Kelangkaan Pupuk Subsidi Selalu Disuarakan Petani, Kementan Bongkar Penyebabnya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Pertanian ( Kementan ) mengungkapkan penyebab utama kelangkaan pupuk bersubsidi yang selalu disuarakan para petani. Penyebab utama hal tersebut, adalah tidak sinkronnya alokasi anggaran dengan kebutuhan.
Hal ini diungkapkan Kepala Biro Perencanaan Kementerian Pertanian, Ketut Kariyasa dalam acara FGD-IPB tentang Transformasi Kebijakan Pupuk di Indonesia secara virtual, Kamis (15/7/2021).
"Dari sisi anggaran dari pupuk subsidi dibandingkan dari kebutuhan yang diusulkan petani memang ada kekurangan," kata dia.
Sebagai contoh, Ketut menjelaskan, pada tahun 2020 ada sekitar 13,9 juta petani yang mengusulkan kebutuhan pupuk dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Pada saat itu, kebutuhan yang diusulkan mencapai 26,2 juta ton.
Dari angka kebutuhan tersebut, alokasi anggaran yang ditetapkan pemerintah hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan sebesar 8,9 juta ton. Jika dilihat secara nominal, dari usulan anggaran yang mencapai Rp69,2 triliun hanya disepakati sebesar Rp29,7 triliun.
"Sehingga hanya sekitar 34,02% yang kita bisa alokasikan dari permintaan dari masing-masing kelompok tani," katanya.
Oleh karena itu, dirinya menilai isu kelangkaan pupuk subsidi yang sering disuarakan ke publik ini bukan karena masalah produktivitas industri pupuk. Sebab, produksi PT Pupuk Indonesia sendiri saat ini sekitar 13 juta ton per tahun.
"Apa poin yang bisa kita lihat, ketika kita bicara isu kelangkaan, sebenarnya poinnya itu bukan langka , karena memang alokasinya yang pupuk subsidi ini kurang. Beda antara langka karena kekurangan subsidinya, dia memang memang dari awal tidak sesuai, itu yang menyebabkan isu itu, bukan karena dia langka di lokasi, karena memang kemampuan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran pupuk bersubsidi tidak mencukupi," katanya.
Kelangkaan yang selama ini disuarakan oleh para petani bukan berasal dari produknya tidak tersedia, melainkan alokasi pupuk bersubsidi yang diterima para petani tidak sesuai dengan usulan kebutuhan yang terdapat dalam RDKK.
Hal senada diungkapkan oleh Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian UNILA, Bustanur Arifin. Dia bilang permasalahan isu pupuk bersubsidi langka dikarenakan data kebutuhan dalam RDKK masih belum optimal.
Untuk tahun 2021, dia menjelaskan terdapat gap atau kekurangan kebutuhan pupuk bersubsidi mencapai 15,2 juta ton. Hal itu berasal dari total usulan kebutuhan yang sebesar 24,3 juta ton dan pemerintah menetapkan alokasi sebesar 9,04 juta ton.
"Gap ini menurut saya sangat serius dan tidak pernah ada yang memperhatikan. Kalau ditarik ke belakang, bahkan persentase gapnya itu sampai 56%, 57%, 58%, sampai 66% tahun 2020," kata Bustanul.
Dengan kondisi seperti itu, Bustanul memastikan masalah isu kelangkaan pupuk bersubsidi akan terus terjadi. "Sampai kapanpun pupuk pasti langka, yang kelabakan adalah orang-orang penyuluh," ungkapnya.
Lihat Juga: Gerak Cepat Atasi Kekeringan, Kementan Sabet Penghargaan Komunikasi Publik Terbaik di AMH 2024
Hal ini diungkapkan Kepala Biro Perencanaan Kementerian Pertanian, Ketut Kariyasa dalam acara FGD-IPB tentang Transformasi Kebijakan Pupuk di Indonesia secara virtual, Kamis (15/7/2021).
"Dari sisi anggaran dari pupuk subsidi dibandingkan dari kebutuhan yang diusulkan petani memang ada kekurangan," kata dia.
Sebagai contoh, Ketut menjelaskan, pada tahun 2020 ada sekitar 13,9 juta petani yang mengusulkan kebutuhan pupuk dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Pada saat itu, kebutuhan yang diusulkan mencapai 26,2 juta ton.
Dari angka kebutuhan tersebut, alokasi anggaran yang ditetapkan pemerintah hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan sebesar 8,9 juta ton. Jika dilihat secara nominal, dari usulan anggaran yang mencapai Rp69,2 triliun hanya disepakati sebesar Rp29,7 triliun.
"Sehingga hanya sekitar 34,02% yang kita bisa alokasikan dari permintaan dari masing-masing kelompok tani," katanya.
Oleh karena itu, dirinya menilai isu kelangkaan pupuk subsidi yang sering disuarakan ke publik ini bukan karena masalah produktivitas industri pupuk. Sebab, produksi PT Pupuk Indonesia sendiri saat ini sekitar 13 juta ton per tahun.
"Apa poin yang bisa kita lihat, ketika kita bicara isu kelangkaan, sebenarnya poinnya itu bukan langka , karena memang alokasinya yang pupuk subsidi ini kurang. Beda antara langka karena kekurangan subsidinya, dia memang memang dari awal tidak sesuai, itu yang menyebabkan isu itu, bukan karena dia langka di lokasi, karena memang kemampuan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran pupuk bersubsidi tidak mencukupi," katanya.
Kelangkaan yang selama ini disuarakan oleh para petani bukan berasal dari produknya tidak tersedia, melainkan alokasi pupuk bersubsidi yang diterima para petani tidak sesuai dengan usulan kebutuhan yang terdapat dalam RDKK.
Hal senada diungkapkan oleh Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian UNILA, Bustanur Arifin. Dia bilang permasalahan isu pupuk bersubsidi langka dikarenakan data kebutuhan dalam RDKK masih belum optimal.
Untuk tahun 2021, dia menjelaskan terdapat gap atau kekurangan kebutuhan pupuk bersubsidi mencapai 15,2 juta ton. Hal itu berasal dari total usulan kebutuhan yang sebesar 24,3 juta ton dan pemerintah menetapkan alokasi sebesar 9,04 juta ton.
"Gap ini menurut saya sangat serius dan tidak pernah ada yang memperhatikan. Kalau ditarik ke belakang, bahkan persentase gapnya itu sampai 56%, 57%, 58%, sampai 66% tahun 2020," kata Bustanul.
Dengan kondisi seperti itu, Bustanul memastikan masalah isu kelangkaan pupuk bersubsidi akan terus terjadi. "Sampai kapanpun pupuk pasti langka, yang kelabakan adalah orang-orang penyuluh," ungkapnya.
Lihat Juga: Gerak Cepat Atasi Kekeringan, Kementan Sabet Penghargaan Komunikasi Publik Terbaik di AMH 2024
(akr)