Survei Buruh Sebut Kinerja Pengawas Ketenagakerjaan Soal THR Buruk
loading...
A
A
A
JAKARTA - Buruknya peran negara dalam mewujudkan hubungan industrial yang adil tampak jelas jelang Lebaran 2021. Melaui penerbitan Surat Edaran (SE) Menaker Nomor M/6/HK.04/IV/2021 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2021 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan (SE THR), perusahaan-perusahaan memiliki peluang untung mengurangi pemenuhan hak buruh sebagaimana diatur dalam Permenaker 6/2016 tentang THR.
"SE THR ini telah melimpahkan tanggung jawab pengawasan negara ke perundingan bipartit di tingkat perusahaan yang kerap berjalan tak seimbang. Peraturan ini telah melegitimasi kinerja malas yang ditunjukkan oleh Pengawas Ketenagakerjaan selama ini," tulis Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), dikutip Rabu, (12/5/2021).
Baca juga:Pengusaha Ritel Tolak 'Lockdown' di Sejumlah Daerah
Alih-alih mewajibkan perusahaan untuk menunjukkan laporan keuangan perusahaan kepada pemerintah sebagai alasan objektif untuk menunda pembayaran THR layaknya skema penangguhan pembayaran upah, SE THR itu justru menyerahkan sepenuhnya hal tersebut ke perundingan bipartit.
Timpangnya posisi buruh dan pengusaha, telah menyebabkan perundingan-perundingan bipartit tidak efektif, terlebih bagi pekerja kontrak, harian lepas dan sebagainnya yang selalu dibayangi ancaman PHK jika mencoba menuntut hak.
Hal ini dapat dilihat dari hasil sementar survei daring Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) mengenai pemenuhan hak THR. Sejak dimulai per tanggal 29 April 2021, survei ini diisi oleh 123 orang, termasuk di antaranya 17 pekerja rumah tangga (PRT) yang hingga kini haknya sebagai pekerja belum mendapat perlindungan hukum dari negara.
Responden dalam survei ini berasal dari 50 perusahaan dengan 19 sektor usaha, ditambah PRT yang berlokasi di 22 kabupaten/kota di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara.
Ada 52% responden menyatakan hak THR tidak dipenuhi sesuai Permenaker 6/2016 dengan rincian. Yakni Besaran THR dibayarkan sesuai ketentuan, namun dicicil: 13,28%. Lalu THR tidak dicicil, namun besarannya dikurangi 15,4%, THR dibayarkan secara dicicil dan besarannya jika diakumulasikan kurang dari ketentuan, 3,3%. THR hanya berupa bingkisan: 2,4%. Dan Tidak mendapat THR 17,1%. Baca juga:Anggota DPR Sebut Pengugat Jabatan Ex-officio BP Batam Tidak Hargai Jokowi
"Meskipun SE THR hanya mengatur mengenai mekanisme pembayaran THR dengan cara dicicil tanpa mengurangi besaran THR saat diakumulasi, namun kami menemukan praktik-praktik lain yang semakin memperburuk pemenuhan hak atas THR," lanjut FSPBI.
Hal ini tidak dapat dilepaskan dari fakta umum mengenai buruknya kinerja Pengawas Ketenagakerjaan. Dari responden yang hak THRnya tidak sesuai Permenaker 6/2016, 30% merupakan perempuan dan 22% laki-laki. Dengan demikian, terdapat kecenderungan bahwa perempuan menjadi pihak yang lebih terdampak pelanggaran hak THR.
"SE THR ini telah melimpahkan tanggung jawab pengawasan negara ke perundingan bipartit di tingkat perusahaan yang kerap berjalan tak seimbang. Peraturan ini telah melegitimasi kinerja malas yang ditunjukkan oleh Pengawas Ketenagakerjaan selama ini," tulis Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), dikutip Rabu, (12/5/2021).
Baca juga:Pengusaha Ritel Tolak 'Lockdown' di Sejumlah Daerah
Alih-alih mewajibkan perusahaan untuk menunjukkan laporan keuangan perusahaan kepada pemerintah sebagai alasan objektif untuk menunda pembayaran THR layaknya skema penangguhan pembayaran upah, SE THR itu justru menyerahkan sepenuhnya hal tersebut ke perundingan bipartit.
Timpangnya posisi buruh dan pengusaha, telah menyebabkan perundingan-perundingan bipartit tidak efektif, terlebih bagi pekerja kontrak, harian lepas dan sebagainnya yang selalu dibayangi ancaman PHK jika mencoba menuntut hak.
Hal ini dapat dilihat dari hasil sementar survei daring Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) mengenai pemenuhan hak THR. Sejak dimulai per tanggal 29 April 2021, survei ini diisi oleh 123 orang, termasuk di antaranya 17 pekerja rumah tangga (PRT) yang hingga kini haknya sebagai pekerja belum mendapat perlindungan hukum dari negara.
Responden dalam survei ini berasal dari 50 perusahaan dengan 19 sektor usaha, ditambah PRT yang berlokasi di 22 kabupaten/kota di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara.
Ada 52% responden menyatakan hak THR tidak dipenuhi sesuai Permenaker 6/2016 dengan rincian. Yakni Besaran THR dibayarkan sesuai ketentuan, namun dicicil: 13,28%. Lalu THR tidak dicicil, namun besarannya dikurangi 15,4%, THR dibayarkan secara dicicil dan besarannya jika diakumulasikan kurang dari ketentuan, 3,3%. THR hanya berupa bingkisan: 2,4%. Dan Tidak mendapat THR 17,1%. Baca juga:Anggota DPR Sebut Pengugat Jabatan Ex-officio BP Batam Tidak Hargai Jokowi
"Meskipun SE THR hanya mengatur mengenai mekanisme pembayaran THR dengan cara dicicil tanpa mengurangi besaran THR saat diakumulasi, namun kami menemukan praktik-praktik lain yang semakin memperburuk pemenuhan hak atas THR," lanjut FSPBI.
Hal ini tidak dapat dilepaskan dari fakta umum mengenai buruknya kinerja Pengawas Ketenagakerjaan. Dari responden yang hak THRnya tidak sesuai Permenaker 6/2016, 30% merupakan perempuan dan 22% laki-laki. Dengan demikian, terdapat kecenderungan bahwa perempuan menjadi pihak yang lebih terdampak pelanggaran hak THR.
(uka)