Perkantoran di Kawasan CBD Diharapkan Bangkit Lagi dengan Adaptasi Kebiasaan Baru
loading...
A
A
A
JAKARTA - Seiring pemulihan kota-kota dari situasi pandemi, perkantoran diharapkan kembali aktif di Kawasan Pusat Bisnis (CBD) dengan ruang kerja yang lebih efisien dan produktif yang mencerminkan standar kesehatan dan kesejahteraan yang tinggi.
Seiring penerapan protokol jaga jarak yang kemungkinan akan berakhir pascapandemi, perusahaan pun dituntut untuk merancang ulang denah ruang kantor mereka.
Survei global JLL mengungkap bahwa 37% karyawan mengharapkan lingkungan kerja yang berjarak di masa depan. Dalam laporan Benchmarking Cities and Real Estate, JLL menggarisbawahi kebutuhan bisnis untuk memantau pemanfaatan serta metrik kepadatan ruang kantor untuk membantu menentukan kebutuhan ruang kantor mereka di masa depan.
"Saat nanti kita memasuki siklus pemulihan berikutnya, kami berharap perkantoran di Kawasan Pusat Bisnis akan kembali menjadi pusat sosial dan bisnis yang telah beradaptasi untuk mengakomodasi cara orang ingin bekerja dan hidup di masa depan," ujar Lead Director Global Cities Research JLL Jeremy Kelly dalam siaran pers, dikutip Sabtu (12/6/2021).
Dia memaparkan, kota-kota yang memiliki kepadatan di tempat kerja sebelum pandemi cenderung menghadapi tekanan untuk mengurangi kepadatan. Kota-kota ini terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, pusat bisnis global seperti Hong Kong, London, dan Singapura dengan kepadatan 10 meter persegi per orang atau kurang.
Kedua, destinasi outsourcing proses bisnis seperti Manila dan Bengaluru, di mana kebutuhan bisnis dan penggunaan ruang yang intensif telah mendorong kepadatan hingga serendah 7 meter persegi per orang.
Ketiga, mega-hub yang sedang berkembang seperti Jakarta dan Mumbai yang menyediakan layanan bisnis untuk pasar nasional yang besar dan berkembang dengan kepadatan dari 9 hingga 11 meter persegi per orang
"Amat menarik untuk mengamati masa depan ruang perkantoran pascapandemi, khususnya di Jakarta sebagai salah satu kota dengan rasio luas ruang perkantoran terhadap orang yang relatif cukup padat dibandingkan kota-kota global lainnya," kata Head of Research JLL Indonesia, Yunus Karim.
Menurut dia, perusahaan harus beradaptasi dengan perubahan cara kerja dan memiliki strategi untuk mengakomodasi kebutuhan pasca pandemi mengingat ruang perkantoran akan tetap berperan sebagai pusat kolaborasi dan sosialisasi bagi para karyawannya.
Dalam pemulihan pasca-pandemi, beberapa tahun ke depan akan menjadi sangat penting ketika perusahaan dan kota menetapkan dan bekerja bersama menuju target keberlanjutan yang ambisius.
"Memahami bagaimana pemanfaatan ruang dan metrik kepadatan okupansi berdampak pada konsumsi energi dan air serta limbah menjadi semakin penting. Kepadatan okupansi yang lebih ketat biasanya berarti biaya dan konsumsi energi yang lebih rendah per orang. Skenario keberlanjutan di masa depan perlu mempertimbangkan pertukaran antara kepadatan dan efisiensi ini," tandasnya.
Seiring penerapan protokol jaga jarak yang kemungkinan akan berakhir pascapandemi, perusahaan pun dituntut untuk merancang ulang denah ruang kantor mereka.
Survei global JLL mengungkap bahwa 37% karyawan mengharapkan lingkungan kerja yang berjarak di masa depan. Dalam laporan Benchmarking Cities and Real Estate, JLL menggarisbawahi kebutuhan bisnis untuk memantau pemanfaatan serta metrik kepadatan ruang kantor untuk membantu menentukan kebutuhan ruang kantor mereka di masa depan.
"Saat nanti kita memasuki siklus pemulihan berikutnya, kami berharap perkantoran di Kawasan Pusat Bisnis akan kembali menjadi pusat sosial dan bisnis yang telah beradaptasi untuk mengakomodasi cara orang ingin bekerja dan hidup di masa depan," ujar Lead Director Global Cities Research JLL Jeremy Kelly dalam siaran pers, dikutip Sabtu (12/6/2021).
Dia memaparkan, kota-kota yang memiliki kepadatan di tempat kerja sebelum pandemi cenderung menghadapi tekanan untuk mengurangi kepadatan. Kota-kota ini terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, pusat bisnis global seperti Hong Kong, London, dan Singapura dengan kepadatan 10 meter persegi per orang atau kurang.
Kedua, destinasi outsourcing proses bisnis seperti Manila dan Bengaluru, di mana kebutuhan bisnis dan penggunaan ruang yang intensif telah mendorong kepadatan hingga serendah 7 meter persegi per orang.
Ketiga, mega-hub yang sedang berkembang seperti Jakarta dan Mumbai yang menyediakan layanan bisnis untuk pasar nasional yang besar dan berkembang dengan kepadatan dari 9 hingga 11 meter persegi per orang
"Amat menarik untuk mengamati masa depan ruang perkantoran pascapandemi, khususnya di Jakarta sebagai salah satu kota dengan rasio luas ruang perkantoran terhadap orang yang relatif cukup padat dibandingkan kota-kota global lainnya," kata Head of Research JLL Indonesia, Yunus Karim.
Menurut dia, perusahaan harus beradaptasi dengan perubahan cara kerja dan memiliki strategi untuk mengakomodasi kebutuhan pasca pandemi mengingat ruang perkantoran akan tetap berperan sebagai pusat kolaborasi dan sosialisasi bagi para karyawannya.
Dalam pemulihan pasca-pandemi, beberapa tahun ke depan akan menjadi sangat penting ketika perusahaan dan kota menetapkan dan bekerja bersama menuju target keberlanjutan yang ambisius.
"Memahami bagaimana pemanfaatan ruang dan metrik kepadatan okupansi berdampak pada konsumsi energi dan air serta limbah menjadi semakin penting. Kepadatan okupansi yang lebih ketat biasanya berarti biaya dan konsumsi energi yang lebih rendah per orang. Skenario keberlanjutan di masa depan perlu mempertimbangkan pertukaran antara kepadatan dan efisiensi ini," tandasnya.
(ind)