Waspada! Inflasi Turki Bisa Berdampak pada Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ekonom sekaligus Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira, menyatakan Indonesia perlu mewaspadai kenaikan inflasi di Turki yang mencapai 36%. Pasalnya, sebagai sesama negara berkembang yang pernah dijuluki The Fragile Five pada 2013 lalu, Indonesia bisa terdampak inflasi Turki.
"Tentu Indonesia perlu mewaspadai tekanan inflasi dan pelemahan nilai tukar yang terjadi di Turki. Sebenarnya situasi di Turki efek dari tapering off juga yang dilakukan bank sentral negara maju," ungkap Bhima ketika dihubungi MNC Portal Indonesia di Jakarta, Selasa (4/1/2022).
Sama seperti tahun 2013, negara yang disebut The Fragile Five adalah negara yang rentan terimbas kebijakan moneter negara maju. Tekanan modal asing yang keluar bisa membuat imported inflation atau naiknya harga barang impor di negara berkembang.
"Situasi saat ini ketidakpastiannya masih cukup tinggi. Beruntung Indonesia masih menikmati booming komoditas sehingga devisa ekspornya bisa menjaga rupiah tetap stabil. Tapi dengan pelarangan ekspor batu bara, dan berbagai kebijakan untuk mengamankan pasokan di dalam negeri, efek ke kehilangan devisa juga besar," terangnya.
Selain itu, sambung Bhima, saat ini sudah dirasakan kenaikan harga kebutuhan pokok seperti minyak goreng, telur, dan cabai di berbagai daerah. Ditambah dengan naiknya harga tarif energi seperti LPG non-subsidi.
"Jika tidak hati-hati, maka tekanan inflasi dari sisi cost push bisa meningkat jauh melebihi tahun 2021. Sebelum ekonomi full dibuka saja, inflasi bulan Desember 2021 sudah 0,57% secara bulanan," ucapnya.
Dia mengatakan, ketika ekonomi mulai dilonggarkan maka sisi permintaan juga akan mendorong kenaikan harga, bersamaan dengan sisi penawaran. Kenaikan inflasi bisa menjadi tekanan buat masyarakat.
"Repot juga kalau inflasi tinggi, masyarakat belum tentu siap karena pendapatan naiknya masih belum merata," pungkas Bhima.
"Tentu Indonesia perlu mewaspadai tekanan inflasi dan pelemahan nilai tukar yang terjadi di Turki. Sebenarnya situasi di Turki efek dari tapering off juga yang dilakukan bank sentral negara maju," ungkap Bhima ketika dihubungi MNC Portal Indonesia di Jakarta, Selasa (4/1/2022).
Sama seperti tahun 2013, negara yang disebut The Fragile Five adalah negara yang rentan terimbas kebijakan moneter negara maju. Tekanan modal asing yang keluar bisa membuat imported inflation atau naiknya harga barang impor di negara berkembang.
"Situasi saat ini ketidakpastiannya masih cukup tinggi. Beruntung Indonesia masih menikmati booming komoditas sehingga devisa ekspornya bisa menjaga rupiah tetap stabil. Tapi dengan pelarangan ekspor batu bara, dan berbagai kebijakan untuk mengamankan pasokan di dalam negeri, efek ke kehilangan devisa juga besar," terangnya.
Selain itu, sambung Bhima, saat ini sudah dirasakan kenaikan harga kebutuhan pokok seperti minyak goreng, telur, dan cabai di berbagai daerah. Ditambah dengan naiknya harga tarif energi seperti LPG non-subsidi.
"Jika tidak hati-hati, maka tekanan inflasi dari sisi cost push bisa meningkat jauh melebihi tahun 2021. Sebelum ekonomi full dibuka saja, inflasi bulan Desember 2021 sudah 0,57% secara bulanan," ucapnya.
Dia mengatakan, ketika ekonomi mulai dilonggarkan maka sisi permintaan juga akan mendorong kenaikan harga, bersamaan dengan sisi penawaran. Kenaikan inflasi bisa menjadi tekanan buat masyarakat.
"Repot juga kalau inflasi tinggi, masyarakat belum tentu siap karena pendapatan naiknya masih belum merata," pungkas Bhima.
(uka)