RSM Indonesia: Untuk Pulih dari Krisis, Butuh Strategi Bisnis yang Terstruktur
loading...
A
A
A
JAKARTA - Krisis yang terjadi akibat pandemi Covid-19 saat ini disebut sangat berbeda dengan krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1997-1998. Hal ini ditunjukkan dengan terdampaknya semua sektor bisnis dan menimbulkan tantangan bisnis yang luar biasa.
"Ada sektor tertentu yang dampaknya sangat besar dan mendalam, dan ada juga sektor-sektor tertentu yang menikmati financial benefit karena meningkatnya permintaan akan kebutuhan-kebutuhan tertentu. Tapi mostly, sektor-sektor lainnya mengalami kesulitan, apalagi sektor health and humanitarian services," ujar International Contact Partner RSM Indonesia Angela Simatupang dalam video conference Dreya Forum bertajuk "Strategi Menghadapi New Normal Baru" di Jakarta, Jumat (5/6/2020).
(Baca Juga: Sri Mulyani: Dampak Corona ke Ekonomi Lebih Kompleks Dibanding Krisis 1998)
Dia mengatakan, ada banyak masalah yang kemudian membebani sektor-sektor usaha. Misalnya, kolapsnya permintaan konsumen, perubahan regulasi yang signifikan, interupsi pada rantai pasok, pengangguran, sehingga resesi ekonomi yang diambang pintu.
"Customer demand-nya collapse, itu sudah seperti rantai lingkaran setan. Kuncinya adalah menjaga cash flow, karena cash is king. Kemudian me-maintain likuiditas, karena kita sekarang punya krisis likuiditas," ungkap Angela.
Karena itu, tegas Angela, organisasi bisnis harus bisa berpikir strategis dan terstruktur untuk bisa pulih. Semua hal harus direncanakan dengan matang, tidak bisa dengan rencana yang bersifat ad hoc. Hal terpenting, imbuh dia, adalah memahami dimana posisi perusahaan dalam lingkungan bisnis.
"Untuk mengambil keputusan strategis, kita harus mengerti di mana posisi organisasi kita dalam lingkungan bisnis. Di dalam market atau ekosistem bisnis kita, apakah kita leading dibandingkan kompetitor? Apakah kita mampu men-shutdown operation kita, dan kemudian membukanya tanpa berpengaruh apapun setelah pandemi berakhir? Apakah kita malah bangkrut atau menjadi leader? Itu harus dipikirkan terlebih dahulu," paparnya.
Menurutnyaa, setelah memahami posisi tersebut, langkah selanjutnya adalah bagaimana cara untuk kembali ke posisi yang diinginkan. Dengan rencana aksi yang berbeda, tegas dia, maka rencana mitigasinya pun berbeda pula.
"Dalam bisnis itu, bukan hanya survive, kita harus bisa sustain. Kita tidak bisa berpikir hanya sampai bulan Desember atau akhir tahun saja. Apakah organisasi kita sudah siap untuk new normal? Apakah kita masih berpikir untuk mengerjakan proyek dengan orang-orang yang sama? Karena kalau kita mengerjakan proyek dengan orang-orang yang sama dengan laju yang sama, maka risiko gagal akan lebih tinggi," tutur Angela.
"Ada sektor tertentu yang dampaknya sangat besar dan mendalam, dan ada juga sektor-sektor tertentu yang menikmati financial benefit karena meningkatnya permintaan akan kebutuhan-kebutuhan tertentu. Tapi mostly, sektor-sektor lainnya mengalami kesulitan, apalagi sektor health and humanitarian services," ujar International Contact Partner RSM Indonesia Angela Simatupang dalam video conference Dreya Forum bertajuk "Strategi Menghadapi New Normal Baru" di Jakarta, Jumat (5/6/2020).
(Baca Juga: Sri Mulyani: Dampak Corona ke Ekonomi Lebih Kompleks Dibanding Krisis 1998)
Dia mengatakan, ada banyak masalah yang kemudian membebani sektor-sektor usaha. Misalnya, kolapsnya permintaan konsumen, perubahan regulasi yang signifikan, interupsi pada rantai pasok, pengangguran, sehingga resesi ekonomi yang diambang pintu.
"Customer demand-nya collapse, itu sudah seperti rantai lingkaran setan. Kuncinya adalah menjaga cash flow, karena cash is king. Kemudian me-maintain likuiditas, karena kita sekarang punya krisis likuiditas," ungkap Angela.
Karena itu, tegas Angela, organisasi bisnis harus bisa berpikir strategis dan terstruktur untuk bisa pulih. Semua hal harus direncanakan dengan matang, tidak bisa dengan rencana yang bersifat ad hoc. Hal terpenting, imbuh dia, adalah memahami dimana posisi perusahaan dalam lingkungan bisnis.
"Untuk mengambil keputusan strategis, kita harus mengerti di mana posisi organisasi kita dalam lingkungan bisnis. Di dalam market atau ekosistem bisnis kita, apakah kita leading dibandingkan kompetitor? Apakah kita mampu men-shutdown operation kita, dan kemudian membukanya tanpa berpengaruh apapun setelah pandemi berakhir? Apakah kita malah bangkrut atau menjadi leader? Itu harus dipikirkan terlebih dahulu," paparnya.
Menurutnyaa, setelah memahami posisi tersebut, langkah selanjutnya adalah bagaimana cara untuk kembali ke posisi yang diinginkan. Dengan rencana aksi yang berbeda, tegas dia, maka rencana mitigasinya pun berbeda pula.
"Dalam bisnis itu, bukan hanya survive, kita harus bisa sustain. Kita tidak bisa berpikir hanya sampai bulan Desember atau akhir tahun saja. Apakah organisasi kita sudah siap untuk new normal? Apakah kita masih berpikir untuk mengerjakan proyek dengan orang-orang yang sama? Karena kalau kita mengerjakan proyek dengan orang-orang yang sama dengan laju yang sama, maka risiko gagal akan lebih tinggi," tutur Angela.
(fai)