Produksi Blok Rokan Jadi Taruhan, Pasokan Listrik-Uap Harus Segera Dipastikan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kepastian pasokan listrik di Blok Rokan , Riau, yang akan mulai dialihkan pengelolaannya dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) ke PT Pertamina Hulu Rokan pada Agustus 2021 masih menjadi pertanyaan. Padahal, kepastian pasokan listrik penting untuk menjaga produksi minyak dari Blok Rokan.
Terkait dengan itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mendesak agar kelanjutan pengelolaan PLTGU North Duri Cogeneration (NDC) yang memasok listrik dan uap ke Blok Rokan segera diselesaikan.
Pemilik PLTGU NDC adalah PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN) yang 95% sahamnya dikuasai oleh Chevron Standard Ltd (CSL), perusahaan terafiliasi dengan CPI, dan sisanya oleh perusahaan lokal. CSL disebut-sebut tengah melelang pengelolaan PLTGU NDC. Namun, beberapa peserta dikabarkan menarik diri karena harga yang ditetapkan dinilai kemahalan, yaitu USD300 juta (sekitar Rp4,39 triliun).
Di sisi lain, Pertamina dan PLN diketahui sudah melakukan komunikasi mengenai penyediaan listrik dan uap untuk Blok Rokan pada Maret 2020. Pada 1 Februari 2021, kedua BUMN itu bahkan telah meneken Perjanjian Jual Beli Listrik dan Uap (PJBTLU) yang akan efektif Agustus 2021, bersamaan dengan berakhirnya pengelolaan CPI di Blok Rokan.
"Yang lebih penting dari itu semua adalah kepastian keberlanjutan pasokan listrik untuk Blok Rokan," kata Komaidi kepada media, Minggu (23/5/2021).
Dia menegaskan, kepastian pasokan listrik dari PLTGU NDC akan menjaga produksi minyak dari Blok Rokan, minimal tidak turun drastis. Berdasarkan data dari SKK Migas, hingga kuartal I/2021 produksi minyak dari Blok Rokan rata-rata 162.951 barel per hari (bph), turun dari realisasi kuartal I/2020 yang sebesar 174.424 bph.
Mengenai pasokan listrik untuk Blok Rokan selanjutnya dikaitkan dengan adanya peralihan pengelolaan, menurutnya perlu ditinjau basis dan kesepakatan antara para pihak yang telah berjalan selama ini. Komaidi menilai, perlu disampaikan kepada publik bagaimana hak dan kewajiban para pihak setelah kontrak pengusahaan Blok Rokan beralih dari pengelola lama kepada pengelola yang baru. "Para pihak tentu harus mengacu pada ketentuan dan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya," kata dia.
Terpisah, Wakil Kepala SKK Migas Fataryani Abdurahman mengakui bahwa listrik dan uap adalah tulang punggung operasi yang ada di Blok Rokan. PLTGU NDC yang didesain pada dekade 90-an penting untuk pelaksanaan teknologi steamflood enhanced oil recovery (EOR) di blok tersebut. Terkait dengan itu, kata dia, SKK Migas telah mengirimkan surat kepada CPI perihal pembangkit tersebut.
Sebelumnya, Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril menjelaskan PLN telah menyiapkan rencana untuk pasokan listrik Blok Rokan. Kebutuhan listrik dan uap untuk Blok Rokan ke depan menurutnya dibagi dalam dua tahap. Pertama, masa transisi (2021-2024) yang memanfaatkan pasokan eksisting dengan skema akuisisi PLTG NDC dengan biaya yang paling efisien.
PLTGU NDC rencananya hanya akan digunakan selama tiga tahun karena PLN selanjutnya akan memasok listrik untuk Blok Rokan melalui interkoneksi dengan sistem kelistrikan Sumatera yang lebih terjamin.
Tahap kedua, masa permanen (2024-dst), dimana listrik secara total dipasok dari Sistem Sumatera dan uap akan dipasok dengan pembangunan steam generator yang lebih andal.
"Dalam masa transisi tiga tahun, PLN mengelola PLTG NDC eks-MCTN di North Duri sebesar 270 MW dan steam 350 MCWED serta listrik di Minas, Central Duri milik CPI sebesar 130 MW dan steam 50 MBWCED. Skema masa permanen setelah masa transisi, 400 MW dari sistem Sumatera dikonversi 5x100 MW dengan steam generator 400 MBCWED," paparnya belum lama ini.
Namun, imbuh dia, agar skenario ini mulus, PLN perlu mengakuisisi PLTGU NDC dengan efisien. Namun, harga yang ditawarkan yang disebut-sebut mencapai USD300 juta (sekitar Rp4,2 triliun dengan kurs Rp14.000/USD) dinilai kemahalan. Sementara, PLN hanya akan menggunakan PLTGU NDC milik MCTN itu selama tiga tahun.
Sebagai informasi, MCTN mengoperasikan PLTGU NDC sejak tahun 2000. Nilai investasi MCTN saat membangun PLTGU NDC adalah sekitar USD190 juta.
Di bagian lain, Direktur Eksekutif ‎Institute for Essential Services Reform (IESR) Faby Tumiwa, mengatakan bahwa ada nilai strategis dari kontrak yang dimiliki MTCN dengan CPI. Karena nilai strategis itu, Chevron menurutnya enggan menjual murah aset tersebut dan melakukan lelang. Dia menilai, Chevron mencoba mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari kondisi tersebut.
"Apapun motif sebenarnya hanya pihak Chevron yang tahu. Yang jelas produksi Rokan tidak boleh turun dan tidak boleh berhenti beroperasi untuk menjamin kontinuitas produksi. Kalau berhenti beroperasi, waktu dan biaya untuk meningkatkan produksi cukup besar dan lama. Bagi Pertamina, risiko ini yang harus dihindari," jelasnya.
Terkait dengan itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mendesak agar kelanjutan pengelolaan PLTGU North Duri Cogeneration (NDC) yang memasok listrik dan uap ke Blok Rokan segera diselesaikan.
Pemilik PLTGU NDC adalah PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN) yang 95% sahamnya dikuasai oleh Chevron Standard Ltd (CSL), perusahaan terafiliasi dengan CPI, dan sisanya oleh perusahaan lokal. CSL disebut-sebut tengah melelang pengelolaan PLTGU NDC. Namun, beberapa peserta dikabarkan menarik diri karena harga yang ditetapkan dinilai kemahalan, yaitu USD300 juta (sekitar Rp4,39 triliun).
Di sisi lain, Pertamina dan PLN diketahui sudah melakukan komunikasi mengenai penyediaan listrik dan uap untuk Blok Rokan pada Maret 2020. Pada 1 Februari 2021, kedua BUMN itu bahkan telah meneken Perjanjian Jual Beli Listrik dan Uap (PJBTLU) yang akan efektif Agustus 2021, bersamaan dengan berakhirnya pengelolaan CPI di Blok Rokan.
"Yang lebih penting dari itu semua adalah kepastian keberlanjutan pasokan listrik untuk Blok Rokan," kata Komaidi kepada media, Minggu (23/5/2021).
Dia menegaskan, kepastian pasokan listrik dari PLTGU NDC akan menjaga produksi minyak dari Blok Rokan, minimal tidak turun drastis. Berdasarkan data dari SKK Migas, hingga kuartal I/2021 produksi minyak dari Blok Rokan rata-rata 162.951 barel per hari (bph), turun dari realisasi kuartal I/2020 yang sebesar 174.424 bph.
Mengenai pasokan listrik untuk Blok Rokan selanjutnya dikaitkan dengan adanya peralihan pengelolaan, menurutnya perlu ditinjau basis dan kesepakatan antara para pihak yang telah berjalan selama ini. Komaidi menilai, perlu disampaikan kepada publik bagaimana hak dan kewajiban para pihak setelah kontrak pengusahaan Blok Rokan beralih dari pengelola lama kepada pengelola yang baru. "Para pihak tentu harus mengacu pada ketentuan dan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya," kata dia.
Terpisah, Wakil Kepala SKK Migas Fataryani Abdurahman mengakui bahwa listrik dan uap adalah tulang punggung operasi yang ada di Blok Rokan. PLTGU NDC yang didesain pada dekade 90-an penting untuk pelaksanaan teknologi steamflood enhanced oil recovery (EOR) di blok tersebut. Terkait dengan itu, kata dia, SKK Migas telah mengirimkan surat kepada CPI perihal pembangkit tersebut.
Sebelumnya, Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril menjelaskan PLN telah menyiapkan rencana untuk pasokan listrik Blok Rokan. Kebutuhan listrik dan uap untuk Blok Rokan ke depan menurutnya dibagi dalam dua tahap. Pertama, masa transisi (2021-2024) yang memanfaatkan pasokan eksisting dengan skema akuisisi PLTG NDC dengan biaya yang paling efisien.
PLTGU NDC rencananya hanya akan digunakan selama tiga tahun karena PLN selanjutnya akan memasok listrik untuk Blok Rokan melalui interkoneksi dengan sistem kelistrikan Sumatera yang lebih terjamin.
Tahap kedua, masa permanen (2024-dst), dimana listrik secara total dipasok dari Sistem Sumatera dan uap akan dipasok dengan pembangunan steam generator yang lebih andal.
"Dalam masa transisi tiga tahun, PLN mengelola PLTG NDC eks-MCTN di North Duri sebesar 270 MW dan steam 350 MCWED serta listrik di Minas, Central Duri milik CPI sebesar 130 MW dan steam 50 MBWCED. Skema masa permanen setelah masa transisi, 400 MW dari sistem Sumatera dikonversi 5x100 MW dengan steam generator 400 MBCWED," paparnya belum lama ini.
Namun, imbuh dia, agar skenario ini mulus, PLN perlu mengakuisisi PLTGU NDC dengan efisien. Namun, harga yang ditawarkan yang disebut-sebut mencapai USD300 juta (sekitar Rp4,2 triliun dengan kurs Rp14.000/USD) dinilai kemahalan. Sementara, PLN hanya akan menggunakan PLTGU NDC milik MCTN itu selama tiga tahun.
Sebagai informasi, MCTN mengoperasikan PLTGU NDC sejak tahun 2000. Nilai investasi MCTN saat membangun PLTGU NDC adalah sekitar USD190 juta.
Di bagian lain, Direktur Eksekutif ‎Institute for Essential Services Reform (IESR) Faby Tumiwa, mengatakan bahwa ada nilai strategis dari kontrak yang dimiliki MTCN dengan CPI. Karena nilai strategis itu, Chevron menurutnya enggan menjual murah aset tersebut dan melakukan lelang. Dia menilai, Chevron mencoba mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari kondisi tersebut.
"Apapun motif sebenarnya hanya pihak Chevron yang tahu. Yang jelas produksi Rokan tidak boleh turun dan tidak boleh berhenti beroperasi untuk menjamin kontinuitas produksi. Kalau berhenti beroperasi, waktu dan biaya untuk meningkatkan produksi cukup besar dan lama. Bagi Pertamina, risiko ini yang harus dihindari," jelasnya.
(fai)