Atasi Kisruh Pangan Jangan Seperti Pemadam Kebakaran
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gejolak harga pangan belakangan datang silih berganti. Belum kelar kisruh kelangkaan dan melonjaknya harga minyak goreng , kini giliran harga kedelai melambung tinggi. Nahasnya, pemerintah kerap kali kewalahan menanganinya. Ujungnya, masyarakat pun menjadi korban.
Melihat seringnya terjadi kasus fluktuasi harga pangan, sudah semestinya pemerintah mencari solusi jangka panjang agar konsumen dan pelaku usaha di level bawah tidak terus dirugikan dan dibuat kerepotan. Apalagi, gejolak pangan saat ini terjadi jelang memasuki bulan Ramadhan .
Sebagai langkah awal, solusi mengatasi masalah pangan bisa dimulai dengan penataan data neraca komoditas pangan seakurat mungkin. Data dimaksud antara lain memuat pemetaan produksi, kebutuhan, dan distribusi untuk mempermudah pengambilan keputusan.
Sebelumnya, solusi pemerintah mengatasi gejolak pangan tidak bisa berjalan maksimal. Untuk mengatasi masalah minyak goreng misalnya. Kebijakan penetapan satu harga untuk minyak goreng, domestic market obligation (DMO), domestic price obligation (DPO), hingga pemberlakuan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan sederhana, dan premium tidak ada yang manjur.
Saat ini harga minyak goreng yang ditetapkan pemerintah dibagi dalam beberapa kategori. Yakni minyak goreng curah Rp11.500 per liter, kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan kemasan premium Rp14.000 per liter. Namun, pada kenyataanya, masih banyak pedagang yang menjual di atas harga yang ditetapkan. Bahkan, di sejumlah titik, stok minyak goreng justru hilang di pasaran,
Begitupun harga kedelai melambung tinggi hingga Rp11.000 per kilogram (Kg). Padahal, kedelai merupakan bahan utama untuk tahu dan tempe yang menjadi makanan sebagian besar masyarakat Indonesia. Fluktuasi harga ini bukan hanya terjadi pada dua bahan pokok itu saja. Kenaikan harga dan kelangkaan seperti silih berganti. Ada kalanya beras, gula, bawang, dan cabai juga meroket dan terkendali.
Pentingnya data negara terkait komoditas pangan di antaranya disampaikan Wasekjen Perhimpunan Pertanian Indonesia (Perhepi) Lely Pelitasari Soebekty dan akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB) Nunung Nuryartono. Lely Pelitasari misalnya menandaskan, pemerintah sebenarnya bisa memprediksi kenaikan kebutuhan pangan di Indonesia, hingga kemudia menyetok pangan lebih banyak sehingga konsumen mendapatkan harga yang wajar.
“Kenapa (suplai dan permintaan) tidak terjaga? Bisa jadi (karena) pemerintah tidak punya neraca komoditas yang akurat. Kemudian, bicara data produksi, kebutuhan, dan gap diantara itu yang harus dijaga. Makanya, cadangan menjadi seksi. Artinya, sudah tanggal dan bulan itu (permintaan naik) pasti (pangan) kurang ya akhirnya (bisa) diantisipasi,” ujar dia.
Melihat seringnya terjadi kasus fluktuasi harga pangan, sudah semestinya pemerintah mencari solusi jangka panjang agar konsumen dan pelaku usaha di level bawah tidak terus dirugikan dan dibuat kerepotan. Apalagi, gejolak pangan saat ini terjadi jelang memasuki bulan Ramadhan .
Sebagai langkah awal, solusi mengatasi masalah pangan bisa dimulai dengan penataan data neraca komoditas pangan seakurat mungkin. Data dimaksud antara lain memuat pemetaan produksi, kebutuhan, dan distribusi untuk mempermudah pengambilan keputusan.
Sebelumnya, solusi pemerintah mengatasi gejolak pangan tidak bisa berjalan maksimal. Untuk mengatasi masalah minyak goreng misalnya. Kebijakan penetapan satu harga untuk minyak goreng, domestic market obligation (DMO), domestic price obligation (DPO), hingga pemberlakuan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan sederhana, dan premium tidak ada yang manjur.
Saat ini harga minyak goreng yang ditetapkan pemerintah dibagi dalam beberapa kategori. Yakni minyak goreng curah Rp11.500 per liter, kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan kemasan premium Rp14.000 per liter. Namun, pada kenyataanya, masih banyak pedagang yang menjual di atas harga yang ditetapkan. Bahkan, di sejumlah titik, stok minyak goreng justru hilang di pasaran,
Begitupun harga kedelai melambung tinggi hingga Rp11.000 per kilogram (Kg). Padahal, kedelai merupakan bahan utama untuk tahu dan tempe yang menjadi makanan sebagian besar masyarakat Indonesia. Fluktuasi harga ini bukan hanya terjadi pada dua bahan pokok itu saja. Kenaikan harga dan kelangkaan seperti silih berganti. Ada kalanya beras, gula, bawang, dan cabai juga meroket dan terkendali.
Pentingnya data negara terkait komoditas pangan di antaranya disampaikan Wasekjen Perhimpunan Pertanian Indonesia (Perhepi) Lely Pelitasari Soebekty dan akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB) Nunung Nuryartono. Lely Pelitasari misalnya menandaskan, pemerintah sebenarnya bisa memprediksi kenaikan kebutuhan pangan di Indonesia, hingga kemudia menyetok pangan lebih banyak sehingga konsumen mendapatkan harga yang wajar.
“Kenapa (suplai dan permintaan) tidak terjaga? Bisa jadi (karena) pemerintah tidak punya neraca komoditas yang akurat. Kemudian, bicara data produksi, kebutuhan, dan gap diantara itu yang harus dijaga. Makanya, cadangan menjadi seksi. Artinya, sudah tanggal dan bulan itu (permintaan naik) pasti (pangan) kurang ya akhirnya (bisa) diantisipasi,” ujar dia.