BPJS Kesehatan Jadi Syarat Naik Haji, Jual Tanah hingga Urus SIM, Ekonom: Maksa Banget
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah bakal mewajibkan lampiran kartu peserta BPJS Kesehatan untuk syarat sejumlah layanan publik . Mulai dari membuat Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), jual beli tanah, umrah dan naik Haji .
Kebijakan itu tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Inpres itu juga sudah diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 6 Januari 2022.
Direktur Eksekutif Center of Law and Economic Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, kebijakan tersebut ada unsur paksaan yang tentu akan memberatkan masyarakat. "Ini kebijakan yang memaksa, agar masyarakat yang belum punya BPJS Kesehatan segera mendaftar dan membayarkan preminya," ujar Bhima kepada MNC Portal Indonesia, Selasa (22/2/2022).
Menurut Bhima, cara pemerintah dengan menekan masyarakat agar mendaftarkan BPJS Kesehatan di tengah situasi ekonomi tidak stabil bagi sebagian orang, bukan jalan yang tepat. Karena kata dia, alokasi untuk iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI) itu terbatas.
Sementara banyak yang tidak memiliki akun BPJS masuk dalam kategori rentan miskin atau kelas menengah yang sebenarnya berada di garis kemiskinan meskipun bukan orang miskin. "Artinya kalau disuruh membayar BPJS dan itu dibayarnya dalam satu kartu keluarga, itu kan cukup memberatkan juga," imbuh Bhima.
"Ini mungkin harus ada pertimbangan soal momentum juga. Kalau hanya sekedar ingin menyelamatkan agar bisa membayarkan klaim BPJS kesehatan yang mungkin akan meningkat selama masa Pandemi dan setelahnya yang jelas cara pemaksaan ini momentum nya kurang pas," tambahnya.
Lanjut diutarakan Bhima, dalam kondisi masyarakat yang sedang dalam tekanan ekonomi, kebijakan ini bisa mempengaruhi daya beli masyarakat. Pasalnya, jika dalam satu keluarga ada lima anggota keluarga, maka kepala keluarga tersebut harus membayar premi kelima anggotanya, dan itu jumlahnya besar.
Oleh sebab itu, menurut dia, daripada memaksa masyarakat untuk mendaftar BPJS Kesehatan, lebih baik mendorong perusahaan-perusahaan formal untuk membayarkan iuran BPJS Kesehatan.
"Untuk saat ini memang tidak bisa ya cara-cara persuasif terlebih dahulu gitu, atau bagi perusahaan-perusahaan yang formal. Harusnya itu dulu yang di kejar tingkat kepatuhannya pembayaran iuran BPJS kesehatan, daripada modelnya seperti pemaksaan," terangnya.
"Sudah barang-barang naik harga minyak goreng naik, harga tempe juga naik ini kan artinya makin menambah beban jadi pemaksaan seperti ini tentunya menambah beban ke masyarakat," tandas Bhima.
Kebijakan itu tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Inpres itu juga sudah diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 6 Januari 2022.
Direktur Eksekutif Center of Law and Economic Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, kebijakan tersebut ada unsur paksaan yang tentu akan memberatkan masyarakat. "Ini kebijakan yang memaksa, agar masyarakat yang belum punya BPJS Kesehatan segera mendaftar dan membayarkan preminya," ujar Bhima kepada MNC Portal Indonesia, Selasa (22/2/2022).
Menurut Bhima, cara pemerintah dengan menekan masyarakat agar mendaftarkan BPJS Kesehatan di tengah situasi ekonomi tidak stabil bagi sebagian orang, bukan jalan yang tepat. Karena kata dia, alokasi untuk iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI) itu terbatas.
Sementara banyak yang tidak memiliki akun BPJS masuk dalam kategori rentan miskin atau kelas menengah yang sebenarnya berada di garis kemiskinan meskipun bukan orang miskin. "Artinya kalau disuruh membayar BPJS dan itu dibayarnya dalam satu kartu keluarga, itu kan cukup memberatkan juga," imbuh Bhima.
"Ini mungkin harus ada pertimbangan soal momentum juga. Kalau hanya sekedar ingin menyelamatkan agar bisa membayarkan klaim BPJS kesehatan yang mungkin akan meningkat selama masa Pandemi dan setelahnya yang jelas cara pemaksaan ini momentum nya kurang pas," tambahnya.
Lanjut diutarakan Bhima, dalam kondisi masyarakat yang sedang dalam tekanan ekonomi, kebijakan ini bisa mempengaruhi daya beli masyarakat. Pasalnya, jika dalam satu keluarga ada lima anggota keluarga, maka kepala keluarga tersebut harus membayar premi kelima anggotanya, dan itu jumlahnya besar.
Oleh sebab itu, menurut dia, daripada memaksa masyarakat untuk mendaftar BPJS Kesehatan, lebih baik mendorong perusahaan-perusahaan formal untuk membayarkan iuran BPJS Kesehatan.
"Untuk saat ini memang tidak bisa ya cara-cara persuasif terlebih dahulu gitu, atau bagi perusahaan-perusahaan yang formal. Harusnya itu dulu yang di kejar tingkat kepatuhannya pembayaran iuran BPJS kesehatan, daripada modelnya seperti pemaksaan," terangnya.
"Sudah barang-barang naik harga minyak goreng naik, harga tempe juga naik ini kan artinya makin menambah beban jadi pemaksaan seperti ini tentunya menambah beban ke masyarakat," tandas Bhima.
(akr)