Butuh Rp3.461 Triliun untuk Turunkan Emisi Karbon, Sri Mulyani Ungkap Peran APBN
loading...
A
A
A
JAKARTA - Salah satu tools yang penting bagi Indonesia untuk mencapai Nationally Determined Contribution (NDC) terkait penurunan emisi karbon 29% dengan upaya sendiri melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara ( APBN ) dan 41% dengan upaya bersama internasional. Hal itu disampaikan Menteri Keuangan atau Menkeu Sri Mulyani Indrawati dalam keynote speechnya di Webinar Green Economy Outlook 2022 di Jakarta, Selasa(22/2/2022).
"APBN sangat penting dalam mempengaruhi kegiatan masyarakat, sehingga pemerintah dapat terus berikhtiar menaikkan kesejahteraan dan kegiatan ekonomi, dan di saat yang sama bisa menurunkan emisi karbon," ujar Sri Mulyani.
Transformasi inilah yang kemudian didesain pihaknya dalam berbagai upaya mendesain fiscal policy atau APBN. "Tentunya, ini selaras dengan rencana pembangunan jangka menengah pemerintah yang telah ditetapkan hingga tahun 2024, di mana kita telah bertekad untuk meningkatkan kualitas lingkungan, ketahanan bencana, dan perubahan iklim serta bagaimana mendesain pembangunan yang rendah karbon," jelas Sri Mulyani.
Oleh karena itu, Kementerian Keuangan selaku pengelola APBN telah menyusun kebijakan yang disebut Climate Change Fiscal Framework, atau kerangka fiskal yang mendukung tantangan perubahan iklim. Ini juga sesuai atau konsisten dengan tekad untuk menurunkan emisi karbon, atau bahkan nett zero emission di tahun 2060.
"Bagaimana APBN melakukan tugasnya dalam melihat peluang dan tantangan ekonomi hijau ini, yang pertama adalah melalui perhitungan biennial update report tahun 2018 yang merupakan spesialis untuk menghitung berapa kebutuhan dana Indonesia dalam mencapai tekad menurunkan CO2," ungkap Sri.
Dalam laporan tahun 2018 itu, disebutkan bahwa kebutuhan anggaran untuk menurunkan karbon atau mencapai target penurunan karbon yang ditargetkan Indonesia adalah sebesar Rp3.461 triliun hingga tahun 2030. Angka ini merupakan sebuah angka yang sangat signifikan.
"APBN di dalam fiscal framework mencoba memerankan di dalam mendukung langkah-langkah menurunkan karbon tersebut. Pertama, dari sisi penerimaan negara atau perpajakan, pemerintah menggunakan policy perpajakan untuk bisa memberikan insentif bagi dunia usaha agar melihat kesempatan investasi di perekonomian hijau sebagai suatu kesempatan atau peluang yang baik," terang Menkeu Sri Mulyani.
Cara ini ditempuh dalam wujud tax holiday, tax allowance, bahkan pemerintah juga memberikan pembebasan bea masuk impor, pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan penambahan Pajak Penghasilan (PPh) yang ditanggung pemerintah dan untuk kegiatan geothermal, bisa diberikan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk pengembangan panas bumi dan energi baru dan terbarukan (EBT). Desain ini dibentuk dengan harapan bahwa beban dari dunia usaha untuk masuk atau berinvestasi dalam bidang-bidang ekonomi hijau, terutama EBT bisa terakselerasi.
"Dalam UU HPP, kita telah memperkenalkan instrumen baru, yaitu pajak karbon. Ini adalah sebuah instrumen kebijakan untuk bisa mendorong perilaku dari kegiatan ekonomi terutama sektor swasta agar makin menginternalisasikan konsekuensi dari kegiatan ekonominya dalam bentuk emisi karbon di dalam hitungan investasi mereka," ucap Sri Mulyani.
Dengan demikian, Indonesia akan mampu terus menjalankan kegiatan ekonominya, namun dengan kesadaran makin tinggi, penuh, dan konsisten untuk melakukan langkah-langkah nyata mengurangi krisis atau potensi krisis perubahan iklim. Pengenaan pajak karbon ini merupakan sebuah sinyal dan gestur yang kuat, karena ini akan menjadi sebuah pelengkap dari mekanisme pasar karbon.
"Dengan adanya pajak karbon dan mekanisme pasar karbon, kita akan terus mendorong inovasi teknologi dan investasi yang lebih efisien dan konsisten. Dalam konteks ini, maka kebijakan fiskal harus terus diadaptasikan, bagaimana nantinya sumber pendanaan yang dari pajak karbon digunakan sebagai dana atau sumber dana bagi investasi yang makin ramah lingkungan," paparnya.
"Sehingga ini akan menimbulkan akselerasi terhadap investasi-investasi yang makin ramah lingkungan, yang kemudian menjadi sinyal yang sangat penting dari sisi policy dan arah kebijakan. Karena ini adalah tools baru, Kemenkeu akan berkomunikasi dan berdiskusi dengan seluruh stakeholder termasuk dunia usaha, bagaimana instrumen ini dipergunakan sehingga bisa meningkatkan appetite investasi di bidang ramah lingkungan, low carbon emission, menurunkan emisi karbon, dan secara ekonomi tetap sustainable," pungkasnya.
Lihat Juga: BRI Finance Gandeng Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Gelar Pelatihan Teknisi Uji Emisi
"APBN sangat penting dalam mempengaruhi kegiatan masyarakat, sehingga pemerintah dapat terus berikhtiar menaikkan kesejahteraan dan kegiatan ekonomi, dan di saat yang sama bisa menurunkan emisi karbon," ujar Sri Mulyani.
Transformasi inilah yang kemudian didesain pihaknya dalam berbagai upaya mendesain fiscal policy atau APBN. "Tentunya, ini selaras dengan rencana pembangunan jangka menengah pemerintah yang telah ditetapkan hingga tahun 2024, di mana kita telah bertekad untuk meningkatkan kualitas lingkungan, ketahanan bencana, dan perubahan iklim serta bagaimana mendesain pembangunan yang rendah karbon," jelas Sri Mulyani.
Oleh karena itu, Kementerian Keuangan selaku pengelola APBN telah menyusun kebijakan yang disebut Climate Change Fiscal Framework, atau kerangka fiskal yang mendukung tantangan perubahan iklim. Ini juga sesuai atau konsisten dengan tekad untuk menurunkan emisi karbon, atau bahkan nett zero emission di tahun 2060.
"Bagaimana APBN melakukan tugasnya dalam melihat peluang dan tantangan ekonomi hijau ini, yang pertama adalah melalui perhitungan biennial update report tahun 2018 yang merupakan spesialis untuk menghitung berapa kebutuhan dana Indonesia dalam mencapai tekad menurunkan CO2," ungkap Sri.
Dalam laporan tahun 2018 itu, disebutkan bahwa kebutuhan anggaran untuk menurunkan karbon atau mencapai target penurunan karbon yang ditargetkan Indonesia adalah sebesar Rp3.461 triliun hingga tahun 2030. Angka ini merupakan sebuah angka yang sangat signifikan.
"APBN di dalam fiscal framework mencoba memerankan di dalam mendukung langkah-langkah menurunkan karbon tersebut. Pertama, dari sisi penerimaan negara atau perpajakan, pemerintah menggunakan policy perpajakan untuk bisa memberikan insentif bagi dunia usaha agar melihat kesempatan investasi di perekonomian hijau sebagai suatu kesempatan atau peluang yang baik," terang Menkeu Sri Mulyani.
Cara ini ditempuh dalam wujud tax holiday, tax allowance, bahkan pemerintah juga memberikan pembebasan bea masuk impor, pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan penambahan Pajak Penghasilan (PPh) yang ditanggung pemerintah dan untuk kegiatan geothermal, bisa diberikan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk pengembangan panas bumi dan energi baru dan terbarukan (EBT). Desain ini dibentuk dengan harapan bahwa beban dari dunia usaha untuk masuk atau berinvestasi dalam bidang-bidang ekonomi hijau, terutama EBT bisa terakselerasi.
"Dalam UU HPP, kita telah memperkenalkan instrumen baru, yaitu pajak karbon. Ini adalah sebuah instrumen kebijakan untuk bisa mendorong perilaku dari kegiatan ekonomi terutama sektor swasta agar makin menginternalisasikan konsekuensi dari kegiatan ekonominya dalam bentuk emisi karbon di dalam hitungan investasi mereka," ucap Sri Mulyani.
Dengan demikian, Indonesia akan mampu terus menjalankan kegiatan ekonominya, namun dengan kesadaran makin tinggi, penuh, dan konsisten untuk melakukan langkah-langkah nyata mengurangi krisis atau potensi krisis perubahan iklim. Pengenaan pajak karbon ini merupakan sebuah sinyal dan gestur yang kuat, karena ini akan menjadi sebuah pelengkap dari mekanisme pasar karbon.
"Dengan adanya pajak karbon dan mekanisme pasar karbon, kita akan terus mendorong inovasi teknologi dan investasi yang lebih efisien dan konsisten. Dalam konteks ini, maka kebijakan fiskal harus terus diadaptasikan, bagaimana nantinya sumber pendanaan yang dari pajak karbon digunakan sebagai dana atau sumber dana bagi investasi yang makin ramah lingkungan," paparnya.
"Sehingga ini akan menimbulkan akselerasi terhadap investasi-investasi yang makin ramah lingkungan, yang kemudian menjadi sinyal yang sangat penting dari sisi policy dan arah kebijakan. Karena ini adalah tools baru, Kemenkeu akan berkomunikasi dan berdiskusi dengan seluruh stakeholder termasuk dunia usaha, bagaimana instrumen ini dipergunakan sehingga bisa meningkatkan appetite investasi di bidang ramah lingkungan, low carbon emission, menurunkan emisi karbon, dan secara ekonomi tetap sustainable," pungkasnya.
Lihat Juga: BRI Finance Gandeng Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Gelar Pelatihan Teknisi Uji Emisi
(akr)