Menperin Jawab Pernyataan Ketum PBNU Soal Aturan Gula
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita buka suara soal Permenperin No. 3 Tahun 2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula Dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional. Sebelumnya, permenperin ini dipermasalahkan oleh sejumlah kalangan, termasuk pelaku usaha dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), yang menilai aturan tersebut merugikan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), khususnya di Jawa Timur.
Menanggapi munculnya isu, Agus mengatakan ada yang perlu diluruskan agar tidak terjadi kesalahpahaman antara pemerintah dengan para pelaku usaha terkait Permenperin 3/2021. Sebagai latar belakang, Menperin menyebut pabrik gula rafinasi dibentuk sebelum 2010 untuk mempermudah industri makanan dan minuman (mamin) mendapatkan bahan baku.
Saat itu, kebun-kebun belum memadai sementara kebutuhan industri mamin terus bertumbuh, akhirnya dibentuklah pabrik gula rafinasi yang berjumlah 11 perusahaan. Dari 11 pabrik tersebut saat ini memiliki kapasitas 5 juta ton, sayangnya sampai hari ini utilisasi baru 65% atau terpakai produksi sekitar 3 juta ton.
Baca juga:Dinilai Rugikan Industri Mamin Jatim, Ketua PB NU Minta Permenperin 03/2021 Ditata Ulang
"Jika tidak melakukan demarkasi ini, pabrik gula rafinasi tidak akan pernah optimal, begitu pula sebaliknya," terang Agus di Jakarta, Kamis (12/5/2021).
Agus pun menegaskan, setidaknya ada tiga poin utama dari terbitnya Permenperin No. 3 Tahun 2021 ini. Pertama, permenperin ini sebagai upaya penertiban dalam produksi gula pada pabrik gula untuk mengurangi potensi kebocoran atau rembesan gula.
Berdasarkan Keppres 57 Tahun 2004 tentang Penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan, di Indonesia ada dua jenis produk gula yang diproduksi dan diperdagangkan. Pertama gula kristal rafinasi (GKR) untuk industri makanan, minuman dan farmasi. Kedua gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi. Penyatuan produksi kedua jenis gula tersebut belum bisa dilakukan.
Kedua, terkait fokus produksi. Dengan adanya peraturan ini, pabrik gula dapat berproduksi sesuai dengan bidang usahanya masing-masing. Pabrik gula rafinasi memproduksi GKR untuk melayani industri makanan, minuman dan farmasi.
Sedangkan pabrik gula berbasis tebu memproduksi GKP untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi sebagai upaya mencapai swasembada gula nasional. Pabrik gula rafinasi tidak boleh memproduksi GKP untuk konsumsi, begitu juga pabrik gula basis tebu tidak boleh memproduksi gula industri atau GKR.
Dengan adanya peraturan ini diharapkan akan ada perbaikan dari sisi pengembangan perkebunan tebu secara nasional sebagai bahan baku gula, yang akan berdampak pada peningkatan produksi gula nasional dan perbaikan pendapatan petani tebu.
Menanggapi munculnya isu, Agus mengatakan ada yang perlu diluruskan agar tidak terjadi kesalahpahaman antara pemerintah dengan para pelaku usaha terkait Permenperin 3/2021. Sebagai latar belakang, Menperin menyebut pabrik gula rafinasi dibentuk sebelum 2010 untuk mempermudah industri makanan dan minuman (mamin) mendapatkan bahan baku.
Saat itu, kebun-kebun belum memadai sementara kebutuhan industri mamin terus bertumbuh, akhirnya dibentuklah pabrik gula rafinasi yang berjumlah 11 perusahaan. Dari 11 pabrik tersebut saat ini memiliki kapasitas 5 juta ton, sayangnya sampai hari ini utilisasi baru 65% atau terpakai produksi sekitar 3 juta ton.
Baca juga:Dinilai Rugikan Industri Mamin Jatim, Ketua PB NU Minta Permenperin 03/2021 Ditata Ulang
"Jika tidak melakukan demarkasi ini, pabrik gula rafinasi tidak akan pernah optimal, begitu pula sebaliknya," terang Agus di Jakarta, Kamis (12/5/2021).
Agus pun menegaskan, setidaknya ada tiga poin utama dari terbitnya Permenperin No. 3 Tahun 2021 ini. Pertama, permenperin ini sebagai upaya penertiban dalam produksi gula pada pabrik gula untuk mengurangi potensi kebocoran atau rembesan gula.
Berdasarkan Keppres 57 Tahun 2004 tentang Penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan, di Indonesia ada dua jenis produk gula yang diproduksi dan diperdagangkan. Pertama gula kristal rafinasi (GKR) untuk industri makanan, minuman dan farmasi. Kedua gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi. Penyatuan produksi kedua jenis gula tersebut belum bisa dilakukan.
Kedua, terkait fokus produksi. Dengan adanya peraturan ini, pabrik gula dapat berproduksi sesuai dengan bidang usahanya masing-masing. Pabrik gula rafinasi memproduksi GKR untuk melayani industri makanan, minuman dan farmasi.
Sedangkan pabrik gula berbasis tebu memproduksi GKP untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi sebagai upaya mencapai swasembada gula nasional. Pabrik gula rafinasi tidak boleh memproduksi GKP untuk konsumsi, begitu juga pabrik gula basis tebu tidak boleh memproduksi gula industri atau GKR.
Dengan adanya peraturan ini diharapkan akan ada perbaikan dari sisi pengembangan perkebunan tebu secara nasional sebagai bahan baku gula, yang akan berdampak pada peningkatan produksi gula nasional dan perbaikan pendapatan petani tebu.