Kemendag Diminta Fokus Awasi Distribusi CPO dan Minyak Goreng
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Perdagangan (Kemendag) diminta fokus ke distribusi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang berasal dari kewajiban pasok dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) yang disalurkan kepada 34 pabrik minyak goreng (migor) seharga domestic price obligation (DPO) Rp9.300 per liter. Kemendag juga mesti fokus mengawasi pola distribusi migor hasil kombinasi DMO dan DPO tersebut ke pasar dan ke masyarakat seharga harga eceran tertinggi (HET).
“Saya melihat kedua distribusi ini yang bermasalah. Seharusnya Kemendag fokus ke dua masalah distribusi ini, tidak perlu terburu-buru menaikkan DMO menjadi 30%,” kata Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung, Kamis (10/3/2022).
Menurut perhitungannya, produksi CPO Indonesia pada 2021 sebanyak 46,88 juta ton. Jika dikalikan dengan DMO 20%, maka ketersediaan CPO dengan DMO 20% mencapai 9,38 juta ton. Lantas jika 9,38 juta ton dibagi 12 bulan (1 tahun) menjadi 781.000 ton CPO. Ini artinya tersedia 781.000.000 kilogram (kg) CPO per bulannya DMO untuk bahan baku minyak goreng seharga DPO.
(Baca juga:Stabilisasi Harga Minyak Goreng)
Jika ketersediaan ini diolah jadi migor, kata Gulat, berarti sudah menghasilkan paling tidak 663.850.000 kg migor. Di mana kebutuhan migor nasional per bulan sebesar 280 juta liter untuk tiga kelas migor (curah, kemasan sederhana dan kemasan premium). Tentu angka migor hasil DMO ini sudah jauh melebihi kebutuhan migor per bulannya untuk masyarakat Indonesia.
“Lantas mengapa migor masih langka? Ada dua hal yang berbeda tentang migor ini, yaitu antara DMO dan distribusi. Secara angka DMO (20%) kita asumsikan saja sudah clear karena semua korporasi patuh, tapi di sisi distribusinya yang jadi masalah,” katanya.
Dalam diskusi yang dilakukan Apkasindo bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kementerian Pertanian (Kementan), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan beberapa stakeholder sawit lainnya, Jumat (4/3/2022) lalu, diketahui pabrik migor yang tidak memiliki rantai pasok (tidak terintegrasi dengan sektor hulu) sangat kesulitan mendapatkan CPO dari DMO dengan harga DPO.
(Baca juga:Menguak Gonjang-ganjing Harga Minyak Goreng)
Kondisi ini tentu beda halnya jika pabrik migor yang terintegrasi dengan kebun sawit dan pabrik kelapa sawit (PKS) sendiri. Tipologi terintegrasi ini akan sangat mudah melalui ‘rintangan’ ini, karena dengan memenuhi kewajibannya DMO, DPO dan menyalurkan migor sesuai harga eceran tertinggi (HET), maka perusahaannya segera mendapatkan izin ekspor.
“Keuntungan berlipat ganda akan didapatkan oleh perusahaan yang terintegrasi ini, karena harga CPO dan turunannya seperti migor mencapai berkali lipat di luar negeri,” katanya.
Sementara pabrik migor yang tidak terintegrasi, satu per satu akan berguguran. Dampak lanjutnya, kata Gulat akan berdampaknya kepada UMKM. “Seperti industri rumah tangga yang membuat keripik maupun kue dan jajanan masyarakat seperti pisang goreng, ubi goreng dan sejenisnya, semuanya terdampak. Ini semua karena kelangkaan migor,” paparnya.
(Baca juga:Menanti Jurus Tepat Kendalikan Minyak Goreng)
Menurut Gulat, baik perusahaan migor yang terintegrasi maupun yang tak terintegrasi harus diselamatkan. “Jangan malah mematikan industri migor yang tidak terintegrasi. Buktinya sudah 6 pabrik tipologi ini yang kolaps karena tidak kebagian CPO yang DMO dan harga DPO,” kata Gulat.
Sedari awal, kata Gulat, Apkasindo sudah mengusulkan yang perlu di-DMO dan DPO-kan cukup migor kelas curah dan kemasan sederhana. Sebab inilah kebutuhan masyarakat secara umum. Tidak usah ikut kelas migor premium (kelas khusus) di-DMO dan DPO-kan, lepas saja sesuai harga pasar, sehingga Kemendag tidak sepusing saat ini. “Bulan puasa sudah di depan mata, tentu akan semakin besar dampak kelangkaan dan harga migor ini,” katanya.
“Saya melihat kedua distribusi ini yang bermasalah. Seharusnya Kemendag fokus ke dua masalah distribusi ini, tidak perlu terburu-buru menaikkan DMO menjadi 30%,” kata Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung, Kamis (10/3/2022).
Menurut perhitungannya, produksi CPO Indonesia pada 2021 sebanyak 46,88 juta ton. Jika dikalikan dengan DMO 20%, maka ketersediaan CPO dengan DMO 20% mencapai 9,38 juta ton. Lantas jika 9,38 juta ton dibagi 12 bulan (1 tahun) menjadi 781.000 ton CPO. Ini artinya tersedia 781.000.000 kilogram (kg) CPO per bulannya DMO untuk bahan baku minyak goreng seharga DPO.
(Baca juga:Stabilisasi Harga Minyak Goreng)
Jika ketersediaan ini diolah jadi migor, kata Gulat, berarti sudah menghasilkan paling tidak 663.850.000 kg migor. Di mana kebutuhan migor nasional per bulan sebesar 280 juta liter untuk tiga kelas migor (curah, kemasan sederhana dan kemasan premium). Tentu angka migor hasil DMO ini sudah jauh melebihi kebutuhan migor per bulannya untuk masyarakat Indonesia.
“Lantas mengapa migor masih langka? Ada dua hal yang berbeda tentang migor ini, yaitu antara DMO dan distribusi. Secara angka DMO (20%) kita asumsikan saja sudah clear karena semua korporasi patuh, tapi di sisi distribusinya yang jadi masalah,” katanya.
Dalam diskusi yang dilakukan Apkasindo bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kementerian Pertanian (Kementan), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan beberapa stakeholder sawit lainnya, Jumat (4/3/2022) lalu, diketahui pabrik migor yang tidak memiliki rantai pasok (tidak terintegrasi dengan sektor hulu) sangat kesulitan mendapatkan CPO dari DMO dengan harga DPO.
(Baca juga:Menguak Gonjang-ganjing Harga Minyak Goreng)
Kondisi ini tentu beda halnya jika pabrik migor yang terintegrasi dengan kebun sawit dan pabrik kelapa sawit (PKS) sendiri. Tipologi terintegrasi ini akan sangat mudah melalui ‘rintangan’ ini, karena dengan memenuhi kewajibannya DMO, DPO dan menyalurkan migor sesuai harga eceran tertinggi (HET), maka perusahaannya segera mendapatkan izin ekspor.
“Keuntungan berlipat ganda akan didapatkan oleh perusahaan yang terintegrasi ini, karena harga CPO dan turunannya seperti migor mencapai berkali lipat di luar negeri,” katanya.
Sementara pabrik migor yang tidak terintegrasi, satu per satu akan berguguran. Dampak lanjutnya, kata Gulat akan berdampaknya kepada UMKM. “Seperti industri rumah tangga yang membuat keripik maupun kue dan jajanan masyarakat seperti pisang goreng, ubi goreng dan sejenisnya, semuanya terdampak. Ini semua karena kelangkaan migor,” paparnya.
(Baca juga:Menanti Jurus Tepat Kendalikan Minyak Goreng)
Menurut Gulat, baik perusahaan migor yang terintegrasi maupun yang tak terintegrasi harus diselamatkan. “Jangan malah mematikan industri migor yang tidak terintegrasi. Buktinya sudah 6 pabrik tipologi ini yang kolaps karena tidak kebagian CPO yang DMO dan harga DPO,” kata Gulat.
Sedari awal, kata Gulat, Apkasindo sudah mengusulkan yang perlu di-DMO dan DPO-kan cukup migor kelas curah dan kemasan sederhana. Sebab inilah kebutuhan masyarakat secara umum. Tidak usah ikut kelas migor premium (kelas khusus) di-DMO dan DPO-kan, lepas saja sesuai harga pasar, sehingga Kemendag tidak sepusing saat ini. “Bulan puasa sudah di depan mata, tentu akan semakin besar dampak kelangkaan dan harga migor ini,” katanya.
(dar)