Menakar Peluang Ritel Online di Masa PPKM Darurat

Sabtu, 03 Juli 2021 - 05:56 WIB
loading...
A A A
Menurut Alphonsus, survival mode tidak bisa hanya bertahan, melainkan juga harus berinovasi. Inovasi meliputi produk dan layanan. Dia mencontohkan, saat ini banyak produk yang di-bundling dengan mempertimbangkan kebiasaan baru akibat serangan virus korona.

Contohnya, kopi yang dijual dalam kemasan satu liter dianggap menjadi jawaban kebutuhan konsumen yang tidak bisa minum kopi di kafe karena kebijakan social ditancing. Ada pula industri garmen yang membuat pakaian nyaman untuk di rumah.

Frozen food juga menawarkan hal yang sama sehingga konsumen bisa menyetok kebutuhan makanan hariannya. Dari segi pelayanan, inovasi berarti memperluas pasar karena orang tidak lagi terpaku pada in store karena bisa membeli secara daring.

"Industri ritel di Indonesia harus mulai memanfaatkan AI dan big data sehingga tetap memiliki kedekatan emosi dengan konsumen tanpa harus bertatap muka secara langsung," ucapnya.

Namun, yang menjadi catatannya adalah aturan perundang-undangan Indonesia terhadap ritel daring dan luring yang dinilai pilih kasih. "Online itu kan relatif bebas pajak, bebas kewajiban macam-macam sehingga harga jual mereka bisa jauh lebih murah daripada offline," ungkapnya.

Alphonsus menekankan, tidak adanya aturan yang setara atau level playing field antara produk yang dijual online dan offline menjadi hal yang sangat merugikan bagi peritel offline. Kehadiran ritel daring pada dasarnya tantangan biasa yang harus dihadapi seiring perkembangan zaman. Karena itu, pascapandemi ritel luring harus mampu berinovasi untuk kembali menggaet pasar yang sempat tergerus.

Meski saat ini tren belanja daring tengah meningkat, menurut Alphonsus ritel luring masih memiliki nilai khusus bagi masyarakat, yang memang tetap membutuhkan interaksi sosial satu sama lain. Bagaimanapun, seseorang tidak akan bisa terus menerus bergantung penuh pada sistem daring.

Hal yang tepat agar peritel bisa bertahan di tengah masifnya laju tren daring yaitu dapat mengubah konsep mal bukan lagi fungsi utamanya sebagai pusat belanja (shopping), melainkan harus menyertakan fungsi lain. Di Singapura dan Hong Kong, misalnya, menjadikan mal sebagai hub koneksi dengan transportasi umum atau hunian.

"Tergantung kreativitas masing-masing pengelola mal untuk membuat fungsi baru, fungsi tambahan, sehingga masyarakat punya pilihan alternatif yang beda dari sekadar dunia maya," tuturnya.

Di lain pihak, ‎Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (IdEA) Bima Laga mengungkapkan, tren berbelanja online mengalami peningkatan karena tren masyarakat untuk membeli kebutuhan telah bergeser dari langsung membeli ke toko menjadi belanja daring.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2049 seconds (0.1#10.140)