpa harus melibatkan lembaga legislatif (DPR). Penerbitan PP pun diyakini tidak bertentangan dengan Undang-undang.
“Dasar hukum pembentukan sinergi integrasi ekosistem BUMN di sektor ultra mikro cukup melalui PP, karena proses tersebut tidak sama sekali bertentangan dengan Undang-undang apapun," ujar Tanri Senin (22/3/2021).
Dia mencontohkan, Kementerian BUMN didirikan melalui payung hukum PP Nomor 50 Tahun 1998. Artinya, proses perumusan pendirian atau integrasi BUMN cukup melalui Peraturan Pemerintah atau menjadi kewenangan Presiden. Sementara lembaga legislatif hanya berfungsi sebagai konsultasi.
Dengan begitu, keberadaan Holding Ultra Mikro akan menjadi kuat dan tidak bisa diotak-atik jika nantinya Presiden sudah ganti.
“Lihat saja pengalaman pada 1998 saat krisis moneter, Presiden Soeharto bermodalkan PP 50/1998 mendirikan Kementerian BUMN dan menugaskan saya sebagai menteri melakukan konsolidasi 159 BUMN ke dalam satu kementerian yang sebelumnya berada di bawah 17 kementerian teknis," kata dia.
Sebelum ditetapkan menjadi Kementerian BUMN, institusi negara itu bernama Kementerian Negara Pendayagunaan BUMN. Saat itu, salah satu poin dari pembentukan Kementerian BUMN adalah bertujuan menghadapi krisis moneter yang menjelma menjadi krisis ekonomi dan politik. Krisis yang menjadi cikal-bakal jatuhnya Orde Baru dari tampuk kekuasaannya.
Tujuan pemerintah melakukan konsolidasi seluruh BUMN ke dalam satu kementerian yang dikelola secara korporasi agar terjadi proses penciptaan nilai melalui strategi restrukturisasi, profitisasi, baru privatisasi.
Melalui privatisasi, negara akan memperoleh pendapatan dan pajak yang signifikan untuk mengatasi defisit fiskal yang cukup besar pada tahun 1997. Tanri mengatakan, saat pertama dibentuk, Kementerian BUMN harus mengambil alih pengelolaan 159 BUMN dengan cepat karena 100 diantaranya dalam kondisi keuangan yang tidak sehat.
“Saya bilang (kepada Soeharto) ‘keluarkan BUMN dari birokrasi, lalu bentuk national holding company’. Saya namakan waktu itu Indonesia Incorporated. Jadi dia menjadi satu organisasi korporasi, bukan lagi birokrasi. Persero memang sudah korporasi tapi pola manajemennya birokrasi, kan. Jadi BUMN nanti akan besar, kita akan memiliki kekuatan di bawah satu komando (kementerian),” tuturnya.
Penggunaan PP seperti saat pembentukan Kementerian BUMN bisa dilakukan pemerintah saat ini. Dia menilai pembentukan sinergi atau holding BUMN untuk ultra mikro harus didukung dan dilakukan segera demi meningkatkan kapasitas UMKM.
“Ini sangat oke, karena paling tidak ada perubahan daripada pola penanganan ultra mikro dan UMKM dengan cara diorganisir dan klasterisasi (pelaku usaha) ini. Nanti BRI harus bisa mengatur bagaimana mekanisme pemberdayaan atau pendanaan ini, dengan demikian maka tidak lagi tumpang tindih antara BRI, Pegadaian dan PNM, bahkan penanganan UMKM yang ada di bank pemerintah lainnya sebaiknya dialihkan seluruhnya ke BRI yang sudah memiliki kemampuan dan sistem untuk menangani UMKM,” ujar dia.
Saat ini, pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN terus mematangkan pembentukan Holding Ultra Mikro. Sebelumnya, Komisi VI DPR resmi memberikan dukungan bagi pemerintah dalam program pembentukan holding BUMN tersebut. Dukungan resmi ini disampaikan Komisi VI setelah rapat kerja dengan Menteri BUMN Erick Thohir terkait konsultasi pembentukan holding pada Kamis lalu.
Mantan Menteri BUMN Tanri Abeng mencatat dengan beleid baru tersebut, kebijakan sinergi perseroan dapat dilakukan secara mandiri oleh lembaga eksekutif tanpa harus melibatkan lembaga legislatif (DPR). Penerbitan PP pun diyakini tidak bertentangan dengan Undang-undang.
“Dasar hukum pembentukan sinergi integrasi ekosistem BUMN di sektor ultra mikro cukup melalui PP, karena proses tersebut tidak sama sekali bertentangan dengan Undang-undang apapun," ujar Tanri Senin (22/3/2021).
Dia mencontohkan, Kementerian BUMN didirikan melalui payung hukum PP Nomor 50 Tahun 1998. Artinya, proses perumusan pendirian atau integrasi BUMN cukup melalui Peraturan Pemerintah atau menjadi kewenangan Presiden. Sementara lembaga legislatif hanya berfungsi sebagai konsultasi.
Dengan begitu, keberadaan Holding Ultra Mikro akan menjadi kuat dan tidak bisa diotak-atik jika nantinya Presiden sudah ganti.
“Lihat saja pengalaman pada 1998 saat krisis moneter, Presiden Soeharto bermodalkan PP 50/1998 mendirikan Kementerian BUMN dan menugaskan saya sebagai menteri melakukan konsolidasi 159 BUMN ke dalam satu kementerian yang sebelumnya berada di bawah 17 kementerian teknis," kata dia.
Sebelum ditetapkan menjadi Kementerian BUMN, institusi negara itu bernama Kementerian Negara Pendayagunaan BUMN. Saat itu, salah satu poin dari pembentukan Kementerian BUMN adalah bertujuan menghadapi krisis moneter yang menjelma menjadi krisis ekonomi dan politik. Krisis yang menjadi cikal-bakal jatuhnya Orde Baru dari tampuk kekuasaannya.
Tujuan pemerintah melakukan konsolidasi seluruh BUMN ke dalam satu kementerian yang dikelola secara korporasi agar terjadi proses penciptaan nilai melalui strategi restrukturisasi, profitisasi, baru privatisasi.
Melalui privatisasi, negara akan memperoleh pendapatan dan pajak yang signifikan untuk mengatasi defisit fiskal yang cukup besar pada tahun 1997. Tanri mengatakan, saat pertama dibentuk, Kementerian BUMN harus mengambil alih pengelolaan 159 BUMN dengan cepat karena 100 diantaranya dalam kondisi keuangan yang tidak sehat.
“Saya bilang (kepada Soeharto) ‘keluarkan BUMN dari birokrasi, lalu bentuk national holding company’. Saya namakan waktu itu Indonesia Incorporated. Jadi dia menjadi satu organisasi korporasi, bukan lagi birokrasi. Persero memang sudah korporasi tapi pola manajemennya birokrasi, kan. Jadi BUMN nanti akan besar, kita akan memiliki kekuatan di bawah satu komando (kementerian),” tuturnya.
Penggunaan PP seperti saat pembentukan Kementerian BUMN bisa dilakukan pemerintah saat ini. Dia menilai pembentukan sinergi atau holding BUMN untuk ultra mikro harus didukung dan dilakukan segera demi meningkatkan kapasitas UMKM.
“Ini sangat oke, karena paling tidak ada perubahan daripada pola penanganan ultra mikro dan UMKM dengan cara diorganisir dan klasterisasi (pelaku usaha) ini. Nanti BRI harus bisa mengatur bagaimana mekanisme pemberdayaan atau pendanaan ini, dengan demikian maka tidak lagi tumpang tindih antara BRI, Pegadaian dan PNM, bahkan penanganan UMKM yang ada di bank pemerintah lainnya sebaiknya dialihkan seluruhnya ke BRI yang sudah memiliki kemampuan dan sistem untuk menangani UMKM,” ujar dia.
Saat ini, pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN terus mematangkan pembentukan Holding Ultra Mikro. Sebelumnya, Komisi VI DPR resmi memberikan dukungan bagi pemerintah dalam program pembentukan holding BUMN tersebut. Dukungan resmi ini disampaikan Komisi VI setelah rapat kerja dengan Menteri BUMN Erick Thohir terkait konsultasi pembentukan holding pada Kamis lalu.
(akr)