Aplikasi Belanja Pasar Tradisional Kian Diminati

Sabtu, 12 Februari 2022 - 10:30 WIB
loading...
Aplikasi  Belanja Pasar Tradisional Kian Diminati
Digitalisasi di pasar tradisional semakin diminati. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Asep Safroni, 36, gundah ketika aneka bumbu giling dan rempah yang dijualnya di Pasar Cipanas, Kabupaten Cianjur, terus menurun. Maklum saja, kini dia harus bersaing tidak hanya dengan ritel modern yang menjamur di mana-mana, tetapi juga berkompetisi dengan platform digital seperti lokapasar dan platform penjualan online lainnya.

Roni, sapaan akrab Safroni, mengakui selain faktor persaingan tadi ada juga tantangan yang dihadapinya. Tempat berjualannya di basement paling bawah, membuat lalu lintas calon pembeli tak sebanyak di lantai atasnya.

Melihat kondisi yang ada, Roni memutar otak dengan mempromosikan barang jualan di media sosial (medsos), seperti facebook, serta menyebarkan pesan digital melalui WhatsApp ke grup-grup yang ia ikuti. “Saya tawarin ke teman-teman, ada respons dari mereka,” ujarnya kepada Koran SINDO, Kamis (11/2).



Cara seperti itu lumayan menambah pemasukannya. Tak disangka, pandemi Covid-19 kembali memukul usahanya. Berjualan di los tak bisa diandalkan lagi karena ada pembatasan kunjungan ke pasar. Beruntung dia mendapat informasi bahwa Dinas Koperasi, Usaha Kecil, Menengah, Perdagangan, dan Perindustrian Kabupaten Cianjur memberikan pelatihan untuk penjualan melalui Whatsapp.

Melalui program Pasar JuWara yang dikutinya, pembeli bisa mengontak langsung penjual dan memesan barang yang akan dibeli. Kemudian penjual akan mengirimnya, menggunakan ojek online (ojol). Untuk jarak dekat, Roni biasanya memberdayakan para kuli panggul yang mempunyai sepeda motor untuk mengirim barang.

Apa yang dialami Roni, tak jauh berbeda dengan yang terjadi pada kalangan ibu-ibu rumah tangga. Sejak pandemi, interaksi dengan para pedagang di pasar berkurang drastis meski kini mulai ramai lagi. Namun, kemunculan varian baru Omicron lagi-lagi mengurangi aktivitas jual beli secara langsung di pasar tradisional.

Salah satunya diakui oleh Fanny Fardhani (31) yang kini jarang berbelanja secara langsung ke pasar maupun ritel modern. Dia lebih banyak memanfaatkan aplikasi belanja seperti online khusus sayuran dan buah-buahan untuk memenuhi seluruh kebutuhan sehari-hari.

Alasannya Fanny cukup sederhana, sebagai ibu baru dia enggan membawa anaknya yang masih di bawah tiga tahun ke supermarket untuk sekadar belanja. Dia pun beralih menggunakan aplikasi belanja online sebulan sekali di Happy Fresh, Sayur Box atau TaniHun.

“Malas keluar juga, karena kalau sudah keluar agak repot saat pulang harus mandi beres-beres disteril semua barang yang dibawa. Saya tidak dapat keluar kalau anak tidak dibawa, tapi masih belum siap juga untuk belanja bawa anak,” ungkapnya.



Kondisi yang dialami Asep dan Fanny inilah yang kemudian melahirkan munculnya berbagai aplikasi baru untuk mempertemukan konsumen dan penjual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Menyusul Sayur Box, Happy Fresh dan aplikasi yang sudah eksis sebelumnya, kini muncul platform-platform baru layanan belanja online khusus pasar tradisional yang menyasar segmen emak-emak. Salah satunya adalah aplikasi Teman Pasar yang diluncurkan pada akhir 2020.

Co-founder dan CEO Teman Pasar Ahmad Alimuddin mengungkapkan, terus berupaya membantu konsumen dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Terutama mereka yang sering berbelanja ke pasar tradisional. Meski baru dirintis pada akhir 2020, aplikasi tersebut diakuinya menunjukkan perkembangan positif, meskipun tidak terlalu signifikasi dalam kurun satu tahun terakhir.

"Kita baru peluncuran di akhir 2020, jadi signifikansi pertumbuhan memang tidak begitu besar kayak beberapa kompetitor yang hadir sejak beberapa tahun sebelumnya," ujarnya Alim kepada Koran Sindo, Jumat (11/2).

Dia menambahkan, saat ini pertumbuhan bisnis Teman Pasar cukup signifikan dari tahun sebelumnya mencapai lebih dari 50% per bulan, baik dari sisi penjualan maupun dari sisi peningkatan mitra. Alimuddin berharap Teman Pasar bisa tumbuh di angka 100% dengan membuka di 10 kota di Jawa Barat dalam 1 tahun ini.

Aplikasi lainnya, Titipku, yang berbasis di Yogyakarta juga termasuk agresif menggarap pasar kalangan ibu-ibu rumah tangga yang memanfaatkan layanan digital dalam berbelanja. Selama masa pandemi, Titipku bahkan mengalami pertumbuhan bisnis hingga empat kali lipat.

"Pengaruh yang paling bisa dirasakan ketika PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) naik adalah terjadinya lonjakan transaksi," tutur Chief Marketing Officer Titipku Faradhita Delicia, kepada Koran SINDO, Jumat (11/2).

Faradhita menambahkan, startup yang didirikan pada 2017 itu terus melakukan ekspansi dengan menambah area belanja seperti pasar maupun supermarket yang terkoneksi dengan Titipku. Saat ini tercatat sekitar 100 unit dan lebih dari 6.500 pedagang atau penjual (merchants) yang terkoneksi. Pasar-pasar tradisional itu tersebar di Jabodetabek, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, hingga Bali.

Kehadiran berbagai aplikasi belanja di pasar tradisional ini disambut baik oleh pihak pengelola pasar. Gatra Vaganza, Manager Umum dan Humas PD Pasar Jaya mengungkapkan, PD Pasar Jaya mendukung digitalisasi tersebut dan bahkan kini tengah mengembangkan sistem pembelanjaan online yang dapat diakses oleh masyarakat.

“Tapi sebelum itu rampung, memang juga sudah banyak bekerjasama dengan banyak platform. Saat awal pandemi juga kami membantu mempromosikan pedagang melalui media sosial dan channel-channel informasi yang kami miliki," jelas Gatra.

Sekretaris Jenderal Induk Koperasi Pedagang Pasar (Inkoppas) Ngadiran mendorong para pedagang pasar tradisional untuk mengikuti perkembangan zaman. Diakuinya, pemanfaatan teknologi informasi (TI) memang tidak mudah, tetapi harus dicoba.

Menurut dia, semakin ke sini kian banyak masyarakat yang menginginkan kepraktisan dan tidak mau repot-repot ke pasar. Mereka lebih suka memesan segala sesuatu melalui ponsel pintar dan menunggu di rumah, termasuk dalam berbelanja kebutuhan pokok.

Ngadiran mengakui upaya membantu pedagang untuk menjual produknya melalui aplikasi sudah dilakukan, baik oleh kementerian, pemerintah daerah, maupun swasta. Dia menyebut awalnya para pedagang alergi terhadap aplikasi, tetapi perlahan atau “terpaksa oleh keadaan” akhirnya menggunakan juga.

Berdasarkan pemantauannya, pedagang yang banyak memanfaatkan aplikasi didominasi yang masih berusia muda. “Milenial tentu mengikuti perkembangan. Itu (mereka) tidak gaptek. Akan tetapi, yang sepuh-sepuh kalau punya handphone bukan android. Yang penting bisa menelpon anak dan cucu. Kan gitu. Bahasanya masa bodo (dengan TI atau aplikasi),” ungkapnya.

Inkoppas juga mendesak pemerintah atau pengelola pasar tidak berdiam diri. Sebab, para pedagang pasar tradisional tidak hanya bersaing dengan supermarket, tetapi juga pelapak di lokapasar, agresivitas minimarket yang semakin merangsek ke perumahan, dan pedagang keliling. Dia juga meminta para vendor aplikasi tidak hanya meminta pedagang menggunakan aplikasi besutannya.

“Pemerintah, pengelola pasar, dan vendor, harus memberikan pelatihan dan bimbingan kepada para pedagang pasar tradisional mengenai cara menjual barang melalui aplikasi. Saya merasa pedagang dengan kondisi sekarang sekitar 30% ada yang mengikuti (menggunakan aplikasi). Bisa, enggak bisa, pura-pura bisa,” ucapnya.

Ngadiran menilai sebagian masyarakat tetap lebih suka berbelanja secara tatap muka di pasar. Di sisi lain, pasar tradisional tak bisa lagi dikelola secara ortodok dan apa adanya. Itu tidak akan menarik konsumen untuk datang ke pasar. “Penjual online menjadi kompetitor yang menggerus pasar tradisional, termasuk ritel modern,” tegasnya.

Di bagian lain, Sosiolog Universitas Islam Jakarta (UIN) Jakarta Tantan Hermansyah mengatakan, peralihan kebiasaan masyarakat dalam berbelanja ini tidak lepas dari situasi global, yakni penyebaran virus Sars Cov-II. “Masyarakat merasa nyaman dan aman untuk berbelanja menggunakan aplikasi. Kedua, sekarang vendor-vendor mempermudah yang mempermudah orang jualan semakin banyak,” ujarnya.

Dengan semakin banyak pedagang pasar tradisional yang memanfaatkan aplikasi akan menumbuhkan kompetisi yang adil. Jika dahulu lokapasar masih sedikit, pembentukan harga ditentukan satu-dua lokapasar saja. Ketika menjamurnya aplikasi yang lebih spesifik untuk menghubungkan pembeli dengan pedagang pasar, masyarakat akan mendapatkan harga yang jauh kompetitif. Juga bisa melirik-lirik dari satu lokapasar dan aplikasi ke yang lainnya.

Tantan menyatakan daya tahan dan masa depan pemanfaatan aplikasi untuk bertransaksi ini ditentukan oleh pembeli. “Kalau pembelinya tetap bertahan menggunakan aplikasi. Kemudian, dimiliki oleh para pedagang tradisional itu, mereka akan bertahan. Akan tetapi, pedagang itu rindu untuk tatap muka. Salah satu kelemahan aplikasi, nyaris tidak ada ruang tawar menawarnya,” tuturnya.

Pemanfaatan aplikasi akan berkembang terus di masa depan. Namun, menurut Tantan, pemanfaatannya akan ditentukan produknya. Pembelian produk yang terkait dengan emosi, hobi, dan super mewah, seperti lukisan, itu masih akan tetap memerlukan tatap muka. Untuk barang kelas menengah ke bawah, seperti komputer dan ponsel, konsumen biasanya lebih cenderung mencari merek yang sudah dipercaya.

“Kalau kebutuhan pokok, sebagian sudah beralih karena sekarang sudah terjadi. Orang-orang beli barang yang awet, seperti sabun, deterjen, pasta gigi, dan beras yang relatif tidak masalah kalau dikirimnya lama (sudah daring). (ada) Beli sampai China karena harganya kompetitif. Lagi-lagi pasar yang menentukan dan harga adalah raja,” ucapnya.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1221 seconds (0.1#10.140)