Istana Minta Panglima TNI dan Kapolri Lindungi Petani Sawit Gondai
loading...
A
A
A
“Padahal lahan yang dikuasai masyarakat yang tergabung dalam koperasi dan kelompok tani bukan bagian dari lahan milik dari perusahaan yang sedang bersengketa,” kata Abetnego.
(Baca juga:Warga Terlibat Konflik Lahan dengan PT NWR, Presiden Jokowi Diminta Turun Tangan)
Menyikapi kondisi di lapangan yang memanas kemudian KSP dalam suratnya mengeluarkan tiga perintah. Pertama, meminta pihak perusahaan (NWR) dan aparat keamananan untuk segera menghentikan sementara proses penebangan sawit atau penggusuran milik petani mengingat kasus tersebut sedang ditangani KSP dengan kementerian terkait dan untuk mencegah meluasnya konflik yang mengarah pada kekerasan.
Kedua, meminta Kanwil ATR/BPN Provinsi Riau untuk mengklarifikasi status hak atas tanah warga dan status tanah HGU kedua perusahaan yang bersengketa dengan membuat pemetaan lapangan yang memperjelas di mana posisi dan batas-batas tanah milik warga melalui koperasi dan dimana tanah HGU dari kedua perusahaan.
Ketiga, meminta Kepolisian Daerah Riau mengambil langkah-langkah pencegahan untuk menghindari konflik sosial antara para pihak yang bersengketa agar tidak terjadi kekerasan dan kriminalisasi terhadap warga. “Sebagi bagian dari konflik agraria yang harus ditangani, sengketa lahan di desa Gondai akan mendapat perhatian khusus,” ujar Abetnego.
Sementara itu para petani sawit Gondai sangat berharap kerja sama dengan PT Peputra Supra Jaya terus berlanjut. Perusahaan ini dianggap petani yang tergabung dalam koperasi dan kelompok tani sebagai bapak angkat.
Dalam perjanjian pada 1996 misalnya disebutkan, “Penguasa Tanah Ulayat Ninik Mamak Desa Pangkalan Gondai Kecamatan Langgam memberikan kebebasan tanah ulayat kepada kemenakan kami anggota KUD Sawit Raya Unit Otonomi Desa Pangkalan Gondai sebanyak 50% dan untuk Bapak Angkat sebanyak 50%.”
“Kami masyarakat tetap berharap tetap melakukan kerja sama dengan PT Peputra Supra Jaya yang telah disepakati dalam bentuk kerja sama sejak tahun 1996,” kata Nurbit yang bergelar Batin Mudo perwakilan Ninik Mamak yang ikut menanatangani kesepakatan pada kerja sama pada 1996.
PT Peputra Supra Jaya dan masyarakat pun sudah memenangi kasus ini di tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru. PTUN Pekanbaru dengan surat tertanggal 23 Maret 2021 sudah memerintahkan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutan Provinsi Riau untuk melaksanakan putusan PTUN tertanggal 21 April 2020. “PT Peputra Jaya adalah Bapak Angkat kami,” ujarnya.
(Baca juga:Warga Terlibat Konflik Lahan dengan PT NWR, Presiden Jokowi Diminta Turun Tangan)
Menyikapi kondisi di lapangan yang memanas kemudian KSP dalam suratnya mengeluarkan tiga perintah. Pertama, meminta pihak perusahaan (NWR) dan aparat keamananan untuk segera menghentikan sementara proses penebangan sawit atau penggusuran milik petani mengingat kasus tersebut sedang ditangani KSP dengan kementerian terkait dan untuk mencegah meluasnya konflik yang mengarah pada kekerasan.
Kedua, meminta Kanwil ATR/BPN Provinsi Riau untuk mengklarifikasi status hak atas tanah warga dan status tanah HGU kedua perusahaan yang bersengketa dengan membuat pemetaan lapangan yang memperjelas di mana posisi dan batas-batas tanah milik warga melalui koperasi dan dimana tanah HGU dari kedua perusahaan.
Ketiga, meminta Kepolisian Daerah Riau mengambil langkah-langkah pencegahan untuk menghindari konflik sosial antara para pihak yang bersengketa agar tidak terjadi kekerasan dan kriminalisasi terhadap warga. “Sebagi bagian dari konflik agraria yang harus ditangani, sengketa lahan di desa Gondai akan mendapat perhatian khusus,” ujar Abetnego.
Sementara itu para petani sawit Gondai sangat berharap kerja sama dengan PT Peputra Supra Jaya terus berlanjut. Perusahaan ini dianggap petani yang tergabung dalam koperasi dan kelompok tani sebagai bapak angkat.
Dalam perjanjian pada 1996 misalnya disebutkan, “Penguasa Tanah Ulayat Ninik Mamak Desa Pangkalan Gondai Kecamatan Langgam memberikan kebebasan tanah ulayat kepada kemenakan kami anggota KUD Sawit Raya Unit Otonomi Desa Pangkalan Gondai sebanyak 50% dan untuk Bapak Angkat sebanyak 50%.”
“Kami masyarakat tetap berharap tetap melakukan kerja sama dengan PT Peputra Supra Jaya yang telah disepakati dalam bentuk kerja sama sejak tahun 1996,” kata Nurbit yang bergelar Batin Mudo perwakilan Ninik Mamak yang ikut menanatangani kesepakatan pada kerja sama pada 1996.
PT Peputra Supra Jaya dan masyarakat pun sudah memenangi kasus ini di tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru. PTUN Pekanbaru dengan surat tertanggal 23 Maret 2021 sudah memerintahkan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutan Provinsi Riau untuk melaksanakan putusan PTUN tertanggal 21 April 2020. “PT Peputra Jaya adalah Bapak Angkat kami,” ujarnya.
(dar)