Bukan Soal Haus Kekuasaan, Erick Thohir Terangkan Perlunya Perbaikan UU BUMN
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri BUMN, Erick Thohir menegaskan, revisi Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003 perihal BUMN tidak semata-mata menambah kekuasaan Kementerian BUMN . Namun, regulasi tersebut memberikan peran dan ruang lebih luas bagi pemegang saham untuk memaksimalkan pengawalan terhadap kinerja perseroan negara.
Pengawalan yang dimaksud berupa restrukturisasi, pembubaran, merger (penggabungan), injeksi Penyertaan Modal Negara (PMN) atau pendanaan, utang, kepemilikan saham, dividen, pajak, hingga poin yang dinilai substansial yang berkaitan dengan kinerja BUMN.
Erick mencatat, perlu peta atau penjelasan detail perihal poin-poin tersebut. Dan itu hanya dimungkinkan lewat pembaharuan regulasi yang memungkinkan BUMN lebih baik ke depannya.
"Ini saya rasa di rencana revisi UU BUMN itu perlu mendapat penekan dan power lebih untuk kami melakukan, tidak semata-mata menambah kekuasaan tetapi disinilah justru yang ditekankan tadi, tidak lain, kami juga menjadi pressure yang baik para direksi kami," ujar Erick dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR, kemarin.
Di hadapan Komisi VI DPR, Erick menegaskan, peran Kementerian BUMN perlu ditingkatkan dan menjadi bagian dari kepercayaan untuk mengelola perusahaan. Bahkan, regulasi juga meniscayakan peran legislatif yang diwakili Komisi VI dalam memperkuat pengawasannya terhadap perseroan negara.
"Inilah salah satu inisiasi atau legacy yang kita harapkan. Kenapa? Karena di situ jelas, apakah kita bicarakan yang namanya PMN, utang, kepemilikan itu memang tidak lain justru di Undang-Undang BUMN justru ini harus diperbaiki," katanya.
Erick memberi contoh, untuk menjalankan program restrukturisasi, pemegang saham memerlukan waktu hingga 9 bulan lamanya. Padahal, di sisi lain dinamika bisnis saat didasarkan pada kekuatan digital, menuntut perusahaan secepatnya melakukan penyesuaian bisnis.
Artinya, waktu 9 bulan cukup lama hanya dengan memfokuskan diri pada satu program saja. Sementara, dalam pasar terbuka, perusahaan swasta justru masih melakukan invasi bisnisnya.
"Contohnya saja, pertanyaan dari para anggota dewan, 'kok nutup saja, kok lama sekali?' Merestrukturisasi aja kita butuh waktu 9 bulan. Yang akhirnya di era sekarang digitalisasi seperti ini, yang dimana, dinamika berusaha itu terjadi percepatan yang luar biasa, ketika kemarin perusahaan untung, besok saja bisa rugi langsung, karena digitalisasi ini sangat membuka pasar secara terbuka," katanya.
Karena itu, untuk menjadi pemenang di pasar terbuka, kanjut Erick, diperlukan perbaikan regulasi. Karena aturan juga yang menjadi dasar dari perbaikan kinerja BUMN.
"Jadi, saya rasa kunci daripada UU BUMN ini menjadi penting karena keturunannya di situ ada PMN, dan juga kinerja dari perusahaan yang bisa kita lakukan, apakah restrukturisasi, di merger, atau diperkuat untuk menjadi champion," ungkap dia.
Pengawalan yang dimaksud berupa restrukturisasi, pembubaran, merger (penggabungan), injeksi Penyertaan Modal Negara (PMN) atau pendanaan, utang, kepemilikan saham, dividen, pajak, hingga poin yang dinilai substansial yang berkaitan dengan kinerja BUMN.
Erick mencatat, perlu peta atau penjelasan detail perihal poin-poin tersebut. Dan itu hanya dimungkinkan lewat pembaharuan regulasi yang memungkinkan BUMN lebih baik ke depannya.
"Ini saya rasa di rencana revisi UU BUMN itu perlu mendapat penekan dan power lebih untuk kami melakukan, tidak semata-mata menambah kekuasaan tetapi disinilah justru yang ditekankan tadi, tidak lain, kami juga menjadi pressure yang baik para direksi kami," ujar Erick dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR, kemarin.
Di hadapan Komisi VI DPR, Erick menegaskan, peran Kementerian BUMN perlu ditingkatkan dan menjadi bagian dari kepercayaan untuk mengelola perusahaan. Bahkan, regulasi juga meniscayakan peran legislatif yang diwakili Komisi VI dalam memperkuat pengawasannya terhadap perseroan negara.
"Inilah salah satu inisiasi atau legacy yang kita harapkan. Kenapa? Karena di situ jelas, apakah kita bicarakan yang namanya PMN, utang, kepemilikan itu memang tidak lain justru di Undang-Undang BUMN justru ini harus diperbaiki," katanya.
Erick memberi contoh, untuk menjalankan program restrukturisasi, pemegang saham memerlukan waktu hingga 9 bulan lamanya. Padahal, di sisi lain dinamika bisnis saat didasarkan pada kekuatan digital, menuntut perusahaan secepatnya melakukan penyesuaian bisnis.
Artinya, waktu 9 bulan cukup lama hanya dengan memfokuskan diri pada satu program saja. Sementara, dalam pasar terbuka, perusahaan swasta justru masih melakukan invasi bisnisnya.
"Contohnya saja, pertanyaan dari para anggota dewan, 'kok nutup saja, kok lama sekali?' Merestrukturisasi aja kita butuh waktu 9 bulan. Yang akhirnya di era sekarang digitalisasi seperti ini, yang dimana, dinamika berusaha itu terjadi percepatan yang luar biasa, ketika kemarin perusahaan untung, besok saja bisa rugi langsung, karena digitalisasi ini sangat membuka pasar secara terbuka," katanya.
Karena itu, untuk menjadi pemenang di pasar terbuka, kanjut Erick, diperlukan perbaikan regulasi. Karena aturan juga yang menjadi dasar dari perbaikan kinerja BUMN.
"Jadi, saya rasa kunci daripada UU BUMN ini menjadi penting karena keturunannya di situ ada PMN, dan juga kinerja dari perusahaan yang bisa kita lakukan, apakah restrukturisasi, di merger, atau diperkuat untuk menjadi champion," ungkap dia.
(akr)