Penerapan Pajak Digital Ciptakan Keadilan bagi Persaingan Usaha
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penerapan pajak digital secara menyeluruh, diharapkan akan menciptakan keadilan bagi persaingan usaha. Salah satu fokus forum G20 yang akan terus dilanjutkan pada Presidensi Indonesia di G20 tahun 2022 adalah meningkatkan kerja sama pemulihan ekonomi guna mewujudkan tata kelola ekonomi dunia yang lebih kuat, inklusif, berkelanjutan.
Hal itu dilakukan di antaranya melalui reformasi sistem perpajakan internasional yang lebih adil. Reformasi sistem perpajakan internasional yang adil dilakukan dengan pengalokasian hak pemajakan secara adil ke negara yang cenderung menjadi pasar produk barang dan jasa digital (“negara pasar”) yang dikenal dengan Pilar 1.
Kemudian kepastian bahwa semua perusahaan multinasional (multinational enterprise /MNE) membayar pajak minimum di semua tempat MNE tersebut beroperasi atau yang disebut dengan Pilar 2.
(Baca juga:Negara Sudah Kantongi Rp2,2 Triliun dari Pajak Digital)
Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Mekar Satria Utama mengatakan pada waktu penutupan KTT G20 di Italia, 137 negara anggota G20 telah menyetujui Solusi Dua Pilar untuk mengatasi tantangan perpajakan di ekonomi digital.
“Pilar 1 adalah kesepakatan mengenai penerapan pajak digital. Sedangkan Pilar 2 dikenal dengan sebutan Global anti-Base Erosion (GLoBE) rules,” kata Mekar Satria Utama dalam diskusi virtual Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) bertema KTT G20: Kejelasan Arah Pajak Global untuk Indonesia, Senin (15/11/2021).
(Baca juga:Harapan Sri Mulyani: Joe Biden Mau Diajak Rembukan Pajak Digital)
Mekar menjelaskan, pembahasan mengenai kesepakatan pajak internasional di G20 telah lama dilakukan. Kemudian ada beberapa revisi dari draft pilar 1 dan pilar 2, dan ini juga telah disepakati di bulan Oktober 2021.
“Hingga pada waktu ketika penutupan KTT G20 di Italia, kurang lebih 137 negara sepakat untuk menyetujui Pilar 1 dan pilar 2,” kata Mekar.
Pemerintah Indonesia, kata Mekar, telah mengantisipasi akan keberadaan perpajakan baru ini. Secara kebetulan Indonesia saat itu sedang membahas undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang sekarang telah menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021.
Hal itu dilakukan di antaranya melalui reformasi sistem perpajakan internasional yang lebih adil. Reformasi sistem perpajakan internasional yang adil dilakukan dengan pengalokasian hak pemajakan secara adil ke negara yang cenderung menjadi pasar produk barang dan jasa digital (“negara pasar”) yang dikenal dengan Pilar 1.
Kemudian kepastian bahwa semua perusahaan multinasional (multinational enterprise /MNE) membayar pajak minimum di semua tempat MNE tersebut beroperasi atau yang disebut dengan Pilar 2.
(Baca juga:Negara Sudah Kantongi Rp2,2 Triliun dari Pajak Digital)
Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Mekar Satria Utama mengatakan pada waktu penutupan KTT G20 di Italia, 137 negara anggota G20 telah menyetujui Solusi Dua Pilar untuk mengatasi tantangan perpajakan di ekonomi digital.
“Pilar 1 adalah kesepakatan mengenai penerapan pajak digital. Sedangkan Pilar 2 dikenal dengan sebutan Global anti-Base Erosion (GLoBE) rules,” kata Mekar Satria Utama dalam diskusi virtual Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) bertema KTT G20: Kejelasan Arah Pajak Global untuk Indonesia, Senin (15/11/2021).
(Baca juga:Harapan Sri Mulyani: Joe Biden Mau Diajak Rembukan Pajak Digital)
Mekar menjelaskan, pembahasan mengenai kesepakatan pajak internasional di G20 telah lama dilakukan. Kemudian ada beberapa revisi dari draft pilar 1 dan pilar 2, dan ini juga telah disepakati di bulan Oktober 2021.
“Hingga pada waktu ketika penutupan KTT G20 di Italia, kurang lebih 137 negara sepakat untuk menyetujui Pilar 1 dan pilar 2,” kata Mekar.
Pemerintah Indonesia, kata Mekar, telah mengantisipasi akan keberadaan perpajakan baru ini. Secara kebetulan Indonesia saat itu sedang membahas undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang sekarang telah menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021.