Proyek Industri Jadi Tempat Pengembangan Kompetensi SDM Vokasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Industri berperan besar bagi pengembangan kompetensi sumber daya manusia vokasi. Semakin banyak proyek industri yang melibatkan SDM vokasi, maka akan semakin banyak SDM vokasi yang memiliki kesempatan mengembangkan kompetensinya.
Presiden EURO-PRO (European Association of Higher Education Professionals) Urs Keller mengatakan, kesuksesan sistem pendidikan vokasi di Swiss tercipta berkat kerja sama antara institusi pendidikan, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan asosiasi industri.
Angka pengangguran lulusan perguruan tinggi vokasi menjadi yang terendah dibanding lulusan sekolah lain di Swiss, termasuk universitas, yaitu 45%.
“Insan vokasi kami juga jadi yang paling diminta dan paling memenuhi persyaratan dunia industri. Mereka mendapatkan gaji yang serupa dengan orang-orang akademik, tapi mereka justru paling banyak dilibatkan dalam proyek-proyek di industri,” kata dia dalam keterangannya, Jumat (15/10/2021).
Menurutnya, satu dari sekian cara memperkuat kerja sama antara perguruan tinggi vokasi dengan industri adalah pengembangan SDM. Perguruan tinggi vokasi harus mampu berorientasi pada industri. Artinya, mahasiswa vokasi tidak hanya belajar teori di kelas, tapi juga perlu belajar praktik di perusahaan.
Penyerapan oleh industri juga berarti menjadi sarana pengembangan SDM vokasi karena mereka langsung terjun menyentuh peralatan dan teknologi yang digunakan di industri. Urs Keller mencontohkan beberapa proyek industri perusahaan-perusahaan di Swiss yang melibatkan siswa sekolah vokasi dan dampaknya.
Contoh proyeknya adalah pembangkit listrik di Pegunungan Alpen dan Kuala Langat, Malaysia oleh Alstom Switzerland AG. Di sini siswa vokasi yang terlibat memiliki kompetensi.
Pengembangan perencanaan proyek sistem dan pelayanan teknologi energi, uji laboratorium dan lapangan, komisioning, serta jasa pelayanan, penjualan, dan pembelian produk-produk elektronik.
Pada proyek tersebut siswa vokasi membuat konsep, perencanaan ulang, serta meningkatkan efektivitas pembangkit listrik. Hasilnya, terjadi peningkatan performa turbin gas, peningkatan energi yang dihasilkan menjadi 11% dan 20%.
“Mereka terdiri dari kelompok yang terdiri dari dua sampai empat siswa, kerja selama 1.000 jam kerja, upahnya 100 euro per jam. Kelihatannya itu investasi yang besar, tapi hasilnya kurang dari setahun pembangkit listrik tersebut meningkat seperti yang ditunjukkan di sini,” tutur Keller.
Contoh proyek lain terkait dengan transportasi publik trem di Zurich, Swiss. Terdapat kasus banyak roda trem yang aus sehingga menimbulkan getaran yang mengganggu. Siswa vokasi yang terlibat kemudian membuat dan memasang alat untuk mendeteksi getaran.
Alat tersebut akan mendeteksi getaran lalu pihak pengelola trem akan segera mengganti roda supaya trem bisa dioperasikan kembali. “Ada empat siswa vokasi yang terlibat dalam proyek ini dan mereka merasa bangga mepresentasikan ini ke klien, yaitu asosiasi transportasi public Zurich,” tuturnya.
Kualitas mahasiswa juga akan sangat dipengaruhi tenaga pengajar, yaitu dosen. Menurut Keller dosen-dosen vokasi harus memiliki pengalaman praktik di industri sesuai mata perkuliahan yang mereka ampu.
“Dosen harus memiliki pengalaman bertahun-tahun di ranah yang mereka ajarkan. Manajemen perguruan tinggi vokasi dan dosen harus berbicara bahasa industri dan memahaminya,” ujar dia.
Pengalaman praktik di industri juga bisa dilakukan selama dosen menjalankan tugas mengajar, misalnya bekerja paruh waktu di industri dan magang. Perguruan tinggi vokasi dan industri akan saling mendapatkan manfaat dari memberikan kesempatan magang kepada dosen atau mahasiswa vokasi.
Dari pihak perguruan tinggi, mahasiswa akan mudah terserap oleh industri dan dosen bisa mendapatkan pengalaman untuk mereka ajarkan.
“Sedangkan bagi perusahaan, mereka akan mendapatkan tenaga kerja yang memenuhi kualifikasi praktis yang tinggi. Mereka juga akan lebih mudah dalam melakukan perekrutan karyawan. Secara bisnis, memperkerjakan tenaga kerja berkualitas akan membantu mereka mencapai profit yang luar biasa,” kata Keller.
Segenap pemangku kepentingan juga harus memberikan perhatian terhadap durasi magang insan vokasi di industri. Waktu tiga bulan jauh dari kata cukup untuk menghasilkan insan vokasi yang berkualitas dan memenuhi persyaratan industri.
“Jika saya lihat situasi di Indonesia, mungkin itu sedikit berlebihan. Mungkin kalian harus mencari solusi terbaik dan meminta direktur jenderal pendidikan vokasi untuk berkolaborasi dengan perusahaan. Menurut saya waktu magang tiga bulan itu tidak cukup, saya menyarankan satu tahun,” ujar Keller.
“Solusinya dosen mengajar 50% di kampus dan menyambi bekerja di perusahaan, sehingga dia akan sambil belajar apa yang akan dia ajarkan,” tambah Keller.
Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendibudristek, Wikan Sakarinto mengatakan, saat ini institusi pendidikan tidak boleh hanya fokus pada kemampuan teknis atau hard skill. Institusi pendidikan vokasi juga harus memberikan perhatian pada soft skill dan karakter.
Menurut Wikan, institusi pendidikan vokasi harus bisa menghasilkan insan vokasi yang memiliki karakter kuat, soft skill kuat, dan hard skill yang kuat. “Ini konsep yang harus kita tanamkan. Soft skill dan hard skill harus dimiliki insan vokasi secara seimbang. Kompetensi diciptakan oleh karakter, soft skill, dan hard skill,” ujar Wikan.
Dunia vokasi Indonesia akan menghadapi banyak tantangan di masa depan, terutama dalam kaitannya dengan industri. Karena itu, Wikan meyakini kerja sama internasional menjadi aspek yang penting bagi Indonesia dalam menjawab tantangan-tantangan tersebut.
Presiden EURO-PRO (European Association of Higher Education Professionals) Urs Keller mengatakan, kesuksesan sistem pendidikan vokasi di Swiss tercipta berkat kerja sama antara institusi pendidikan, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan asosiasi industri.
Angka pengangguran lulusan perguruan tinggi vokasi menjadi yang terendah dibanding lulusan sekolah lain di Swiss, termasuk universitas, yaitu 45%.
“Insan vokasi kami juga jadi yang paling diminta dan paling memenuhi persyaratan dunia industri. Mereka mendapatkan gaji yang serupa dengan orang-orang akademik, tapi mereka justru paling banyak dilibatkan dalam proyek-proyek di industri,” kata dia dalam keterangannya, Jumat (15/10/2021).
Menurutnya, satu dari sekian cara memperkuat kerja sama antara perguruan tinggi vokasi dengan industri adalah pengembangan SDM. Perguruan tinggi vokasi harus mampu berorientasi pada industri. Artinya, mahasiswa vokasi tidak hanya belajar teori di kelas, tapi juga perlu belajar praktik di perusahaan.
Penyerapan oleh industri juga berarti menjadi sarana pengembangan SDM vokasi karena mereka langsung terjun menyentuh peralatan dan teknologi yang digunakan di industri. Urs Keller mencontohkan beberapa proyek industri perusahaan-perusahaan di Swiss yang melibatkan siswa sekolah vokasi dan dampaknya.
Contoh proyeknya adalah pembangkit listrik di Pegunungan Alpen dan Kuala Langat, Malaysia oleh Alstom Switzerland AG. Di sini siswa vokasi yang terlibat memiliki kompetensi.
Pengembangan perencanaan proyek sistem dan pelayanan teknologi energi, uji laboratorium dan lapangan, komisioning, serta jasa pelayanan, penjualan, dan pembelian produk-produk elektronik.
Pada proyek tersebut siswa vokasi membuat konsep, perencanaan ulang, serta meningkatkan efektivitas pembangkit listrik. Hasilnya, terjadi peningkatan performa turbin gas, peningkatan energi yang dihasilkan menjadi 11% dan 20%.
“Mereka terdiri dari kelompok yang terdiri dari dua sampai empat siswa, kerja selama 1.000 jam kerja, upahnya 100 euro per jam. Kelihatannya itu investasi yang besar, tapi hasilnya kurang dari setahun pembangkit listrik tersebut meningkat seperti yang ditunjukkan di sini,” tutur Keller.
Contoh proyek lain terkait dengan transportasi publik trem di Zurich, Swiss. Terdapat kasus banyak roda trem yang aus sehingga menimbulkan getaran yang mengganggu. Siswa vokasi yang terlibat kemudian membuat dan memasang alat untuk mendeteksi getaran.
Alat tersebut akan mendeteksi getaran lalu pihak pengelola trem akan segera mengganti roda supaya trem bisa dioperasikan kembali. “Ada empat siswa vokasi yang terlibat dalam proyek ini dan mereka merasa bangga mepresentasikan ini ke klien, yaitu asosiasi transportasi public Zurich,” tuturnya.
Kualitas mahasiswa juga akan sangat dipengaruhi tenaga pengajar, yaitu dosen. Menurut Keller dosen-dosen vokasi harus memiliki pengalaman praktik di industri sesuai mata perkuliahan yang mereka ampu.
“Dosen harus memiliki pengalaman bertahun-tahun di ranah yang mereka ajarkan. Manajemen perguruan tinggi vokasi dan dosen harus berbicara bahasa industri dan memahaminya,” ujar dia.
Pengalaman praktik di industri juga bisa dilakukan selama dosen menjalankan tugas mengajar, misalnya bekerja paruh waktu di industri dan magang. Perguruan tinggi vokasi dan industri akan saling mendapatkan manfaat dari memberikan kesempatan magang kepada dosen atau mahasiswa vokasi.
Dari pihak perguruan tinggi, mahasiswa akan mudah terserap oleh industri dan dosen bisa mendapatkan pengalaman untuk mereka ajarkan.
“Sedangkan bagi perusahaan, mereka akan mendapatkan tenaga kerja yang memenuhi kualifikasi praktis yang tinggi. Mereka juga akan lebih mudah dalam melakukan perekrutan karyawan. Secara bisnis, memperkerjakan tenaga kerja berkualitas akan membantu mereka mencapai profit yang luar biasa,” kata Keller.
Segenap pemangku kepentingan juga harus memberikan perhatian terhadap durasi magang insan vokasi di industri. Waktu tiga bulan jauh dari kata cukup untuk menghasilkan insan vokasi yang berkualitas dan memenuhi persyaratan industri.
“Jika saya lihat situasi di Indonesia, mungkin itu sedikit berlebihan. Mungkin kalian harus mencari solusi terbaik dan meminta direktur jenderal pendidikan vokasi untuk berkolaborasi dengan perusahaan. Menurut saya waktu magang tiga bulan itu tidak cukup, saya menyarankan satu tahun,” ujar Keller.
“Solusinya dosen mengajar 50% di kampus dan menyambi bekerja di perusahaan, sehingga dia akan sambil belajar apa yang akan dia ajarkan,” tambah Keller.
Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendibudristek, Wikan Sakarinto mengatakan, saat ini institusi pendidikan tidak boleh hanya fokus pada kemampuan teknis atau hard skill. Institusi pendidikan vokasi juga harus memberikan perhatian pada soft skill dan karakter.
Menurut Wikan, institusi pendidikan vokasi harus bisa menghasilkan insan vokasi yang memiliki karakter kuat, soft skill kuat, dan hard skill yang kuat. “Ini konsep yang harus kita tanamkan. Soft skill dan hard skill harus dimiliki insan vokasi secara seimbang. Kompetensi diciptakan oleh karakter, soft skill, dan hard skill,” ujar Wikan.
Dunia vokasi Indonesia akan menghadapi banyak tantangan di masa depan, terutama dalam kaitannya dengan industri. Karena itu, Wikan meyakini kerja sama internasional menjadi aspek yang penting bagi Indonesia dalam menjawab tantangan-tantangan tersebut.
(akr)