Utamakan Pasar Produk Halal Dalam Negeri
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah berambisi menguasai pasar produk halal di dalam maupun luar negeri. Ini karena potensinya yang luar biasa besar sehingga harus dimanfaatkan untuk membangun ekosistem industri yang baik di dalam negeri.
Laporan Global Islamic Economic Indicator (GIEI) menyebutkan potensi pasar global produk halal pada tahun 2023 akan mencapai USD3 triliun. Jumlah itu tentunya menjadi kue yang legit untuk diperebutkan banyak negara, termasuk Indonesia. Apalagi, umat muslim di Indonesia mencapai 231 juta jiwa.
Besarnya populasi penduduk muslim yang mencapai 85% dari total penduduk Indonesia itu menjadikan modal pentingapabila digarap serius. Untuk itu, pengembangan industri halal menjadi keharusan agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar produk halal luar negeri.
Pertanyaannya, sudah siap dan mampukah Indonesia menjadi produsen utama bagi produk-produk halal?
Pemerintah sebenarnya gencar memacu industri nasional untuk memproduksi produk hal, baik untuk kebutuhan dalam maupun luar negeri. Bahkan, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan akan membuka seluas-luasnya investasi untuk produk halal. Di sisi pasar, Kemenperin melakukan kampanye masif tentang penggunaan produk halal.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, Indonesia saat ini belum optimal memanfaatkan ekonomi halal. Mengutip laporan GIEI, Agus menyatakan bahwa peranan Indonesia dalam percaturan ekonomi halal dunia baru menduduki peringkat 4.
Indonesia berada di bawah Malaysia, Saudia Arabia, dan Uni Emirat Arab. Politisi Partai Golkar itu mengungkapkan pihaknya menargetkan Indonesia menjadi negara dengan kontribusi ekonomi halal nomor wahid di dunia. Dia mengklaim produk halal besutan dalam negeri telah menguasai pasar Tanah Air.
“Nah, kalau berbicara untuk penguasaan produk luar negeri, saya memandang bahwa industri halal telah menjadi tren global dan berkembang menjadi salah satu bisnis global dengan pertumbuhan paling cepat di seluruh dunia. Hal tersebut seiring dengan semakin banyaknya negara yang menerima konsep halal sebagai salah satu faktor penentu mutu produk,” ujarnya kepada Koran SINDO, Senin (23/8).
Agus menjelaskan paradigma halal saat ini tidak lagi hanya berkaitan dengan umat muslim dalam konsumsi. Akan tetapi, produk halal bisa diperuntukan dan telah digunakan oleh orang-orang non-muslim. Untuk memenuhi kebutuhan dalam dan luar negeri, saat ini sudah ada tiga kawasan industri halal (KIH), yakni Modern Cikande Industrial Estate, Bintan Inti Industrial Estate, dan Kawasan Industri Halal Safe dan Lock Sidoardjo.
KIH tersebut didesain dengan sistem dan fasilitas untuk pengembangan produk halal yang sesuai syariah. Pemerintah, kata Agus, ke depan menargetkan jumlahnya akan bertambah sehingga terus didorong agar kawasan industri yang existing atau yang akan dikembangkan dapat mempertimbangkan dan bertransformasi menjadi KIH.
“Ini mengingat potensi dari ekonomi halal ini sangat besar,” paparnya.
Plt Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH) Mastuki mengatakan, lembaganya siap mendukung pengembangan produk halal di Tanah Air dengan menjadi ‘peran antara’ (intermediary role) yang dalam hal ini turut melaksanakan sertifikasi produk halal.
Menurut dia, ada banyak kementerian dan lembaga lain yang juga berperan mendorong Indonesia sebagai pusat produk halal dunia.
“Misalnya Kemenperin untuk industri halal, Kemendag orientasi ekspor produk halal, Kemenkop UKM menggarap koperasi dan UKM agar berstandar halal,” kata dia.
Selain itu, ucap Mastuki, ada juga Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), dan Bank Indonesia (BI) yang berkontribusi dengan kewenangan masing-masing. Yang tak ketinggalan adalah adanya lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang bisa menyediakan hasil-hasil penelitian mulai dari bahan sediaan halal, pengembangan produk halal, dan lainnya.
Lebih lanjut, kata dia, harus ada sinergi dari hulu ke hilir agar mewujudkan agar Indonesia bisa menjadi pusat halal dunia. Sinergi ini harus dilakukan bersama tanpa terkecuali, termasuk pelaku usaha.
“KNEKS misalnya, sebagai lembaga yang mengkordinasi beberapa kementerian kerap melakukan sinergi-sinergi ini, termasuk dengan pelaku usaha, perbankan dan lembaga keuangan, dunia industri, dan sebagainya,” ungkapnya.
Untuk di sektor hilir, sinergi yang dilakukan termasuk pasar, promosi produk, pameran, pelatihan-pelatihan UMK digarap berbagai pihak. Sedangkan untuk di hulu yang dilakukan dengan penyediaan bahan halal dengan baik serta sertifikasi halal akan lebih mudah dan cepat.
“Begitu juga akan mendorong proses di hulu lebih maksimal, misalnya ekspor produk halal,” tegasnya.
Dalam mendukung industri halal di Indonesia, BPJPH memiliki tanggung jawab dan peran untuk sertifikasi halal dan kerja sama dengan lembaga halal luar negeri. Kemudian, juga dilakukan pembinaan, edukasi, dan literasi halal kepada pelaku usaha dan industri.
Untuk melindungi pasar halal Indonesia dari produk halal asing kata Mastuki sudah diatur dalam PP Nomor 39 tahun 2021 PP 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal. Produk yang bisa dikerjasamakan dan diterima sertifikat halalnya terbatas pada bahan baku, bahan tambahan (additive) dan bahan penolong (processing aid) plus hasil sembelihan. “Sementara produk jadi dari luar negeri harus disertifikasi melalui BPJPH dan diaudit oleh LPH,” ungkapnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi syariah dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Irfan Syauqi mengatakan, masih banyak pelaku usaha Indonesia yang belum menganggap industri halal sebagai peluang bisnis penting.
"Ini dikarenakan sikap mendasar dari pelaku usaha yang belum memiliki budaya awareness terhadap produk halal, padahal kenyataannya sekarang industri halal sedang menjadi tren global di dunia," katanya.
Selain itu, Irfan juga melihat kurangnya perhatian pemerintah dalam memberikan fasilitas bagaimana industri halal tumbuh dan berkembang juga menjadi faktor pendorong produk halal dari luar negeri. Hal ini terbukti, dengan belum efektifnya penerapan di lapangan mengenai Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang telah diundangkan pada 2014.
"Padahal lahirnya UU JPH diharapkan sebagai payung hukum dari semua regulasi halal. Ini yang kemudian juga berpengaruh pada tertinggalnya industri halal Indonesia dibandingkan dengan negara lain," ujar Irfan.
Selain itu, meski Indonesia memiliki potensi yang besar dalam mengembangkan produk halal, terutama makanan halal, namun potensi tersebut belum tergarap secara maksimal.
"Di dunia, Indonesia adalah konsumen produk halal nomor satu. Tapi sayangnya, kita berada di posisi 10 untuk peringkat produsen produk halal. Negara-negara yang mengekspor produk halal sebenarnya dikuasai oleh negara-negara dengan mayoritas non-muslim," tuturnya.
Laporan Global Islamic Economic Indicator (GIEI) menyebutkan potensi pasar global produk halal pada tahun 2023 akan mencapai USD3 triliun. Jumlah itu tentunya menjadi kue yang legit untuk diperebutkan banyak negara, termasuk Indonesia. Apalagi, umat muslim di Indonesia mencapai 231 juta jiwa.
Besarnya populasi penduduk muslim yang mencapai 85% dari total penduduk Indonesia itu menjadikan modal pentingapabila digarap serius. Untuk itu, pengembangan industri halal menjadi keharusan agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar produk halal luar negeri.
Pertanyaannya, sudah siap dan mampukah Indonesia menjadi produsen utama bagi produk-produk halal?
Pemerintah sebenarnya gencar memacu industri nasional untuk memproduksi produk hal, baik untuk kebutuhan dalam maupun luar negeri. Bahkan, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan akan membuka seluas-luasnya investasi untuk produk halal. Di sisi pasar, Kemenperin melakukan kampanye masif tentang penggunaan produk halal.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, Indonesia saat ini belum optimal memanfaatkan ekonomi halal. Mengutip laporan GIEI, Agus menyatakan bahwa peranan Indonesia dalam percaturan ekonomi halal dunia baru menduduki peringkat 4.
Indonesia berada di bawah Malaysia, Saudia Arabia, dan Uni Emirat Arab. Politisi Partai Golkar itu mengungkapkan pihaknya menargetkan Indonesia menjadi negara dengan kontribusi ekonomi halal nomor wahid di dunia. Dia mengklaim produk halal besutan dalam negeri telah menguasai pasar Tanah Air.
“Nah, kalau berbicara untuk penguasaan produk luar negeri, saya memandang bahwa industri halal telah menjadi tren global dan berkembang menjadi salah satu bisnis global dengan pertumbuhan paling cepat di seluruh dunia. Hal tersebut seiring dengan semakin banyaknya negara yang menerima konsep halal sebagai salah satu faktor penentu mutu produk,” ujarnya kepada Koran SINDO, Senin (23/8).
Agus menjelaskan paradigma halal saat ini tidak lagi hanya berkaitan dengan umat muslim dalam konsumsi. Akan tetapi, produk halal bisa diperuntukan dan telah digunakan oleh orang-orang non-muslim. Untuk memenuhi kebutuhan dalam dan luar negeri, saat ini sudah ada tiga kawasan industri halal (KIH), yakni Modern Cikande Industrial Estate, Bintan Inti Industrial Estate, dan Kawasan Industri Halal Safe dan Lock Sidoardjo.
KIH tersebut didesain dengan sistem dan fasilitas untuk pengembangan produk halal yang sesuai syariah. Pemerintah, kata Agus, ke depan menargetkan jumlahnya akan bertambah sehingga terus didorong agar kawasan industri yang existing atau yang akan dikembangkan dapat mempertimbangkan dan bertransformasi menjadi KIH.
“Ini mengingat potensi dari ekonomi halal ini sangat besar,” paparnya.
Plt Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH) Mastuki mengatakan, lembaganya siap mendukung pengembangan produk halal di Tanah Air dengan menjadi ‘peran antara’ (intermediary role) yang dalam hal ini turut melaksanakan sertifikasi produk halal.
Menurut dia, ada banyak kementerian dan lembaga lain yang juga berperan mendorong Indonesia sebagai pusat produk halal dunia.
“Misalnya Kemenperin untuk industri halal, Kemendag orientasi ekspor produk halal, Kemenkop UKM menggarap koperasi dan UKM agar berstandar halal,” kata dia.
Selain itu, ucap Mastuki, ada juga Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), dan Bank Indonesia (BI) yang berkontribusi dengan kewenangan masing-masing. Yang tak ketinggalan adalah adanya lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang bisa menyediakan hasil-hasil penelitian mulai dari bahan sediaan halal, pengembangan produk halal, dan lainnya.
Lebih lanjut, kata dia, harus ada sinergi dari hulu ke hilir agar mewujudkan agar Indonesia bisa menjadi pusat halal dunia. Sinergi ini harus dilakukan bersama tanpa terkecuali, termasuk pelaku usaha.
“KNEKS misalnya, sebagai lembaga yang mengkordinasi beberapa kementerian kerap melakukan sinergi-sinergi ini, termasuk dengan pelaku usaha, perbankan dan lembaga keuangan, dunia industri, dan sebagainya,” ungkapnya.
Untuk di sektor hilir, sinergi yang dilakukan termasuk pasar, promosi produk, pameran, pelatihan-pelatihan UMK digarap berbagai pihak. Sedangkan untuk di hulu yang dilakukan dengan penyediaan bahan halal dengan baik serta sertifikasi halal akan lebih mudah dan cepat.
“Begitu juga akan mendorong proses di hulu lebih maksimal, misalnya ekspor produk halal,” tegasnya.
Dalam mendukung industri halal di Indonesia, BPJPH memiliki tanggung jawab dan peran untuk sertifikasi halal dan kerja sama dengan lembaga halal luar negeri. Kemudian, juga dilakukan pembinaan, edukasi, dan literasi halal kepada pelaku usaha dan industri.
Untuk melindungi pasar halal Indonesia dari produk halal asing kata Mastuki sudah diatur dalam PP Nomor 39 tahun 2021 PP 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal. Produk yang bisa dikerjasamakan dan diterima sertifikat halalnya terbatas pada bahan baku, bahan tambahan (additive) dan bahan penolong (processing aid) plus hasil sembelihan. “Sementara produk jadi dari luar negeri harus disertifikasi melalui BPJPH dan diaudit oleh LPH,” ungkapnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi syariah dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Irfan Syauqi mengatakan, masih banyak pelaku usaha Indonesia yang belum menganggap industri halal sebagai peluang bisnis penting.
"Ini dikarenakan sikap mendasar dari pelaku usaha yang belum memiliki budaya awareness terhadap produk halal, padahal kenyataannya sekarang industri halal sedang menjadi tren global di dunia," katanya.
Selain itu, Irfan juga melihat kurangnya perhatian pemerintah dalam memberikan fasilitas bagaimana industri halal tumbuh dan berkembang juga menjadi faktor pendorong produk halal dari luar negeri. Hal ini terbukti, dengan belum efektifnya penerapan di lapangan mengenai Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang telah diundangkan pada 2014.
"Padahal lahirnya UU JPH diharapkan sebagai payung hukum dari semua regulasi halal. Ini yang kemudian juga berpengaruh pada tertinggalnya industri halal Indonesia dibandingkan dengan negara lain," ujar Irfan.
Selain itu, meski Indonesia memiliki potensi yang besar dalam mengembangkan produk halal, terutama makanan halal, namun potensi tersebut belum tergarap secara maksimal.
"Di dunia, Indonesia adalah konsumen produk halal nomor satu. Tapi sayangnya, kita berada di posisi 10 untuk peringkat produsen produk halal. Negara-negara yang mengekspor produk halal sebenarnya dikuasai oleh negara-negara dengan mayoritas non-muslim," tuturnya.
(ynt)