Apjatel: Penerapan Network Sharing Bisa Membuat Perang Harga
loading...
A
A
A
"Kalau ditanya mana yang lebih cepat mendapatkan keuntungan, tentunya menjual jasa telekomunikasi jauh lebih cepat. Anggota Apjatel harus menggeluarkan Capex yang besar pengembalian modalnya memerlukan waktu yang panjang. Baru bisa untung setelah 5 tahun," papar Angga.
Angga meminta agar pemerintah dapat membuat aturan yang jelas. Jangan karena ingin mengurangi Capex, justru nantinya berakibat pada lesunya pembangunan jaringan telekomunikasi. Bahkan regulasi yang tidak jelas juga bisa membuat pelaku industri dikemudian hari akan berurusan dengan hukum. Sudah ada penyelenggara jaringan yang dipidanakan karena melakukan network sharing.
Dalam UU 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, pada Pasal 9 juga dijelaskan, network sharing hanya diperkenankan antara penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa. Bukan antara penyelenggara jaringan. Hal ini menjadi tantangan dalam menerapkan network sharing dari aspek regulasi.
Untuk itu, diperlukan terobosan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang visioner dan melihat kedepan, dimana network sharing diatur sebagai persiapan untuk menghadapi kebutuhan teknologi masa baru.
Adanya kebutuhan regulasi network sharing untuk mengantisipasi datangnya teknologi baru juga diamini Dian Siswarini, Direktur Utama XL Axiata. Dian mengajak operator-operator telekomunikasi lain untuk bekerjasama untuk bisa mewujudkan penerapan 5G di Tanah Air.
Dengan demikian, beban investasi yang sangat besar bisa ditanggung bersama dan masyarakat bisa segera menikmati kualitas internet yang lebih cepat.
"Mustahil network sharing diberlakukan di Jakarta karena ada 50 perusahaan penyelengara jaringan. Logikanya jumlah penyelenggara jasa lebih dari itu. Pasti sulit untuk mengaturnya. Jika kita ingin menjalankan amanah UU
Telekomunikasi agar telekomunikasi dapat dinikmati seluruh masyarakat Indonesia, maka regulasi network sharing harus diberlakukan di daerah-daerah yang penetrasi broadband masih rendah. Tujuannya agar terhindar dari kanibalisme antar penyelenggara," kata Angga.
Angga meminta agar pemerintah dapat membuat aturan yang jelas. Jangan karena ingin mengurangi Capex, justru nantinya berakibat pada lesunya pembangunan jaringan telekomunikasi. Bahkan regulasi yang tidak jelas juga bisa membuat pelaku industri dikemudian hari akan berurusan dengan hukum. Sudah ada penyelenggara jaringan yang dipidanakan karena melakukan network sharing.
Dalam UU 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, pada Pasal 9 juga dijelaskan, network sharing hanya diperkenankan antara penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa. Bukan antara penyelenggara jaringan. Hal ini menjadi tantangan dalam menerapkan network sharing dari aspek regulasi.
Untuk itu, diperlukan terobosan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang visioner dan melihat kedepan, dimana network sharing diatur sebagai persiapan untuk menghadapi kebutuhan teknologi masa baru.
Adanya kebutuhan regulasi network sharing untuk mengantisipasi datangnya teknologi baru juga diamini Dian Siswarini, Direktur Utama XL Axiata. Dian mengajak operator-operator telekomunikasi lain untuk bekerjasama untuk bisa mewujudkan penerapan 5G di Tanah Air.
Dengan demikian, beban investasi yang sangat besar bisa ditanggung bersama dan masyarakat bisa segera menikmati kualitas internet yang lebih cepat.
"Mustahil network sharing diberlakukan di Jakarta karena ada 50 perusahaan penyelengara jaringan. Logikanya jumlah penyelenggara jasa lebih dari itu. Pasti sulit untuk mengaturnya. Jika kita ingin menjalankan amanah UU
Telekomunikasi agar telekomunikasi dapat dinikmati seluruh masyarakat Indonesia, maka regulasi network sharing harus diberlakukan di daerah-daerah yang penetrasi broadband masih rendah. Tujuannya agar terhindar dari kanibalisme antar penyelenggara," kata Angga.
(bon)