RI Butuh Rp266 Triliun/Tahun untuk Kurangi Karbon, APBN Cuman Sanggup Rp85 Triliun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan atau Menkeu Sri Mulyani Indrawati menegaskan, bahwa estimasi Indonesia untuk menurunkan emisi karbon membutuhkan sebesar USD247 miliar atau Rp3.461 triliun. Artinya, setiap tahun Indonesia membutuhkan anggaran sebesar Rp266 triliun untuk bisa menunjukkan determinasi dan tekad untuk mengurangi karbon sesuai target yang telah ditetapkan.
"Ini pendanaan yang tidak kecil. APBN hanya berkontribusi sekitar Rp85-86 triliun per tahunnya, artinya hanya 30% ditambah dengan BUMN, APBD sekarang kita juga meminta dilakukan climate action dalam APBD dengan melakukan budget taking, jumlahnya tidak akan melebihi 60%," ujar Sri Mulyani dalam PPATK 3rd Legal Forum di Jakarta, Kamis (31/3/2022).
Artinya, sebesar 40% akan berasal dari sektor swasta. Peranan sektor swasta tidak mungkin berjalan tanpa adanya mekanisme pasar. Di sinilah letak alasan mengapa instrumen carbon price menjadi sangat penting.
"Di dalam mekanisme pasar dengan carbon price, pajak karbon menjadi salah satu instrumennya. Di Indonesia, sekarang, melalui UU HPP, sudah memperkenalkan instrumen yang disebut pajak karbon, karena memang determinasi Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim tidak mungkin hanya dilakukan oleh pemerintah sendiri, atau bahkan BUMN, harus ada partisipasi dari swasta nasional maupun global," ungkap Menkeu.
Dia mengatakan, bahwa memang kerumitan akan muncul di sini karena mekanisme perdagangan karbon antar negara mengharuskan adanya kesepakatan global. Misalkan, jika ada barang yang namanya sama, yaitu karbon, dijualbelikan dalam negeri dan luar negeri, di satu negara harganya hanya USD 3, di negara lain harganya USD25, di negara lainnya ada yang USD 45.
"Bahkan jika perhitungan bahwa dunia akan berhasil mengatasi perubahan iklim, harga karbon itu harusnya bisa mencapai USD 125. Tentu kalau harga berbeda-beda akan kemungkinan terjadinya kebocoran, jadi yang namanya rezim atau desain kebijakan yang disebut 'market for carbon' itu sendiri sudah cukup rumit," jelas Sri Mulyani.
Oleh karena itu, dia menegaskan, bahwa Indonesia akan melakukannya dengan sangat hati-hati dan bertahap, apalagi Indonesia masih dalam suasana pandemi COVID-19 dan sedang berupaya memulihkan ekonomi.
"Namun pada saat memulihkan diri, tidak berarti kita tidak menyiapkan diri, karena musibah perubahan iklim sudah hampir dipastikan bisa terjadi kalau melihat tren kenaikan suhu dunia. Dunia secara merambat tapi pasti semakin hangat, mendekati 1,5 derajat celcius atau bahkan kalau terus seperti ini bisa mencapai 2 derajat celcius dibandingkan kondisi waktu terjadinya revolusi industri yang pertama," ungkapnya.
"Ini pendanaan yang tidak kecil. APBN hanya berkontribusi sekitar Rp85-86 triliun per tahunnya, artinya hanya 30% ditambah dengan BUMN, APBD sekarang kita juga meminta dilakukan climate action dalam APBD dengan melakukan budget taking, jumlahnya tidak akan melebihi 60%," ujar Sri Mulyani dalam PPATK 3rd Legal Forum di Jakarta, Kamis (31/3/2022).
Artinya, sebesar 40% akan berasal dari sektor swasta. Peranan sektor swasta tidak mungkin berjalan tanpa adanya mekanisme pasar. Di sinilah letak alasan mengapa instrumen carbon price menjadi sangat penting.
"Di dalam mekanisme pasar dengan carbon price, pajak karbon menjadi salah satu instrumennya. Di Indonesia, sekarang, melalui UU HPP, sudah memperkenalkan instrumen yang disebut pajak karbon, karena memang determinasi Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim tidak mungkin hanya dilakukan oleh pemerintah sendiri, atau bahkan BUMN, harus ada partisipasi dari swasta nasional maupun global," ungkap Menkeu.
Dia mengatakan, bahwa memang kerumitan akan muncul di sini karena mekanisme perdagangan karbon antar negara mengharuskan adanya kesepakatan global. Misalkan, jika ada barang yang namanya sama, yaitu karbon, dijualbelikan dalam negeri dan luar negeri, di satu negara harganya hanya USD 3, di negara lain harganya USD25, di negara lainnya ada yang USD 45.
"Bahkan jika perhitungan bahwa dunia akan berhasil mengatasi perubahan iklim, harga karbon itu harusnya bisa mencapai USD 125. Tentu kalau harga berbeda-beda akan kemungkinan terjadinya kebocoran, jadi yang namanya rezim atau desain kebijakan yang disebut 'market for carbon' itu sendiri sudah cukup rumit," jelas Sri Mulyani.
Oleh karena itu, dia menegaskan, bahwa Indonesia akan melakukannya dengan sangat hati-hati dan bertahap, apalagi Indonesia masih dalam suasana pandemi COVID-19 dan sedang berupaya memulihkan ekonomi.
"Namun pada saat memulihkan diri, tidak berarti kita tidak menyiapkan diri, karena musibah perubahan iklim sudah hampir dipastikan bisa terjadi kalau melihat tren kenaikan suhu dunia. Dunia secara merambat tapi pasti semakin hangat, mendekati 1,5 derajat celcius atau bahkan kalau terus seperti ini bisa mencapai 2 derajat celcius dibandingkan kondisi waktu terjadinya revolusi industri yang pertama," ungkapnya.