Nah Lho! Gara-gara Kepergok, Sembako Batal Dipungut Pajak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo menanggapi terkait rencana pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% sembako yang saat ini sedang ramai diperbincangkan masyarakat. Menurutnya pengenaan pajak sembako baru sebatas rencana belum dimasukkan ke dalam draf revisi Rancangan Undang-Undang No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Ia pun tak memungkiri jika ada rencana memasukkan pasal tarif pajak sembako ke dalam draf revisi UU KUP. Namun karena bocor di tengah masyarakat dan memunculkan polemik akhirnya pasal tersebut dicabut. "Itu yang terjadi. Memang ada satu pasal yang di dalam draft itu mengatakan bahan kebutuhan pokok bukan lagi barang yang dikecualikan dari objek PPN," ungkap Yustinus dalam diskusi "Publik Teriak Sembako Dipajak" yang diselenggarakan MNC Trijaya FM, di Jakarta, Sabtu (12/6/2021).
Apalagi masalah sembako merupakan hal yang krusial bagi masyarakat, sehingga isunya berkembang menjadi liar seolah-olah pemerintah tidak memiliki rasa keadilan dan kepedulian terhadap kondisi masyarakat di tengah masa pandemi Covid-19. Ia menegaskan justru dengan RUU KUP saat ini, pemerintah mendesain satu RUU yang cukup komprehensif. "Isinya ada tentang pajak karbon, upaya menangkal penghindaran pajak yang sangat masif dilakukan, terutama oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Tapi yang terekspos ke publik dan mengundang kritik justru soal PPN sembako yang sebetulnya tidak secara eksplisit dibahas dalam RUU KUP," tandas dia.
Tidak hanya itu, dalam RUU KUP pemerintah juga mengusulkan kenaikan tarif PPh orang pribadi bagi orang kaya atau yang berpenghasilan tinggi supaya mampu membayar pajak lebih tinggi. Mengenai persoalan PPN sembako yang menjadi polemik, Yustinus menilai, ada distorsi informasi kepada masyarakat.
Dia mencontohkan, tak semua beras adalah barang murah, misalnya beras premium yang harganya bisa mencapai Rp50.000 per kilogram. Jelas beras dengan harga tersebut hanya mampu dibeli orang kaya, namun tidak dikenakan pajak sama seperti beras di pasar yang seharga Rp10.000 per kilogram.
"Ini ada distorsi, jadi pengecualian yang terlalu luas itu membuat kita gagal mengadminitrasikan dengan baik dan gagal mengajak yang mampu untuk berkontribusi membayar pajak. Ini yang sebenarnya ingin kita atasi," ungkap Yustinus.
Padahal dengan diatur dalam RUU KUP, lanjutnya, barang-barang yang termasuk kategori mahal atau premium bisa masuk ke sistem perpajakan yang lebih baik, yang lebih mudah diawasi dan diadministrasikan. "Apa langsung dikenai pajak? Belum tentu. Jadi apa yang jadi objek PPN ini tidak serta merta dikenai pajak. Seperti senjata yang dipakai TNI dan Polri itu kena pajak, tapi karena dianggap strategis, tidak dipungut pajaknya," jelas Yustinus.
Contoh lainnya, buku pelajaran dan agama termasuk barang strategis, dimana pajaknya tidak dipungut. Begitu pula barang hasil pertanian, yang saat ini dikenakan PPN 1 persen. "Jadi pemerintah menemukan distorsi, pemerintah ingin yang adil, maka diperbaiki. Maka disodori skema tarif, supaya tarif 10 persen yang berlaku pukul rata saat ini, tidak peduli daya beli konsumen, nantinya disediakan dalam konsep multi tarif," ungkap Yustinus.
Yustinus menjelaskan, bagi barang yang hanya bisa dikonsumsi kelompok atas, disediakan ruang bisa kena pajak antara 15 persen hingga 20 persen. Sementara Bagi barang yang dibutuhkan masyarakat banyak, yang kena 10 persen, susu formula misalnya, itu bisa diturunkan pajaknya menjadi 5 persen, begitu pula dengan barang-barang strategis lainnya yang diperlukan masyarakat luas, bisa bisa dikenakan PPN final antara 1-2 persen, atau bahkan nanti bisa dimasukkan untuk kategori PPN 0 persen alias tidak dipungut biaya. "Kira-kira demikian konstruksinya, untuk mencapai keadilan. Karena di pajak, kalau mau sederhana, tidak adil kalau pukul rata tarifnya, tapi kalau mau adil, memang harus rumit sedikit, jadi memang harus disampaikan detail ke publik," kata dia.
Ia pun tak memungkiri jika ada rencana memasukkan pasal tarif pajak sembako ke dalam draf revisi UU KUP. Namun karena bocor di tengah masyarakat dan memunculkan polemik akhirnya pasal tersebut dicabut. "Itu yang terjadi. Memang ada satu pasal yang di dalam draft itu mengatakan bahan kebutuhan pokok bukan lagi barang yang dikecualikan dari objek PPN," ungkap Yustinus dalam diskusi "Publik Teriak Sembako Dipajak" yang diselenggarakan MNC Trijaya FM, di Jakarta, Sabtu (12/6/2021).
Apalagi masalah sembako merupakan hal yang krusial bagi masyarakat, sehingga isunya berkembang menjadi liar seolah-olah pemerintah tidak memiliki rasa keadilan dan kepedulian terhadap kondisi masyarakat di tengah masa pandemi Covid-19. Ia menegaskan justru dengan RUU KUP saat ini, pemerintah mendesain satu RUU yang cukup komprehensif. "Isinya ada tentang pajak karbon, upaya menangkal penghindaran pajak yang sangat masif dilakukan, terutama oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Tapi yang terekspos ke publik dan mengundang kritik justru soal PPN sembako yang sebetulnya tidak secara eksplisit dibahas dalam RUU KUP," tandas dia.
Tidak hanya itu, dalam RUU KUP pemerintah juga mengusulkan kenaikan tarif PPh orang pribadi bagi orang kaya atau yang berpenghasilan tinggi supaya mampu membayar pajak lebih tinggi. Mengenai persoalan PPN sembako yang menjadi polemik, Yustinus menilai, ada distorsi informasi kepada masyarakat.
Dia mencontohkan, tak semua beras adalah barang murah, misalnya beras premium yang harganya bisa mencapai Rp50.000 per kilogram. Jelas beras dengan harga tersebut hanya mampu dibeli orang kaya, namun tidak dikenakan pajak sama seperti beras di pasar yang seharga Rp10.000 per kilogram.
"Ini ada distorsi, jadi pengecualian yang terlalu luas itu membuat kita gagal mengadminitrasikan dengan baik dan gagal mengajak yang mampu untuk berkontribusi membayar pajak. Ini yang sebenarnya ingin kita atasi," ungkap Yustinus.
Padahal dengan diatur dalam RUU KUP, lanjutnya, barang-barang yang termasuk kategori mahal atau premium bisa masuk ke sistem perpajakan yang lebih baik, yang lebih mudah diawasi dan diadministrasikan. "Apa langsung dikenai pajak? Belum tentu. Jadi apa yang jadi objek PPN ini tidak serta merta dikenai pajak. Seperti senjata yang dipakai TNI dan Polri itu kena pajak, tapi karena dianggap strategis, tidak dipungut pajaknya," jelas Yustinus.
Contoh lainnya, buku pelajaran dan agama termasuk barang strategis, dimana pajaknya tidak dipungut. Begitu pula barang hasil pertanian, yang saat ini dikenakan PPN 1 persen. "Jadi pemerintah menemukan distorsi, pemerintah ingin yang adil, maka diperbaiki. Maka disodori skema tarif, supaya tarif 10 persen yang berlaku pukul rata saat ini, tidak peduli daya beli konsumen, nantinya disediakan dalam konsep multi tarif," ungkap Yustinus.
Yustinus menjelaskan, bagi barang yang hanya bisa dikonsumsi kelompok atas, disediakan ruang bisa kena pajak antara 15 persen hingga 20 persen. Sementara Bagi barang yang dibutuhkan masyarakat banyak, yang kena 10 persen, susu formula misalnya, itu bisa diturunkan pajaknya menjadi 5 persen, begitu pula dengan barang-barang strategis lainnya yang diperlukan masyarakat luas, bisa bisa dikenakan PPN final antara 1-2 persen, atau bahkan nanti bisa dimasukkan untuk kategori PPN 0 persen alias tidak dipungut biaya. "Kira-kira demikian konstruksinya, untuk mencapai keadilan. Karena di pajak, kalau mau sederhana, tidak adil kalau pukul rata tarifnya, tapi kalau mau adil, memang harus rumit sedikit, jadi memang harus disampaikan detail ke publik," kata dia.
(nng)