Struktur Tarif Cukai yang Kompleks Jadi Celah Permainan Industri Rokok Besar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Struktur cukai rokok yang berlapis-lapis sehingga harga rokok tetap terjangkau dianggap sebagai kebijakan yang tidak pro terhadap kesehatan masyarakat. Pasalnya, struktur cukai itu dinilai membuat prevalensi perokok di Indonesia tergolong tinggi dan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Tak pelak, simplifikasi struktur tarif CHT perlu dilakukan secepatnya. Simplifikasi semakin relevan di tengah situasi pandemi, ketika negara membutuhkan dana yang lebih besar untuk program pemulihan ekonomi nasional.
“Penyederhanaan atau simplifikasi struktur tarif CHT secara bertahap akan mengurangi variasi harga rokok di pasaran, terutama yang harganya terlalu murah. Sehingga, ketika harga rokok naik, perokok tidak bisa dengan mudah berpindah ke rokok yang lebih murah, karena variasinya lebih sedikit,” ujar Direktur Kebijakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Olivia Herlinda, dalam keterangannya, Selasa (15/6/2021).
CISDI berharap, peta jalan simplifikasi yang pernah diimplementasikan oleh pemerintah pada 2018 dapat dijalankan kembali secara bertahap. Terlebih, simplifikasi juga sudah masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Baca juga: Fadli Zon Dukung Jenderal Andika Perkasa Jadi Panglima TNI
“Tahun ini waktu yang paling tepat bagi pemerintah untuk melakukan simplifikasi. Karena selain membantu pengendalian konsumsi, simplifikasi golongan juga diprediksi dapat meningkatkan penerimaan negara dari cukai yang juga diperlukan untuk pemulihan ekonomi,” ujarnya.
Olivia juga memaparkan bahwa kerumitan struktur tarif cukai justru membuka peluang pabrikan besar untuk melakukan penghindaran pajak dengan membayar tarif cukai yang lebih murah.
“Struktur tarif CHT yang rumit juga membuat pengawasan oleh Bea dan Cukai lebih sulit. Selain itu rumitnya struktur tarif memungkinkan perusahaan rokok besar untuk masuk di pasaran industri kecil dengan membuat segmentasi produk dengan merek berbeda dari jumlah produksi yang disesuaikan dengan batasan produksi di golongan tarif rendah. Akhirnya, hal ini menyebabkan perusahaan kecil semakin terpuruk juga,” katanya.
Senada dengan Olivia, Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) Aryana Satrya mengatakan, target penurunan prevalensi perokok di Indonesia belum optimal karena kebijakan untuk mengendalikan konsumsi rokok tidak dilakukan secara konsisten, signifikan, dan sinergis.
“Selain kenaikan CHT, harus diimbangi dengan kenaikan HJE dan penyederhanaan struktur tarif CHT,” ujar Aryana.
Tak pelak, simplifikasi struktur tarif CHT perlu dilakukan secepatnya. Simplifikasi semakin relevan di tengah situasi pandemi, ketika negara membutuhkan dana yang lebih besar untuk program pemulihan ekonomi nasional.
“Penyederhanaan atau simplifikasi struktur tarif CHT secara bertahap akan mengurangi variasi harga rokok di pasaran, terutama yang harganya terlalu murah. Sehingga, ketika harga rokok naik, perokok tidak bisa dengan mudah berpindah ke rokok yang lebih murah, karena variasinya lebih sedikit,” ujar Direktur Kebijakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Olivia Herlinda, dalam keterangannya, Selasa (15/6/2021).
CISDI berharap, peta jalan simplifikasi yang pernah diimplementasikan oleh pemerintah pada 2018 dapat dijalankan kembali secara bertahap. Terlebih, simplifikasi juga sudah masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Baca juga: Fadli Zon Dukung Jenderal Andika Perkasa Jadi Panglima TNI
“Tahun ini waktu yang paling tepat bagi pemerintah untuk melakukan simplifikasi. Karena selain membantu pengendalian konsumsi, simplifikasi golongan juga diprediksi dapat meningkatkan penerimaan negara dari cukai yang juga diperlukan untuk pemulihan ekonomi,” ujarnya.
Olivia juga memaparkan bahwa kerumitan struktur tarif cukai justru membuka peluang pabrikan besar untuk melakukan penghindaran pajak dengan membayar tarif cukai yang lebih murah.
“Struktur tarif CHT yang rumit juga membuat pengawasan oleh Bea dan Cukai lebih sulit. Selain itu rumitnya struktur tarif memungkinkan perusahaan rokok besar untuk masuk di pasaran industri kecil dengan membuat segmentasi produk dengan merek berbeda dari jumlah produksi yang disesuaikan dengan batasan produksi di golongan tarif rendah. Akhirnya, hal ini menyebabkan perusahaan kecil semakin terpuruk juga,” katanya.
Senada dengan Olivia, Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) Aryana Satrya mengatakan, target penurunan prevalensi perokok di Indonesia belum optimal karena kebijakan untuk mengendalikan konsumsi rokok tidak dilakukan secara konsisten, signifikan, dan sinergis.
“Selain kenaikan CHT, harus diimbangi dengan kenaikan HJE dan penyederhanaan struktur tarif CHT,” ujar Aryana.